Film
Perjuangan Menyemai Perdamaian
KONFLIK di Ambon, Maluku, yang berkecamuk mulai tahun 1999 sampai awal tahun 2000-an termasuk salah satu sejarah kelam bangsa Indonesia. Pertikaian yang membawa sentimen agama itu memakan ribuan korban jiwa, meludeskan harta benda, merusak infrastruktur, meretas tali persaudaraan, dan menggoreskan luka batin yang mendalam. Pada saat bersamaan, konflik ini juga memberikan pengalaman betapa berharga dan penting memperjuangkan perdamaian.
Dengan kerja keras semua pihak, para tokoh kunci dari pihak-pihak yang berseteru di wilayah itu berunding dan sepakat menghentikan konflik. Tercapailah Perjanjian Malino II di Sulawesi Selatan, 12 Februari 2012. Perdamaian pun berangsur-angsur tumbuh dan terus dipelihara sampai sekarang.
Lebih kurang kisah getir sekaligus berpengharapan inilah yang menjadi inspirasi bagi lahirnya film Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Disutradarai Angga Dwimas Sasongko, karya ini menceritakan seorang laki-laki di Kota Ambon bernama Sani Tawainela (diperankan oleh Chicco Jerikho). Ia mencegah anak-anak muda di tempat tersebut terjerumus ke dalam konflik antarkelompok dengan cara mengajak mereka membentuk tim sepak bola.
Sani, tokoh utama film Cahaya dari Timur, adalah tokoh nyata yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek. Tahun 2007, ia bertemu dengan Angga yang sedang membuat film dokumenter di Maluku dan menyewa motor Sani. ”Kisah hidup Sani membuat pandangan saya terhadap konflik sosial berubah. Saya memutuskan untuk mengangkat cerita itu ke layar lebar,” ujar Angga.
Ia mengatakan, cerita tersebut relevan dengan keadaan Indonesia sekarang. Konflik masih terjadi di sejumlah tempat dan memakan korban yang tidak sedikit. Penting untuk menyadarkan masyarakat betapa penting menjaga nilai-nilai perdamaian.
Angga tertarik dengan kekuatan cinta sederhana, yaitu pada sepak bola, yang ternyata bisa menyatukan pihak-pihak yang bertikai. Ibarat sepak bola yang penuh jatuh bangun, semua pemain tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu mencetak gol.
Dalam film ini, gol mereka adalah persatuan dalam multikulturalisme alias keberagaman budaya. Sepak bola mengingatkan bahwa mereka sebenarnya saudara sesama Maluku. ”Warga Ambon dan Tulehu antusias menerima dan menolong kami. Mereka menceritakan setiap kejadian secara terinci,” katanya.
Untuk menangkap roh cerita, naskah film ditulis Swastika Nohara bersama penulis asal Ambon yang pernah mengalami konflik itu saat remaja, Irfan Ramli. Potret kekerasan dan permasalahan pun terpapar secara realistis dalam film itu. Demi mendalami perannya sebagai Sani, Chicco Jerikho tinggal selama satu bulan di Tulehu.
”Memahami karakter Sani adalah tantangan tersulit,” kata Chicco. Di Tulehu, ia tinggal di rumah salah seorang warga. Demi memahami kesukaran hidup Sani, aktor itu tidak membawa telepon genggam dan dompet. Bahkan, ia juga mencari nafkah dengan menjadi tukang ojek.
”Bhinneka Tunggal Ika ternyata harus dicapai penuh perjuangan. Persatuan benar-benar harta yang harus dijaga,” ungkap Chicco.
Ramuan antara kekuatan tema resolusi konflik, akting para pemeran, kelihaian sutradara, dan unsur-unsur lain membuat film Cahaya dari Timur memenangi kategori Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2014 di Palembang, Sumatera Selatan, pekan lalu. Sementara Chicco memperoleh Piala Citra untuk kategori Pemeran Utama Pria Terbaik.
Tak menggurui
Menurut aktris kawakan Widyawati, yang juga salah satu juri FFI, film itu memiliki kesederhanaan dalam bertutur dan kepolosan menangkap fakta-fakta dalam konflik. Semuanya disampaikan dengan apik tanpa terkesan menggurui penonton dengan khotbah moral.
Sutradara Garin Nugroho berpendapat, film merupakan modal sosial yang efektif untuk menyampaikan pesan tentang nilai-nilai positif kepada masyarakat.
Selain soal tema, kemenangan Cahaya dari Timur dan beberapa film nomine lain mencerminkan adanya regenerasi dalam perfilman Indonesia. Karya-karya itu menekankan semangat persatuan meskipun memiliki pendekatan berbeda-beda. ”Film-film ini membuka pintu bagi kita semua untuk melihat kemunculan aktor-aktor baru dari wilayah di luar Pulau Jawa, khususnya Jakarta,” ujar Garin.
Semangat resolusi konflik dalam Cahaya dari Timur juga selaras dengan semangat rekonsiliasi yang berkembang dalam FFI 2014 ini. Para insan film yang dulu sempat berseteru, bahkan pernah beramai-ramai meninggalkan festival tersebut pada FFI 2006, kini ikut serta dalam festival. Ini era baru yang penuh gairah kebersamaan.
Gairah ini mirip dengan pelajaran dari film Cahaya dari Timur. Masyarakat Ambon pernah bertikai dan kini telah berdamai.
Jika film mencerminkan wajah bangsa, setidaknya karya ini memberi harapan: kita semakin menyadari betapa penting perdamaian. (Dane Anwar)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010575714
- Log in to post comments
- 351 reads