BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mengembalikan Bukit Meribo ke Asalnya

Menjaga Nusantara
Mengembalikan Bukit Meribo ke Asalnya

Oleh: Fabio Maria Lopes Costa

THOMAS Alfa Edison, sang pencipta bola lampu asal Amerika Serikat, pernah mengatakan, kelemahan terbesar terletak pada keputusasaan. Cara yang pasti untuk sukses adalah selalu mencobanya satu kali lagi. Kata-kata inilah yang menjiwai 100 aktivis pencinta lingkungan untuk terus menggalakkan upaya penyelamatan Bukit Meribo, salah satu kawasan hutan lindung di Kota Jayapura, Papua, dari ancaman pembalakan liar dan pembakaran.

Cuaca tampak cerah walau jam menunjukkan pukul 11.30 WIT. Dari atas Bukit Meribo dengan ketinggian sekitar 200 meter, mata disuguhi pesona pemandangan laut dihiasi pelabuhan Kota Jayapura beserta sejumlah gedung di pinggirannya. Tak salah kota tersebut dijuluki ”Port Numbay” pada masa kolonial Belanda.

Di atas bukit itulah, akhir Agustus lalu, Freedy Wanda, koordinator kegiatan penanaman, bersama sejumlah rekan aktivis membawa ratusan kantong plastik yang berisi benih pohon. Peluh tampak bercucuran di wajah mereka. Namun, tak terlihat rona wajah yang kusut karena kelelahan.

Benih-benih tersebut kemudian dibagikan secara estafet kepada sekitar 80 aktivis yang berada di dasar Bukit Meribo. Proses pembagian hingga penanaman benih pohon dilalui dengan penuh canda tawa. Sesekali, sebagian dari mereka menuturkan Mop, cerita lucu khas Papua, sambil menggali tanah.

”Kegiatan ini dimulai sejak pukul 09.00 WIT. Total sebanyak 700 benih pohon yang ditanam. Jenis-jenis benih pohon itu adalah mahoni, lumei, kayu besi, bintanggur, dan cemara. Biaya pengadaan benih-benih pohon dikumpulkan secara swadaya dan berasal dari sejumlah tokoh masyarakat yang peduli terhadap masalah lingkungan,” tutur Freedy.

Pria berusia 56 tahun itu mengatakan, kegiatan penanaman diikuti sejumlah komunitas masyarakat sipil dan mahasiswa di dalam dan luar Jayapura, seperti Forum Port Numbay Green, Klub Pencinta Mangrove Dok 8, Gallery Photografi Indonesia Region Jayapura, dan organisasi Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) Cabang Manokwari, Papua Barat.

”Kegiatan penanaman di Meribo sudah berlangsung dua kali. Sebelumnya kami melaksanakan kegiatan itu dengan menanam 1.000 benih pohon pada Juni lalu. Pohon-pohon ini akan menghijaukan kembali Meribo yang gersang,” ujar Ketua Forum Port Numbay Green itu.

Ria Sari (20), mahasiswa semester tiga di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura, mengaku telah dua kali mengikuti kegiatan penanaman pohon di Bukit Meribo walau tempat tersebut sangat jauh dari tempat tinggalnya. ”Sikap kepedulian seorang manusia sangat terkait erat dengan bagaimana perhatiannya terhadap alam sekitar,” ujar gadis berjilbab itu.

Tepat pukul 13.00 WIT, acara penanaman pohon pun selesai. Kegiatan tersebut ditutup dengan acara makan bersama. Sambil menikmati ubi jalar dan ikan bakar, para aktivis terus merekatkan komitmen untuk kembali ke Meribo dalam waktu dekat ini.
Penyangga Jayapura

Meribo atau biasa disebut masyarakat adat dari wilayah Kayu Pulo ”Meirirebo” adalah salah satu kawasan hutan lindung yang berada dalam area Cagar Alam Gunung Cycloop. Kawasan seluas 20 hektar itu berperan sebagai penyangga Kota Jayapura dengan berbagai jenis pohon, yakni pinus, linggua, suang, kayu besi, dan bintangur.

Selain itu, Meribo juga merupakan sumber lima mata air ke sejumlah tempat di Distrik Jayapura Utara, yakni dua mata air menuju ke wilayah APO serta satu mata air masing-masing ke area Dok Empat, Dok Lima, dan Dok Sembilan.

Saat Kompas menyambangi Meribo, akhir Agustus lalu, tak ada satu pohon pun yang terlihat di tempat itu. Berdasarkan hasil observasi Lembaga Konservasi Daerah Aliran Sungai dan Pesisir Papua, Bukit Meribo dikategorikan sebagai lahan sangat kritis. Penyebabnya adalah aksi pembuatan ladang tradisional secara nomaden oleh sekelompok warga dari etnis tertentu yang tinggal di sekitar Meribo.

”Kami sungguh tak menyangka mereka kembali melakukan aksi pembakaran. Padahal, kami baru saja menanam 1.000 benih pohon pada Juni lalu. Namun, upaya penanaman tak akan terhenti. Kami akan terus memotivasi masyarakat agar peduli terhadap kawasan hutan lindung,” kata Ketua Lembaga Konservasi Daerah Aliran Sungai dan Pesisir Papua Yehuda Hamokwaron di lokasi penanaman.

Yehuda menuturkan, masalah pembalakan liar dan pembakaran hutan di kawasan Cagar Alam Gunung Cycloop dimulai sejak penerapan kebijakan otonomi khusus 2001. Pertumbuhan pesat Kota Jayapura memicu arus deras urbanisasi warga dari sejumlah kabupaten. Sayangnya, masyarakat yang tidak memiliki sumber daya manusia memadai tersisihkan dari ketatnya persaingan ekonomi di ibu kota Provinsi Papua tersebut.

”Warga yang tersisihkan tidak memiliki pekerjaan dan rumah. Akhirnya mereka menempati kawasan hutan lindung di Jayapura. Mereka kemudian menebang dan membakar pohon untuk dijadikan arang. Arang itu dijual ke sejumlah rumah makan yang menyajikan kuliner ayam dan ikan bakar,” papar Yehuda.

Masyarakat Jayapura akan selalu dihantui musibah banjir dan longsor apabila pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya tak menghentikan aksi pembalakan hutan lindung. Sebab, pohon berdaya serap air yang tinggi semakin berkurang.

”Perlu diingat bahwa dari Bukit Meribo, aliran air sangat deras karena hujan selama empat jam telah meluluhlantakkan Distrik Jayapura Utara pada 22 Februari lalu. Sembilan warga tewas tertimbun longsor. Musibah ini adalah yang terbesar di Jayapura selama lima dekade terakhir. Apabila pemerintah masih menutup mata, musibah berikutnya yang berskala lebih besar akan menyusul,” ujar Yehuda.



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008704664

Related-Area: