Kadarusman
Peneliti Ikan Pelangi Asli Papua
Oleh: Ester Lince Napitupulu
PILIHAN Kadarusman (35) untuk meneliti ikan endemik Papua, ikan pelangi, membawanya menjadi salah satu peneliti Indonesia yang memiliki reputasi internasional. Penelitian yang dia lakukan di perairan Papua dengan taruhan nyawa itu membuahkan hasil, ia menemukan 15 spesies baru ikan pelangi Papua dan satu spesies ikan buta dari pedalaman Papua.
Kadarusman, dosen Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong, Papua Barat, di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan, juga berhasil mendomestikasi 22 populasi ikan hias, mencetak 350 DNA barcode molekuler, dan menominasikan teori baru bahwa radiasi ikan pelangi genus Melanotaenia berawal dari Papua, Indonesia.
Hal itu mengindikasikan gugurnya teorema yang menyatakan bahwa grup ikan pelangi Melanotaenia berasal dari Benua Australia. Penelitian ikan pelangi juga menghasilkan dua film dokumenter yang diputar di saluran internasional, seperti Animal Planet. Film ini dibuat berdasarkan kegiatan ekspedisi ilmiah internasional Rainbowfifishes dan Lengguru (2007-2010).
Karya-karya ilmiah dari penelitiannya yang bermitra dengan peneliti serta lembaga di dalam dan luar negeri juga disitasi para peneliti mancanegara. Kontribusinya dalam ilmu pengetahuan terkait dengan ikan pelangi mendapatkan penghargaan Schutzenberger Award dari Afides Institute, Perancis, pada 2011.
Kadarusman dapat berkontribusi untuk penelitian ilmiah ikan pelangi di tengah dominasi peneliti asing. Namanya tertera saat orang menyebut 15 spesies ikan pelangi yang ikut dia temukan.
Totalitas Kadarusman membuat Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong di kawasan timur Indonesia tersebut memiliki keunggulan program riset internasional ikan pelangi. Tujuannya untuk mengarakterisasi diversitas ikan pelangi Austro-New Guinea melalui studi biologi evolutif, sistematika, domestikasi, akuakultur, dan konservasi.
”Orang asing begitu mencintai ikan-ikan Indonesia, termasuk ikan pelangi. Saya ingin orang Indonesia mengembangkan penelitian ilmiah tentang kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki bangsa ini,” kata Kadarusman, salah satu taksonom molekuler Indonesia.
Menurut dia, ikan pelangi bisa menjadi ikan hias yang bernilai ekonomi tinggi. Pencinta ikan pelangi relatif banyak. Bahkan, ada organisasi di Eropa dan Australia yang berperan pada penelitian ikan pelangi. Harga ikan pelangi yang kulitnya berwarna-warni mencapai 20-30 euro per ekor, dengan ukuran 12 sentimeter.
Bertaruh Nyawa
Penelitian ikan pelangi yang dia tekuni terinspirasi tantangan dari profesornya di Perancis. Ketika mendapatkan beasiswa S-2 dari Pemerintah Perancis, Kadarusman diberi masukan untuk mengembangkan penelitian ikan endemik Papua.
”Saya memilih ikan pelangi yang hidup di air tawar dan banyak di Papua. Ikan pelangi belum terjamah secara ilmiah. Padahal, ikan pelangi adalah salah satu ikan hias yang populer di luar negeri,” katanya.
Dia merancang penelitian dengan prinsip kemitraan agar ekspedisi yang membutuhkan dana besar ini bisa berjalan. Ekspedisi pertama pada 2007, di Raja Ampat, Manokwari, Sorong Selatan, dan Bintuni. Penyusuran selama satu bulan di perairan tawar ini menemukan 600 spesimen.
Meskipun harus bertaruh nyawa, tersesat di rawa dengan buaya yang berkeliaran di sekitar perahu, serta ancaman malaria, Kadarusman dan tim berhasil menjalaninya dengan selamat. ”Saya pingsan karena kelelahan saat tim menjelajahi Danau Kurumoi di Bintuni Timur,” ujarnya.
Danau Kurumoi mengalami pendangkalan hebat, biotanya didominasi ikan nila. Di sini ikan pelangi ditemukan di selokan kecil pinggiran danau. ”Saat pingsan, saya hanya ingat keluarga. Ini yang membuat saya bertahan hidup,” kata Kadarusman.
Ekspedisi kedua dia lakukan pada 2008. Kali ini dia melihat ikan pelangi di Manokwari, Teluk Wondama, Nabire, Yapen, hingga Waropen. Pada 2009, ekspedisi dilanjutkan di Teluk Cenderawasih dan Raja Ampat Selatan.
Pada 2010, ekspedisi dilakukan di Kaimana yang alamnya didominasi batuan karst besar atau lengguru. Di sini dia menemukan banyak ikan pelangi. Ekspedisi ini multidisiplin, melibatkan 10 negara dengan peneliti sekitar 50 orang.
Ekspedisi terus berlanjut. Kini, Kadarusman dan tim melanjutkan penelitian tentang New Guinean freshwater fishes dan melebarkan sayap kerja sama global yang melibatkan lembaga riset beberapa negara. Dia dan tim juga menyiapkan megaekspedisi Lengguru 2014 dan program riset turunannya hingga 2020.
Penuh perjuangan
Meski berada di kampus yang minim fasilitas, tekad Kadarusman untuk berkontribusi bagi Indonesia begitu besar. Pada 2005, jaringan internet untuk sekadar mengirim e-mail pun belum ada, tetapi dia tak menyerah. Untuk mendapatkan beasiswa, dia pergi ke Manokwari dengan menumpang kapal selama sehari.
Dengan reputasi sebagai peneliti internasional, dia bisa menghadirkan dosen serta peneliti ternama dari dalam dan luar negeri secara virtual di hadapan para taruna (sebutan mahasiswa). Kadarusman dan tim menginisiasi kuliah dalam jaringan (daring) internasional lewat program Virtual Guest Lecture Series. Kuliah daring berjalan dengan proyektor yang awalnya ditaruh di atas kardus.
Tekad Kadarusman yang kuat terbentuk karena masa kecilnya yang sulit sebagai anak petani miskin di Kecamatan Bontonompo Selatan, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ayahnya juga bekerja sebagai penjual ikan tembang (Atheriniformes), yang kemudian diketahuinya sebagai nenek moyang ikan pelangi.
Kadarusman meyakini, keanekaragaman hayati di Indonesia harus digali peneliti Indonesia. Oleh karena itu, dengan penuh semangat, dia mendukung mahasiswa S-1 sampai S-3 untuk mendapatkan beasiswa riset lewat kekuatan jaringan kerja sama yang dia miliki di tingkat internasional.
—————————————————————————
Kadarusman
♦ Lahir: Kampung Isoka, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 23 September 1979
♦ Istri: Murtihapsari
♦ Pendidikan:
- S-1 Budidaya Perairan, Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, 1993-2003
- S-2 Aquaculture, University of Montpellier, Perancis, 2006-2007
- S-2 Biodiversity, Ecology, and Evolution, University of Paul Sabatier, Perancis, 2007-2008
- S-3 Evolution, Ecology, and Conservation, University of Toulouse, Perancis, 2009-2012
♦ Penghargaan:
- Schutzenberger Award dari International Prize for Scientist, Afides Institute, Perancis, 2011
- Satyalencana Karya Satya X dari Presiden RI, 2014
- Dosen Berprestasi dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, 2014
♦ Pengalaman kerja, antara lain:
- Dosen Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong, penanggung jawab instalasi pendidikan dan pengembangan budidaya ikan air tawar, 2003-kini
- Pemimpin proyek Fishes and Palaemonids of Austro-New Guinea: Systematic, Evolution, Domestication, Aquaculture, and Conservation, 2013-kini
- Pemimpin proyek riset multinasional, 2010-kini
- Koordinator lima ekspedisi internasional Sumber Daya Genetik Perairan Papua, 2007-2014
♦ Penemuan:
- 15 spesies baru ikan pelangi Papua, famili ”Melanotaeniidae”
- Satu spesies baru ikan buta dari pedalaman Papua
- 350 DNA barcode ikan pelangi Papua dan Australia
- 22 populasi sebagai kultivan baru untuk budidaya perairan
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009067621
- Log in to post comments
- 619 reads