BEGITU Maurice Rumaikeuw (34) membuka lemari pendingin, aroma ikan langsung tercium. Sejumlah daging ikan tuna dan tenggiri ukuran besar yang telah membeku terlihat di dalam lemari tersebut. Ada pula aneka bakso dan nugget ikan yang sudah dibungkus dalam kemasan plastik.
”Bakso dan nugget ini sudah siap dijual. Satu kemasan yang beratnya 250 gram dijual Rp 40.000,” kata Maurice, Minggu (14/12).
Maurice adalah Sekretaris Kelompok Usaha Bersama (KUB) Doreh di Kelurahan Pasir Putih, Distrik Manokwari Timur, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. KUB Doreh beranggotakan sembilan perempuan yang tinggal di Pasir Putih. Sejak Juni 2014, mereka bersama-sama membuat sejumlah produk olahan ikan, seperti bakso, nugget, dan abon.
Maurice mengisahkan, pembuatan aneka produk olahan ikan itu berawal dari pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan Yayasan Perdu dengan dukungan Pemerintah Kabupaten Manokwari. ”Kebanyakan mama di sini sebelumnya trada (tidak ada) kerja. Tetapi sesudah ada kegiatan ini, kami bisa dapat pemasukan tambahan,” ujar ibu dua anak itu.
Pemberdayaan di Pasir Putih itu termasuk bagian dari Program Pembangunan Berbasis Manusia/People-Centered Development Programme (PCDP) yang dijalankan UNDP sejak beberapa tahun lalu di Papua dan Papua Barat.
Menurut Sitti Haryani Kadir, Local Economic Development Officer PCDP, pembuatan produk olahan ikan dipilih sebagai model pemberdayaan masyarakat di Manokwari karena sesuai dengan kondisi wilayah itu. Kabupaten Manokwari adalah salah satu daerah penghasil ikan di Papua.
”Pembuatan abon, bakso, atau produk olahan lain bisa memberi nilai tambah pada ikan yang selama ini ditangkap masyarakat sehingga pendapatan warga meningkat,” katanya.
Selain memberi pelatihan, kata Sitti, UNDP juga memberi bantuan peralatan, misalnya lemari pendingin, kompor, mesin penyaring minyak, dan kemasan plastik.
Abon andalan
Maurice menuturkan, produk andalan KUB Doreh adalah abon tuna yang diberi merek Dua Tuna. Selain bahan bakunya mudah didapat, abon juga lebih laris karena belum banyak yang membuat produk serupa.
Bendahara KUB Doreh Delila Ronsumbre (42) mengatakan, produksi abon, bakso, dan nugget dilakukan tiga kali dalam sepekan. Jumlah produksi KUB Doreh belum stabil, tergantung pasokan bahan baku. Pada Oktober 2014, misalnya, kelompok itu hanya bisa memproduksi abon seberat 8,79 kilogram. Namun, pada November 2014, produksi abon naik menjadi 21,13 kilogram. ”Oktober lalu itu ikan sulit. Kami cuma bisa dapat yang kecil-kecil,” katanya.
Abon dikemas ke dalam tiga ukuran, yakni 200 gram yang dijual Rp 40.000, 100 gram seharga Rp 20.000, dan 50 gram seharga Rp 10.000. Pemasarannya dengan cara dititipkan ke berbagai toko di Manokwari. Anggota kelompok kadang juga menyertakan produk mereka dalam pameran usaha kecil dan menengah. Kadang-kadang, ada pula konsumen yang membeli langsung ke rumah produksi.
Pada dua bulan awal, menurut Delila, penghasilan yang diperoleh lumayan. Mereka bisa membayar upah pekerja sebesar Rp 9.943 per jam atau setara dengan upah minimum kabupaten di Manokwari. Namun, pada Agustus-November 2014, penghasilan kelompok itu tak cukup untuk membayar upah pekerja dan membeli bahan baku.
”Upah pekerja untuk empat bulan sebesar Rp 9,3 juta belum dibayar karena uang yang masuk kami pakai untuk beli bahan baku dulu,” katanya.
Meski begitu, Delila dan teman-temannya yakin, dengan sejumlah perbaikan, usaha itu bisa memberi keuntungan memadai untuk mereka ke depan.
Selain di Pasir Putih, usaha pembuatan produk olahan dengan bahan baku ikan yang didukung UNDP juga dilakukan di Kampung Meinyumfoka, Distrik Manokwari Utara. Di kampung itu, 15 perempuan yang tergabung dalam KUB Myos Aur membuat kerupuk dan bakso berbahan ikan.
”Kerupuknya dibuat dari ikan tenggiri, sementara bakso dari ikan tuna,” kata Marselina Alfons (41), warga Kampung Meinyumfoka.
KUB Myos Aur membuat kerupuk tiga kali dalam seminggu. Dalam sekali produksi, mereka bisa menghasilkan 50 kemasan kerupuk ukuran 50 gram dan sekitar 100 bakso. Satu kemasan kerupuk dijual Rp 15.000, sementara bakso dijual Rp 10.000 per 12 biji. Penjualan dilakukan di Manokwari dan sekitarnya, serta melalui pameran.
Sama seperti usaha di Pasir Putih, produksi kerupuk dan bakso oleh Marselina dan kawan-kawannya belum menghasilkan keuntungan memadai. Meski begitu, para mama itu tidak letih berusaha karena mereka percaya produk olahan ikan akan mendatangkan laba yang ”gurih”, segurih rasa bakso dan kerupuk ikan produksi mereka.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011195623
- Log in to post comments
- 456 reads