TIDAK ada kata terlambat untuk perubahan. Hal itu yang dilakukan sekitar 90 perempuan dari tiga kampung di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Dengan tekad keras dan pelatihan, mereka bisa meninggalkan cara tradisional dan membuat tanaman hortikultura bernilai ekonomi tinggi.Siang itu, Beata Enanop bersama suaminya, Januarius Wambut, menyirami tanaman kangkung dan sawi di lahan sekitar 50 meter x 50 meter, di belakang rumahnya di Kampung Ogenetan, Distrik Iniyandit, Boven Digoel. Selain kedua tanaman itu, ada juga kol, kacang panjang, dan cabai di lahan tersebut.
Lebih dari tiga tahun lalu, lahan itu hanya ditanami ubi, singkong, pisang, melinjo, kangkung rawa, dan keladi. Varietas tersebut menjadi pilihan warga kampung karena terbiasa dengan pola meramu. Panenannya pun hanya untuk kebutuhan mereka sehari-hari dan pakan ternak. Hampir semua warga Boven Digoel menganut sistem pertanian tradisional, meramu. Tahun 2012, Beata mulai menanam kangkung. Ia juga menjual panenannya ke pasar setempat. Namun, pemasukan yang didapatkannya tidak optimal sebab panenannya minim.
”Saya perempuan pertama yang mengembangkan tanaman hortikultura di kampung ini. Namun, hasilnya kurang maksimal saat itu. Saya tidak menggunakan pupuk dalam penanaman kangkung. Akibatnya, warga tak tertarik untuk mengembangkan pola pertanian seperti saya,” tuturnya.
Pada Mei 2012, Beata berkesempatan meningkatkan hasil produksi hortikulturanya. Dia bersama 14 perempuan lain dari Kampung Persatuan dan Sukango, Distrik Mandobo, serta Kampung Ogenetan mendapatkan bantuan dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
Riswanto, tenaga pendamping UNDP, mendatangkan dua pengajar dari Lembaga Pengembangan Teknik Pertanian di Solo, Jawa Tengah. Mereka adalah Sumino dan Lili Batara.
”Mereka dengan sabar mengajari kami bagaimana menanam, mengolah tanah, serta membuat pupuk dalam bentuk kompos dan cairan. Kami juga diajari cara membuat pestisida organik untuk memberantas hama tanaman,” papar Beata.
Materi pelatihan yang diberikan kedua ahli itu sederhana dan tidak memerlukan banyak biaya. Misalnya, kompos dibuat dengan menggunakan bahan kotoran kambing, batang pisang, dan rumput.
Pupuk berbentuk cairan memanfaatkan bonggol pisang yang difermentasikan dengan gula. Untuk pembuatan pestisida organik, digunakan bahan alami, seperti sereh, sirih, tembakau, dan cabai. Pupuk cairan tersebut ampuh menjerakan belalang, ulat, dan walang sangit.
Januarius mengatakan, kaum lelaki di desa itu membantu gerakan pertanian organik yang dilakukan kaum perempuan. ”Di sini tak boleh ada pemikiran hanya perempuan yang bekerja. Saya mengajak puluhan pria di Ogenetan membantu istrinya. Misalnya, kami membantu untuk membuka lahan dan menyiram pestisida,” ujarnya.
Di lokasi lahan lain, Oktovina Okurop mencangkul tanahnya. Ia akan menanam benih kacang panjang. Perempuan itu tak terlihat lelah meski bekerja keras.
”Lahan ini hanya 17 meter x 11 meter. Setiap hari saya bersama suami bekerja di sini. Kami bahagia bisa merasakan perubahan besar dalam hidup. Saya bersama anak-anak tidak lagi menggantungkan hidup dari hasil berburu saja,” ujarnya.
Manfaat besarSebagian besar dari 90 perempuan di Kampung Ogenetan, Persatuan, dan Sukango merasakan manfaat dari usaha pertanian hortikultura secara organik. Mereka baru menggeluti usaha itu lima bulan terakhir.
Beata menuturkan, ia bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 500.000 dari penjualan kangkung, sawi, dan kacang panjang per bulan. Padahal, tiga tahun lalu, penghasilan tertinggi hanya Rp 200.000. ”Dari hasil penjualan tanaman hortikultura, kami dapat menyekolahkan anak kami ke akademi keperawatan di Jayapura,” tuturnya.
Oktovina menambahkan, ia bisa mendapat keuntungan Rp 550.000 dari penjualan tanaman hortikultura ke sejumlah rumah makan. ”Saya tidak menyangka bisa meraih pemasukan sebesar itu. Sebelumnya saya pengangguran. Sekarang saya dan suami tak lagi kesulitan mengirimkan uang jajan bagi seorang anak kami yang kuliah di Universitas Musamus, Merauke,” katanya.
Julia Banyup, petani lain, menyatakan dapat membuka usaha karamba ikan mujair dengan menggunakan dana hasil penjualan bayam, terung, dan kacang panjang.
Riswanto mengatakan, petani di Boven Digoel itu mendapatkan keuntungan besar karena tak mengeluarkan banyak biaya untuk membeli benih tanaman. ”Kami menjual produk pupuk buatan petani pula. Kompos 5 kilogram dihargai Rp 30.000. Kami menjual pupuk cair dalam botol berukuran 240 mililiter seharga Rp 20.000. Hasil penjualan pupuk dipakai untuk membeli benih tanaman bagi petani,” paparnya.
Lahan pekerjaanMenurut analis komunikasi UNDP, Tomi Soetjipto, sesuai dengan data Badan Pusat Statistik pada Maret 2014, angka kemiskinan di Papua mencapai 30,1 persen dari total penduduknya. Penyebab utamanya adalah warga tak memiliki akses untuk memiliki pekerjaan yang mendatangkan penghasilan tetap.
”Hal ini mendorong kami untuk mengembangkan program kemandirian masyarakat yang lebih menitikberatkan pada peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Upaya itu selama ini dilupakan oleh pemerintah daerah setempat,” papar Tomi.
Ia mengatakan, warga tak hanya mendapatkan pelatihan tentang cara bercocok tanam hortikultura, tetapi juga diberikan akses untuk mendapatkan modal pinjaman dari koperasi. Sebanyak 60 ibu di Kampung Persatuan dan Sukango mendapatkan pinjaman Rp 2 juta untuk mengembangkan usaha hortikultura dari Credit Union.
Pola pertanian hortikultura di tiga kampung itu secara organik diharapkan dapat menginspirasi warga lain yang tersebar di 20 distrik di Boven Digoel. Bupati Boven Digoel Yesaya Merasi sangat mendukung kegiatan itu.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011291036
- Log in to post comments
- 233 reads