Penulis: daeng iPul <ipul.ji@gmail.com>
Mobil Toyota Avanza yang kami tumpangi berhenti sejenak dan menepi. Saya dan Jeni- kawan yang menemani selama di Papua- turun sejenak meluruskan kaki. Kami menikmati air terjun kecil yang tumpah di sisi kiri jalan, di sebelah kanan pemandangan teluk Demta begitu menawan. Keindahan alam itu tak luput kami potret, lumayan menyegarkan setelah perjalanan panjang yang tak nyaman.
Hari itu kami berdua diantar seorang supir berdarah Flores menuju kampung Yaugapsa di distrik Demta, Kabupaten Jayapura. Jarak kampung Yaugapsa sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekira 120 km sebelah Timur kota Jayapura. Kira-kira sama dengan jarak kota Makassar ke Bantaeng. Bedanya, jarak sejauh itu harus kami lalui dengan susah payah karena jalanan yang tak beraspal.
Sepanjang jalan mobil bergoyang tidak karuan, seakan mengikuti irama dangdut yang mengalun dari tape mobil. Jalanan dipenuhi batuan dan tanah coklat. Beberapa jalan memang sudah diaspal halus dan lumayan nyaman dilewati, tapi hanya beberapa kilometer. Sisanya, rusak dan berbatu. Saya membayangkan sulitnya melewati jalan itu di musim hujan ketika tanah menjadi lebih basah dan licin.
Sekira 4 jam kemudian kami tiba di kampung Yaugapsa, kampung kecil yang terletak di tepi teluk Demta dan tak jauh dari kota distrik Demta. Kami menuggu beberapa jenak di balai desa, menantikan kepala kampung yang sedang ke kota distrik, menerima pencairan dana buat para kader dan aparat kampung. Dua hari lagi Natal, sekujur kampung sudah penuh dengan hiasan natal. Gereja kecil di tengah kampung tak berhenti mengumandangkan lagu-lagu pujian, beberapa warga nampak sibuk membersihkan dan menghias gereja.
Kampung Yaugapsa tidak terlalu luas, hanya diisi oleh 37 kepala keluarga yang sebagian besar hidup sebagai nelayan. Tapi meski tidak terlalu luas, kampung ini terlihat sangat asri. Jalanan kecil berbeton mengular ke sekujur kampung, di sisinya rumah berdinding batako milik penduduk berjejer rapi dengan pagar-pagar kayu dan tanaman perdu yang membuat kampung Yaugapsa terasa lebih asri.
Beberapa anak kecil bermain di tepi pantai, mereka melepas pakaian lalu sibuk memunguti kerang kecil yang bersembunyi di antara batu-batu kerikil. Dengan ramah dan sedikit malu-malu mereka menjawab pertanyaan saya. Menit-menit saya habiskan bersama mereka sambil menunggu pak kepala kampung kembali dari kota distrik.
*****
“Maaf lama menunggu. Tadi urusan di bank lama.” Kata pria bertubuh kekar dan brewokan itu sambil menjabat kami erat. Namanya Agustinus Usupar, meski bertubuh kekar dengan kulit kelam, brewok di wajah dan rambut keriting khas orang Papua, dia ternyata sangat ramah. Pria yang sudah menjadi kepala kampung sejak tahun 2007 itu bercerita banyak kepada kami tentang kesiapannya menyambut UU no. 6/2014 atau yang lebih dikenal sebagai undang-undang desa.
Undang-undang desa ini adalah terobosan baru yang dinantikan banyak desa dan kampung di Indonesia. Salah satu isinya adalah kesediaan pemerintah memberi dana desa sebesar minimal Rp. 1 milyar per desa/kampung. Dana yang tentu saja tidak sedikit dan rentan untuk disalahgunakan.
Sebelum ke Yaugapsa dan kampung-kampung lain di Papua, saya membayangkan betapa repotnya para kepala desa atau kepala kampung mengelola dana itu. Salah-salah mereka bisa berakhir di penjara karena kesalahan pengelolaan atau malah memang niat jahat untuk mengalirkannya ke kantong pribadi mereka. Tapi, setelah mengobrol dengan beberapa kepala kampung di Papua, termasuk dengan Agustinus Usupar di kampung Yaugapsa saya sadar kalau ketakutan saya terlalu besar.
Agustinus Usupar bukannya tidak sadar akan potensi bahaya itu, entah potensi salah kelola maupun potensi godaan penyalahgunaan dana desa. Tapi Agustinus bercerita panjang lebar kepada kami tentang bagaimana mereka berusaha membangun sebuah sistem yang kelak akan sangat berguna untuk mengelola dan memantau dana yang tak terbilang kecil itu.
Tahun 2014, Agustinus menjadi salah satu kepala kampung yang diajak untuk studi banding ke Jeneponto dan Bantaeng, Sulawesi Selatan. Di dua kabupaten itu mereka melihat langsung bagaimana desa-desa membangun dan memanfaatkan sistem yang terpadu untuk kemajuan desa mereka. Mulai dari pendataan potensi dan masalah, perencanaan pembangunan sampai monitoring dan keterbukaan informasi.
“Memang tidak gampang, kami harus betul-betul mulai dari nol.” Kata Agustinus. “Tapi, kalau mereka bisa, kenapa kami tidak?” lanjutnya lagi.
Pria yang kembali tepilih menjadi kepala kampung di tahun 2012 itu nampaknya sangat terkesan pada kunjungan belajarnya. Studi banding di Jeneponto dan Bantaeng menumbuhkan tekad di dalam dirinya untuk memperbaiki kampungnya sendiri. Dan Agustinus tidak sendirian, di belakangnya ada aparat kampung dan kader kampung yang juga punya tekad yang sama. Hasilnya, tahun 2014 kampung Yaugapsa terpilih menjadi kampung terbaik se provinsi Papua.
*****
Perubahan paling besar yang dilakukan Agustinus bersama aparatnya dimulai dari pendataan potensi dan masalah kampung. Pendataan yang dilakukan sudah lebih terstruktur dan menggunakan perangkat lunak bernama SAIK (Sistem Administrasi dan Informasi Kampung). Dari hasil pendataan itu mereka bisa tahu apa saja yang menjadi prioritas di kampung mereka, bukan asal membangun saja.
Dalam rapat musrenbang tingkat kampung, semua pihak diajak untuk ikut bicara sambil tentu saja membawa data yang sudah dikumpulkan. Hasilnya adalah keputusan bersama yang tak salah sasaran. Untuk pelaporanpun Agustinus sudah menggunakan sistem yang membuat semua pihak bisa punya mata dan telinga yang mengontrol penggunaan anggaran. Tentu tujuannya agar tak ada dana yang digunakan menyimpang.
Apa yang dilakukan Agustinus Usupar dan semua aparat serta warga kampung Yaugapsa memang belum sempurna. Mereka masih menemukan banyak masalah, terutama yang menyangkut penggunaan teknologi modern dan perangkat lunak modern. Tapi, melihat usaha mereka dan tekad yang besar saya yakin mereka siap menyambut undang-undang desa yang mulai diberlakukan tahun 2015 ini.
“Siap atau tidak, kita harus bisa.” Kata Agustinus Usupar ketika saya tanya kesiapannya menyambut undang-undang desa. Ada optimisme dalam nada suaranya meski masih terbalut sedikit rasa tidak percaya diri.
Kami meninggalkan kampung Yaugapsa dan kembali ke Jayapura menjelang sore. Kembali menyusuri jalan berbatu yang tak rata dan lumayan mengguncang perut. Berbeda dengan sebelumnya, jalanan itu tak lagi terasa menyiksa bagi saya. Mungkin senyum ramah warga Yaugapsa dan binar optimis di mata mereka yang memberi saya energi baru.
Jauh dari keramaian dan hingar bingar kota, tapi warga Yaugapsa tetap punya potensi yang sama dengan kampung dan desa lain di Indonesia. Ketika akhinya undang-undang desa dengan dana Rp. 1 Milyar per kampung itu jadi dijalankan, saya yakin mereka sudah siap. Karena sesungguhnya orang-orang Papua juga sama luar biasanya dengan orang-orang lain di Indonesia.
- Log in to post comments
- 1265 reads