BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

TAMBANG EMAS ILEGAL 10.000 Orang Masih Menambang di Buru

NAMLEA, KOMPAS — Kendati Gubernur Maluku Said Assagaff sudah mengeluarkan instruksi agar aktivitas penambangan emas ilegal di Kabupaten Buru dihentikan, para petambang tidak peduli. Lebih kurang 10.000 orang masih terus menambang di daerah itu dengan cara tradisional sehingga berisiko tinggi terhadap keselamatan mereka.
Pantauan Kompas di salah satu lokasi penambangan di Desa Gogorea, Kecamatan Wae Apu, Selasa (3/2), ratusan tenda penggalian milik petambang masih berdiri. Di lokasi itu terdapat lebih dari 1.000 petambang. Kondisi serupa juga terlihat di Gunung Botak yang masih terdapat sekitar 9.000 petambang. Semula, di kedua lokasi itu terdapat sekitar 30.000 petambang.

Nirwan Pareda (47), petambang di kawasan Gogorea, mengatakan, dirinya mulai menambang sejak 2011. ”Kami tidak pernah didatangi pemerintah dan kami tidak mengetahui tentang pelarangan itu. Kami bekerja di sini atas izin pemilik lahan,” kata laki-laki asal Gorontalo itu.

Nirwan juga merasa tidak takut karena aktivitas penambangan dijaga aparat keamanan. Di pintu masuk areal tambang ada pos pengamanan Brimob. Setiap petambang dan warga yang masuk wajib melapor kepada petugas yang berjaga.

Hal senada disampaikan petambang asal Tasikmalaya, Jawa Barat, Dede Nasidin, yang mulai bekerja di areal itu sejak 2012. ”Kami juga belum diberikan sosialisasi terkait dampak dari pertambangan ini,” ujarnya.

Said Assagaff telah menginstruksikan agar penambangan emas ilegal tersebut dihentikan. Said bahkan meninjau Gunung Botak bersama mantan Panglima Komando Daerah Militer XVI Pattimura Mayor Jenderal Meris Wiryadi. Kepala Polda Maluku Brigadir Jenderal (Pol) Murad Ismail juga pernah datang ke sana. Semua unsur digerakkan untuk menutup aktivitas penambangan tersebut.

Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Buru Masri mengatakan, penutupan tambang dilakukan secara bertahap. Secara keseluruhan, jumlah petambang yang sebelumnya mencapai 30.000 orang kini tinggal 10.000 orang. Petambang umumnya berasal dari luar daerah Maluku, yakni Sulewesi Utara, Jawa Barat, dan Sulawesi Tenggara.

”Kami akan terus melakukan sosialisasi dan meminta mereka agar menghentikan kegiatan itu. Namun, kami kesulitan jika berhadapan dengan para pemilik lokasi tambang,” ujar Masri.

Dia mengatakan, pemerintah berencana mengambil alih pengolahan tambang dengan melibatkan pemilik lahan dan warga setempat. Dengan begitu, pengelolaan tambang lebih teratur dan memberikan kontribusi langsung terhadap pendapatan asli daerah. Sejak penambangan masif dikerjakan pada tahun 2011, tidak ada sumbangan untuk daerah.

Kendati aktivitas penambangan itu sangat berisiko, Nirwan dan Dede tidak takut. Di lubang galian Nirwan, misalnya, terdapat empat pekerja yang berada di dalam lubang berkedalaman hampir 100 meter. Mereka bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 17.00 waktu setempat. Sementara kedalaman lubang galian yang dikerjakan Dede dan lima rekannya sekitar 55 meter. (FRN)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011806502

Related-Area: