BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Memberdayakan Warga demi Penyu Belimbing

Fitryanti Pakiding
Memberdayakan Warga demi Penyu Belimbing

Oleh: Fabio Maria Lopes Costa

”KESUKSESAN konservasi penyu belimbing di Papua Barat tergantung pada dukungan masyarakat lokal. Jika mereka tidak disadarkan, upaya konservasi tidak terlaksana.” Demikian inti ucapan Fitryanti Pakiding seusai menerima penghargaan Whitley Fund for Nature 2014 dari Putri Anne di gedung Royal Geographical Society, London, Inggris, 8 Mei 2014.

Fitryanti adalah orang Indonesia ke-8 yang terpilih sebagai penerima penghargaan bagi individu dan organisasi yang dinilai konsisten menghadirkan usaha konservasi demi pelestarian di bidang lingkungan hidup. Perempuan yang biasa disapa Fitry ini sejak tahun 2011 bersama tim dari Universitas Negeri Papua (Unipa) terjun langsung memberdayakan warga setempat.

Dia memberdayakan warga di tiga kampung, yakni Saubeba, Wau, dan Warmendi, di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Dia memilih areal tersebut karena kampung itulah yang mengapit dua lokasi konservasi penyu belimbing, yakni Pantai Jamursba Medi dan Pantai Warmon. Apa yang mereka lakukan itu pun mendapat perhatian internasional.

Saat ditemui, perempuan berusia 41 tahun itu tengah beraktivitas di ruang kerjanya di gedung Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Unipa, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Dia tengah mempersiapkan sejumlah barang yang akan dibawa ke Kampung Saubeba.

”Sudah dua minggu kami diusir dari lokasi konservasi oleh ketua adat setempat. Ini karena warga menganggap kami memasuki hak ulayat tanah mereka. Jadi, saya mau ke kampung-kampung itu, meminta warga memberi kami kesempatan masuk ke lokasi konservasi. Kondisi seperti ini biasa kami hadapi dalam empat tahun terakhir,” papar dia.

Kegiatan konservasi tak hanya berupa penyelamatan sarang dan telur hewan langka bernama latin Dermochelys coriacea ini, tetapi Fitry juga memberikan pengetahuan tentang pengolahan hasil pertanian bagi sekitar 80 kepala keluarga di tiga kampung tersebut.

Dia mengajari mereka membudidayakan sayur, membuat dendeng dari daging rusa dan babi hutan, membuat pupuk organik, dan minyak kelapa. Dia juga membekali warga dengan kemampuan berwirausaha dan akuntansi dasar.

”Pada 2010, saya diajak seorang aktivis lingkungan dari Kanada, Heidy Gjuertsen, mendata kondisi sosial dan ekonomi warga di areal konservasi. Ternyata mereka terjerat dalam kemiskinan. Saya terpanggil memberikan sejumlah pelatihan, lima kali dalam seminggu. Kegiatan ini mengubah hati mereka, kami diizinkan bekerja di lokasi konservasi,” cerita dia.

Pemberdayaan itu sejalan dengan konservasi penyu belimbing yang dikoordinasi rekan sejawatnya di Unipa, Rikardo Tapilatu, dan delapan anggota timnya. Setiap tahun ada sekitar 1.300 sarang, tempat penyu belimbing menetaskan telur. Jumlah itu sekitar 80 persen dari total sarang penyu belimbing di kawasan Samudra Pasifik.

”Upaya konservasi harus intensif karena banyak faktor yang mengancam kelangsungan hidup penyu belimbing. Kondisi pasir di pantai yang terlalu panas, misalnya, bisa menggagalkan proses penetasan. Dalam kondisi seperti ini, telur-telur harus dipindahkan. Ada pula ancaman dari predator, seperti anjing dan babi hutan, yang suka makan telur penyu,” tutur dia.
Sejak dini

Fitry bekerja sebagai dosen dan peneliti di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Unipa. Namun, dia juga meminati lingkungan hidup. Minat itu muncul karena tempat tinggalnya berlokasi dekat kawasan hutan lindung di gugusan Gunung Cyloop, Kampung Apo, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Papua.

”Kami pindah dari Sulawesi Selatan dan tinggal di Apo sejak tahun 1974. Sehabis pulang sekolah pukul 12.00 WIT, saya suka bermain ke hutan sampai sore. Setiap hari kawasan ini didatangi berbagai jenis burung. Di sini juga banyak aliran air dan jernih. Keindahan itu tinggal kenangan, tergerus pembangunan permukiman warga,” ujar perempuan asal Toraja ini.

Selain kenangan masa kecil, setamat S-1 dari IPB tahun 1997 dia termasuk dalam tim penerjemah untuk penyusunan buku tentang ekologi nasional yang memuat kekayaan alam Indonesia selama setahun. Ikut menyusun buku itu, pengetahuan dia tentang kekayaan alam Papua makin bertambah.

Kecintaan kepada lingkungan ditularkan Fitry kepada anak-anak setempat. Jadilah pemberdayaan yang dia lakukan tak hanya untuk warga dewasa, tetapi ada pula rumah belajar bagi anak-anak di Kampung Saubeba. Di sini, pengetahuan tentang penyu belimbing pun diajarkan.

Anak-anak dibawa ke pantai konservasi, mengikuti kegiatan Camping Sahabat Penyu. Mereka melihat sarang telur penyu belimbing dan diajari cara melepaskan tukik atau anak penyu yang panjangnya sekitar 5 sentimeter ke laut.

”Upaya regenerasi penting. Kami tak mungkin bisa terus konsisten melakukan konservasi. Anak-anak di tiga kampung ini adalah penentu nasib konservasi penyu belimbing di masa depan. Ini yang memotivasi saya membuka dua rumah belajar lagi di Kampung Wau dan Kampung Warmendi tahun ini,” ungkap dia.

Fitry pun berharap bisa membagi pengetahuan tentang penyu belimbing kepada anak-anak di Kabupaten Manokwari dan Kota Sorong sepanjang tahun ini. Alasan dia, informasi tentang hewan itu amat minim.

”Penyu belimbing adalah ikon Papua Barat. Ironisnya, banyak warga yang tak tahu keberadaan dan bentuk hewan ini. Oleh karena itu, saya dan enam anggota tim gencar berupaya memperkenalkannya kepada warga. Kami telah melakukan sosialisasi di 10 SD di Manokwari,” kata dia.
Banyak kendala

Fitry mengakui ada sejumlah kendala yang sering menghambat kegiatan konservasi dan upaya pemberdayaan warga. Salah satunya adalah minimnya modal untuk biaya hidup dan transportasi mereka selama berada di tiga kampung dan dua lokasi konservasi.

”Untuk sekali perjalanan ke lokasi konservasi selama enam jam dengan kapal cepat, kami menghabiskan dana Rp 15 juta. Biaya untuk makan dan minum di sini juga mahal,” ungkap Fitry.

Sementara pemerintah daerah belum memberikan bantuan dana. Jadilah dia berusaha mendapatkannya lewat proposal kepada sejumlah lembaga asing yang peduli pada lingkungan. Alhasil upayanya mendapat respons positif.

”Pernah ada lembaga yang memberikan dana Rp 160 juta. Kami menggunakannya sehemat mungkin agar kegiatan pemberdayaan dan konservasi bisa berlangsung enam bulan,” kata dia.

Kondisi cuaca yang tidak menentu juga menjadi kendala. Beberapa kali perahu yang ditumpangi Fitry tak dapat melanjutkan perjalanan ke lokasi konservasi karena ketinggian gelombang di perairan Pasifik mencapai 3 meter.

Namun, Fitry menegaskan, semua kendala itu tidak akan menyurutkan semangatnya untuk memberdayakan warga setempat.
—————————————————————————
Fitryanti Pakiding
♦ Lahir: Rantepao, Sulawesi Selatan, 12 November 1972
♦ Orangtua: Julius Pakiding Lamba dan Agustina Limbong 
♦ Pendidikan:
- SD Inpres Apo, Jayapura, 1979-1985
- SMP Negeri 1 Jayapura, 1985-1988
- SMA Katolik Cenderawasih Makassar, 1988-1991
- S-1 Jurusan Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 1992-1997
- S-2 Jurusan Agriculture Economic,  Oklahoma State University, AS, 2001-2003
- S-3 Jurusan Agriculture Economic,  Oklahoma State University, AS, 2003-2007
♦ Penghargaan: Whitley Fund For Nature  2014

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007184711