BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Menyelamatkan ”Warisan” Anak-Cucu Sulawesi

Oleh: MOHAMAD FINAL DAENG 0 KOMENTAR FACEBOOKTWITTER  
Apalah arti sebuah tanaman? Bagi Darmawan Denassa (38), warga Kelurahan Tamallayang, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tanaman adalah kehidupan. Bukan sekadar sumber ekonomi dan penjaga ekosistem, tanaman juga menjalin ikatan sosiologis dan kultural dengan manusia yang dihidupinya.
Saat puluhan jenis tanaman, termasuk tanaman endemis Sulawesi, makin menghilang dari bumi Sulawesi Selatan, Denassa tergerak untuk menyelamatkannya. Pada tahun 2007 dia mendirikan Rumah Hijau Denassa (RHD), kawasan konservasi dengan luas lahan 1 hektar yang sekaligus menjadi lokasi rumah tinggalnya.
Denassa menanam dan melakukan pembibitan berbagai jenis tanaman endemis dan non-endemis Sulawesi, baik yang sudah langka maupun yang masih melimpah di Sulsel. Dia berburu bibit dan benih ke berbagai pelosok provinsi itu hingga ke Sulawesi Barat, keluar-masuk hutan, serta mengumpulkan cerita rakyat dan kearifan lokal di balik tanaman-tanaman tersebut.
”Tanaman-tanaman ini adalah warisan untuk anak-cucu kita. Sekarang kita masih bisa melihat dan menikmati manfaatnya berkat generasi pendahulu yang menjaganya untuk kita. Masa kita tidak mau berbuat yang sama untuk generasi penerus nanti?” ujarnya.
Hingga kini terdapat sekitar 450 jenis tanaman yang telah dilestarikan di RHD. Tanaman tersebut beragam, terdiri dari keluarga kayu-kayuan, bunga-bungaan, kacang-kacangan, perdu, dan buah-buahan. RHD pun benar-benar menjadi rumah hijau yang rindang, sejuk, dan terbuka bagi siapa pun yang berkunjung tanpa dipungut biaya. Denassa juga membagikan bibit tanaman secara gratis kepada siapa saja yang menginginkannya.
Denassa mengatakan, terdapat puluhan jenis tanaman di Sulsel yang terancam punah. Penyebabnya, tekanan alih fungsi lahan hutan, konsumsi secara masif, pertambangan, hingga alasan sepele karena tanaman itu tak disukai manusia.
”Ada tanaman yang bernama kawuasa, jenis tanaman merambat yang kini sudah sulit ditemui. Tanaman itu dibenci karena buahnya berbulu dan gatal sehingga kalau dijumpai manusia biasanya dibabat,” katanya.
Padahal, buah kawuasa pada masa lalu turut berjasa dalam perjuangan melawan penjajah Belanda di Sulsel. Oleh para pejuang, buah itu dijadikan ”ranjau” yang disebar di jalur yang dilewati iring-iringan pasukan Belanda. ”Saat pasukan Belanda terkena buah itu, mereka akan mengalami gatal-gatal hebat sehingga lebih mudah diserang,” ujarnya.
Meskipun sekarang kegunaan kawuasa sudah tak relevan lagi, bukan berarti tanaman tersebut harus dimusnahkan. Denassa meyakini setiap tanaman pasti memiliki manfaat untuk kehidupan manusia. ”Siapa yang tahu buah kawuasa itu suatu saat, misalnya, ternyata diketahui bisa menjadi obat. Kalau tidak dilestarikan, generasi mendatang tak punya kesempatan untuk mempelajarinya,” katanya.
Pohon mangga
Upaya Denassa untuk mengonservasi tanaman-tanaman endemis Sulawesi bermula dari kampung halamannya di Borongtala. Ia besar dalam suasana rimbun pepohonan dan berbagai tanaman yang tumbuh di lingkungan kampung yang berjarak 31 kilometer arah selatan Kota Makassar itu.
Namun, perkembangan zaman dan kebutuhan manusia membuat satu per satu pohon hilang, termasuk di halaman rumahnya. ”Sampai akhirnya ada satu pohon mangga, yang biasa menjadi tempat favorit bermain waktu kecil, ditebang karena dianggap menghalangi sinar matahari tempat penjemuran usaha batu bata,” ujarnya. Peristiwa itu mengusik nuraninya untuk menyelamatkan tanaman.
Pria berlatar belakang pendidikan sastra Indonesia itu pun memutuskan melepaskan pekerjaannya sebagai dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Dia ingin mencurahkan seluruh perhatiannya untuk upaya konservasi tanaman-tanaman itu. ”Saya berpikir, tidak banyak orang yang melakukan ini. Kalau tidak ada yang melestarikan, kasihan anak-cucu nanti hanya tahu tanaman dari namanya,” ungkapnya.
Bagi Denassa, melestarikan tanaman sekaligus berarti melestarikan kultur dan identitas orang Makassar. Hal itu karena banyak tanaman memiliki tempat penting dalam ritual, tradisi, ataupun budaya keseharian masyarakat Makassar yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Denassa mencontohkan, salah satunya adalah kayu kepundung atau yang dalam bahasa lokal disebut punaga. Kayu itu adalah bahan baku yang ”wajib” ada dalam setiap pembuatan perahu kecil. ”Minyak dari buahnya biasa dipakai untuk bahan bakar penerangan. Karena itu, dalam kultur pelaut Makassar, kayu kepundung dipercayai bisa ’menerangi’ jalan perahu kembali pulang ke daratan,” paparnya.
Akan tetapi, karena kayu tersebut selalu dipakai untuk membuat perahu, persediaan di alam pun terus menipis. Tingginya pemakaian itu tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk menanam kembali kepundung.
Hal serupa terjadi pada pohon katangka, tanaman endemis Sulawesi yang kayunya dianggap masyarakat sebagai kayu kehormatan. Kayu itulah yang dipakai sebagai bahan baku pembangunan masjid pertama saat Islam masuk ke Sulsel pada awal abad ke-17, yakni Masjid Al-Hilal.
Masjid yang masih kokoh berdiri hingga kini itu pun lebih dikenal masyarakat dengan nama Masjid Katangka. ”Namun, sekarang pohon katangka sangat langka. Sejauh ini, saya hanya bisa menemukan 10 pohon yang tersisa di seluruh wilayah selatan Sulsel,” kata Denassa.
Edukasi
Selain urusan konservasi, Denassa juga membuka lebar-lebar pintu RHD bagi siapa pun yang mau belajar. Sejak 2011, dia mengadakan ”kelas komunitas” yang diselenggarakan gratis untuk anak-anak sekolah tingkat dasar hingga atas.
Anak-anak itu datang seusai sekolah untuk belajar berbagai hal di RHD, mulai dari budaya, tradisi, lingkungan hidup, etika dan moral, sampai matematika. ”Saat ini yang aktif sekitar 90 anak. Kalau ’alumninya’ sudah mencapai 200-an anak,” tutur Denassa.
Setiap bulan, Denassa juga menggelar diskusi tematik bagi warga sekitar lingkungan tempat tinggalnya. RHD juga kerap dikunjungi mahasiswa, peneliti, serta lembaga dari dalam dan luar negeri untuk belajar dan berdiskusi soal berbagai hal.
Atas semua upayanya itu, Denassa sama sekali tak mengharapkan imbalan materi. Bahkan, dia setiap bulan harus mengeluarkan uang dari sakunya sendiri lebih kurang Rp 1 juta untuk membiayai operasional RHD. ”Saya percaya, melakukan kebaikan itu lebih berharga daripada harta benda apa pun,” ujarnya.
DARMAWAN DENASSA
♦ Lahir: Borongtala, 28 Juli 1976
♦ Istri: Alwiah Hasan (33)
♦ Anak:- Muhammad Fadil Denassa (10)
- Asyraf Muhammad Denassa (4)
♦ Pendidikan:- SDN Center Rappokaleleng, 1983-1989
- SMPN 1 Bontonompo, 1989-1992
- SMEA Negeri 1 Limbung, 1992-1995
- Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1996-2002

 

Oleh: MOHAMAD FINAL DAENG 0 KOMENTAR FACEBOOKTWITTER  

Apalah arti sebuah tanaman? Bagi Darmawan Denassa (38), warga Kelurahan Tamallayang, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tanaman adalah kehidupan. Bukan sekadar sumber ekonomi dan penjaga ekosistem, tanaman juga menjalin ikatan sosiologis dan kultural dengan manusia yang dihidupinya.Saat puluhan jenis tanaman, termasuk tanaman endemis Sulawesi, makin menghilang dari bumi Sulawesi Selatan, Denassa tergerak untuk menyelamatkannya. Pada tahun 2007 dia mendirikan Rumah Hijau Denassa (RHD), kawasan konservasi dengan luas lahan 1 hektar yang sekaligus menjadi lokasi rumah tinggalnya.

Denassa menanam dan melakukan pembibitan berbagai jenis tanaman endemis dan non-endemis Sulawesi, baik yang sudah langka maupun yang masih melimpah di Sulsel. Dia berburu bibit dan benih ke berbagai pelosok provinsi itu hingga ke Sulawesi Barat, keluar-masuk hutan, serta mengumpulkan cerita rakyat dan kearifan lokal di balik tanaman-tanaman tersebut.

”Tanaman-tanaman ini adalah warisan untuk anak-cucu kita. Sekarang kita masih bisa melihat dan menikmati manfaatnya berkat generasi pendahulu yang menjaganya untuk kita. Masa kita tidak mau berbuat yang sama untuk generasi penerus nanti?” ujarnya.

Hingga kini terdapat sekitar 450 jenis tanaman yang telah dilestarikan di RHD. Tanaman tersebut beragam, terdiri dari keluarga kayu-kayuan, bunga-bungaan, kacang-kacangan, perdu, dan buah-buahan. RHD pun benar-benar menjadi rumah hijau yang rindang, sejuk, dan terbuka bagi siapa pun yang berkunjung tanpa dipungut biaya. Denassa juga membagikan bibit tanaman secara gratis kepada siapa saja yang menginginkannya.

Denassa mengatakan, terdapat puluhan jenis tanaman di Sulsel yang terancam punah. Penyebabnya, tekanan alih fungsi lahan hutan, konsumsi secara masif, pertambangan, hingga alasan sepele karena tanaman itu tak disukai manusia.

”Ada tanaman yang bernama kawuasa, jenis tanaman merambat yang kini sudah sulit ditemui. Tanaman itu dibenci karena buahnya berbulu dan gatal sehingga kalau dijumpai manusia biasanya dibabat,” katanya.

Padahal, buah kawuasa pada masa lalu turut berjasa dalam perjuangan melawan penjajah Belanda di Sulsel. Oleh para pejuang, buah itu dijadikan ”ranjau” yang disebar di jalur yang dilewati iring-iringan pasukan Belanda. ”Saat pasukan Belanda terkena buah itu, mereka akan mengalami gatal-gatal hebat sehingga lebih mudah diserang,” ujarnya.

Meskipun sekarang kegunaan kawuasa sudah tak relevan lagi, bukan berarti tanaman tersebut harus dimusnahkan. Denassa meyakini setiap tanaman pasti memiliki manfaat untuk kehidupan manusia. ”Siapa yang tahu buah kawuasa itu suatu saat, misalnya, ternyata diketahui bisa menjadi obat. Kalau tidak dilestarikan, generasi mendatang tak punya kesempatan untuk mempelajarinya,” katanya.

Pohon mangga
Upaya Denassa untuk mengonservasi tanaman-tanaman endemis Sulawesi bermula dari kampung halamannya di Borongtala. Ia besar dalam suasana rimbun pepohonan dan berbagai tanaman yang tumbuh di lingkungan kampung yang berjarak 31 kilometer arah selatan Kota Makassar itu.

Namun, perkembangan zaman dan kebutuhan manusia membuat satu per satu pohon hilang, termasuk di halaman rumahnya. ”Sampai akhirnya ada satu pohon mangga, yang biasa menjadi tempat favorit bermain waktu kecil, ditebang karena dianggap menghalangi sinar matahari tempat penjemuran usaha batu bata,” ujarnya. Peristiwa itu mengusik nuraninya untuk menyelamatkan tanaman.

Pria berlatar belakang pendidikan sastra Indonesia itu pun memutuskan melepaskan pekerjaannya sebagai dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Dia ingin mencurahkan seluruh perhatiannya untuk upaya konservasi tanaman-tanaman itu. ”Saya berpikir, tidak banyak orang yang melakukan ini. Kalau tidak ada yang melestarikan, kasihan anak-cucu nanti hanya tahu tanaman dari namanya,” ungkapnya.

Bagi Denassa, melestarikan tanaman sekaligus berarti melestarikan kultur dan identitas orang Makassar. Hal itu karena banyak tanaman memiliki tempat penting dalam ritual, tradisi, ataupun budaya keseharian masyarakat Makassar yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Denassa mencontohkan, salah satunya adalah kayu kepundung atau yang dalam bahasa lokal disebut punaga. Kayu itu adalah bahan baku yang ”wajib” ada dalam setiap pembuatan perahu kecil. ”Minyak dari buahnya biasa dipakai untuk bahan bakar penerangan. Karena itu, dalam kultur pelaut Makassar, kayu kepundung dipercayai bisa ’menerangi’ jalan perahu kembali pulang ke daratan,” paparnya.

Akan tetapi, karena kayu tersebut selalu dipakai untuk membuat perahu, persediaan di alam pun terus menipis. Tingginya pemakaian itu tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk menanam kembali kepundung.

Hal serupa terjadi pada pohon katangka, tanaman endemis Sulawesi yang kayunya dianggap masyarakat sebagai kayu kehormatan. Kayu itulah yang dipakai sebagai bahan baku pembangunan masjid pertama saat Islam masuk ke Sulsel pada awal abad ke-17, yakni Masjid Al-Hilal.

Masjid yang masih kokoh berdiri hingga kini itu pun lebih dikenal masyarakat dengan nama Masjid Katangka. ”Namun, sekarang pohon katangka sangat langka. Sejauh ini, saya hanya bisa menemukan 10 pohon yang tersisa di seluruh wilayah selatan Sulsel,” kata Denassa.

Edukasi
Selain urusan konservasi, Denassa juga membuka lebar-lebar pintu RHD bagi siapa pun yang mau belajar. Sejak 2011, dia mengadakan ”kelas komunitas” yang diselenggarakan gratis untuk anak-anak sekolah tingkat dasar hingga atas.

Anak-anak itu datang seusai sekolah untuk belajar berbagai hal di RHD, mulai dari budaya, tradisi, lingkungan hidup, etika dan moral, sampai matematika. ”Saat ini yang aktif sekitar 90 anak. Kalau ’alumninya’ sudah mencapai 200-an anak,” tutur Denassa.

Setiap bulan, Denassa juga menggelar diskusi tematik bagi warga sekitar lingkungan tempat tinggalnya. RHD juga kerap dikunjungi mahasiswa, peneliti, serta lembaga dari dalam dan luar negeri untuk belajar dan berdiskusi soal berbagai hal.

Atas semua upayanya itu, Denassa sama sekali tak mengharapkan imbalan materi. Bahkan, dia setiap bulan harus mengeluarkan uang dari sakunya sendiri lebih kurang Rp 1 juta untuk membiayai operasional RHD. ”Saya percaya, melakukan kebaikan itu lebih berharga daripada harta benda apa pun,” ujarnya.

DARMAWAN DENASSA

♦ Lahir: Borongtala, 28 Juli 1976

♦ Istri: Alwiah Hasan (33)

♦ Anak:- Muhammad Fadil Denassa (10)- Asyraf Muhammad Denassa (4)

♦ Pendidikan:- SDN Center Rappokaleleng, 1983-1989- SMPN 1 Bontonompo, 1989-1992- SMEA Negeri 1 Limbung, 1992-1995- Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1996-2002

 

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009232940

Oleh: MOHAMAD FINAL DAENG 0 KOMENTAR FACEBOOKTWITTER  Apalah arti sebuah tanaman? Bagi Darmawan Denassa (38), warga Kelurahan Tamallayang, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tanaman adalah kehidupan. Bukan sekadar sumber ekonomi dan penjaga ekosistem, tanaman juga menjalin ikatan sosiologis dan kultural dengan manusia yang dihidupinya.Saat puluhan jenis tanaman, termasuk tanaman endemis Sulawesi, makin menghilang dari bumi Sulawesi Selatan, Denassa tergerak untuk menyelamatkannya. Pada tahun 2007 dia mendirikan Rumah Hijau Denassa (RHD), kawasan konservasi dengan luas lahan 1 hektar yang sekaligus menjadi lokasi rumah tinggalnya.Denassa menanam dan melakukan pembibitan berbagai jenis tanaman endemis dan non-endemis Sulawesi, baik yang sudah langka maupun yang masih melimpah di Sulsel. Dia berburu bibit dan benih ke berbagai pelosok provinsi itu hingga ke Sulawesi Barat, keluar-masuk hutan, serta mengumpulkan cerita rakyat dan kearifan lokal di balik tanaman-tanaman tersebut.”Tanaman-tanaman ini adalah warisan untuk anak-cucu kita. Sekarang kita masih bisa melihat dan menikmati manfaatnya berkat generasi pendahulu yang menjaganya untuk kita. Masa kita tidak mau berbuat yang sama untuk generasi penerus nanti?” ujarnya.Hingga kini terdapat sekitar 450 jenis tanaman yang telah dilestarikan di RHD. Tanaman tersebut beragam, terdiri dari keluarga kayu-kayuan, bunga-bungaan, kacang-kacangan, perdu, dan buah-buahan. RHD pun benar-benar menjadi rumah hijau yang rindang, sejuk, dan terbuka bagi siapa pun yang berkunjung tanpa dipungut biaya. Denassa juga membagikan bibit tanaman secara gratis kepada siapa saja yang menginginkannya.Denassa mengatakan, terdapat puluhan jenis tanaman di Sulsel yang terancam punah. Penyebabnya, tekanan alih fungsi lahan hutan, konsumsi secara masif, pertambangan, hingga alasan sepele karena tanaman itu tak disukai manusia.”Ada tanaman yang bernama kawuasa, jenis tanaman merambat yang kini sudah sulit ditemui. Tanaman itu dibenci karena buahnya berbulu dan gatal sehingga kalau dijumpai manusia biasanya dibabat,” katanya.Padahal, buah kawuasa pada masa lalu turut berjasa dalam perjuangan melawan penjajah Belanda di Sulsel. Oleh para pejuang, buah itu dijadikan ”ranjau” yang disebar di jalur yang dilewati iring-iringan pasukan Belanda. ”Saat pasukan Belanda terkena buah itu, mereka akan mengalami gatal-gatal hebat sehingga lebih mudah diserang,” ujarnya.Meskipun sekarang kegunaan kawuasa sudah tak relevan lagi, bukan berarti tanaman tersebut harus dimusnahkan. Denassa meyakini setiap tanaman pasti memiliki manfaat untuk kehidupan manusia. ”Siapa yang tahu buah kawuasa itu suatu saat, misalnya, ternyata diketahui bisa menjadi obat. Kalau tidak dilestarikan, generasi mendatang tak punya kesempatan untuk mempelajarinya,” katanya.Pohon manggaUpaya Denassa untuk mengonservasi tanaman-tanaman endemis Sulawesi bermula dari kampung halamannya di Borongtala. Ia besar dalam suasana rimbun pepohonan dan berbagai tanaman yang tumbuh di lingkungan kampung yang berjarak 31 kilometer arah selatan Kota Makassar itu.Namun, perkembangan zaman dan kebutuhan manusia membuat satu per satu pohon hilang, termasuk di halaman rumahnya. ”Sampai akhirnya ada satu pohon mangga, yang biasa menjadi tempat favorit bermain waktu kecil, ditebang karena dianggap menghalangi sinar matahari tempat penjemuran usaha batu bata,” ujarnya. Peristiwa itu mengusik nuraninya untuk menyelamatkan tanaman.Pria berlatar belakang pendidikan sastra Indonesia itu pun memutuskan melepaskan pekerjaannya sebagai dosen luar biasa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Dia ingin mencurahkan seluruh perhatiannya untuk upaya konservasi tanaman-tanaman itu. ”Saya berpikir, tidak banyak orang yang melakukan ini. Kalau tidak ada yang melestarikan, kasihan anak-cucu nanti hanya tahu tanaman dari namanya,” ungkapnya.Bagi Denassa, melestarikan tanaman sekaligus berarti melestarikan kultur dan identitas orang Makassar. Hal itu karena banyak tanaman memiliki tempat penting dalam ritual, tradisi, ataupun budaya keseharian masyarakat Makassar yang telah berlangsung selama berabad-abad.Denassa mencontohkan, salah satunya adalah kayu kepundung atau yang dalam bahasa lokal disebut punaga. Kayu itu adalah bahan baku yang ”wajib” ada dalam setiap pembuatan perahu kecil. ”Minyak dari buahnya biasa dipakai untuk bahan bakar penerangan. Karena itu, dalam kultur pelaut Makassar, kayu kepundung dipercayai bisa ’menerangi’ jalan perahu kembali pulang ke daratan,” paparnya.Akan tetapi, karena kayu tersebut selalu dipakai untuk membuat perahu, persediaan di alam pun terus menipis. Tingginya pemakaian itu tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk menanam kembali kepundung.Hal serupa terjadi pada pohon katangka, tanaman endemis Sulawesi yang kayunya dianggap masyarakat sebagai kayu kehormatan. Kayu itulah yang dipakai sebagai bahan baku pembangunan masjid pertama saat Islam masuk ke Sulsel pada awal abad ke-17, yakni Masjid Al-Hilal.Masjid yang masih kokoh berdiri hingga kini itu pun lebih dikenal masyarakat dengan nama Masjid Katangka. ”Namun, sekarang pohon katangka sangat langka. Sejauh ini, saya hanya bisa menemukan 10 pohon yang tersisa di seluruh wilayah selatan Sulsel,” kata Denassa.EdukasiSelain urusan konservasi, Denassa juga membuka lebar-lebar pintu RHD bagi siapa pun yang mau belajar. Sejak 2011, dia mengadakan ”kelas komunitas” yang diselenggarakan gratis untuk anak-anak sekolah tingkat dasar hingga atas.Anak-anak itu datang seusai sekolah untuk belajar berbagai hal di RHD, mulai dari budaya, tradisi, lingkungan hidup, etika dan moral, sampai matematika. ”Saat ini yang aktif sekitar 90 anak. Kalau ’alumninya’ sudah mencapai 200-an anak,” tutur Denassa.Setiap bulan, Denassa juga menggelar diskusi tematik bagi warga sekitar lingkungan tempat tinggalnya. RHD juga kerap dikunjungi mahasiswa, peneliti, serta lembaga dari dalam dan luar negeri untuk belajar dan berdiskusi soal berbagai hal.Atas semua upayanya itu, Denassa sama sekali tak mengharapkan imbalan materi. Bahkan, dia setiap bulan harus mengeluarkan uang dari sakunya sendiri lebih kurang Rp 1 juta untuk membiayai operasional RHD. ”Saya percaya, melakukan kebaikan itu lebih berharga daripada harta benda apa pun,” ujarnya.DARMAWAN DENASSA♦ Lahir: Borongtala, 28 Juli 1976♦ Istri: Alwiah Hasan (33)♦ Anak:- Muhammad Fadil Denassa (10)- Asyraf Muhammad Denassa (4)♦ Pendidikan:- SDN Center Rappokaleleng, 1983-1989- SMPN 1 Bontonompo, 1989-1992- SMEA Negeri 1 Limbung, 1992-1995- Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, 1996-2002

Related-Area: