Sarehan
Tukang Paut Rebana Gamelan Sasak
Oleh: KHAERUL ANWAR
Seorang penabuh rebana gamelan semestinya memiliki kemampuan sebagai tukang paut atau menyetel laras nada. Kemampuan menyetel laras nada diperlukan agar mereka lebih mudah memperbaiki sendiri instrumen gamelan yang bernada fals.
Namun, untuk menjadi pelaras nada gamelan, seseorang harus memiliki ketelatenan serta kepekaan pendengaran dan perasaan untuk mencari atau menyetel nada yang pas sesuai fungsi instrumen itu dalam orkestra gamelan.
Relatif tidak banyak orang yang memiliki keahlian sebagai pelaras nada gamelan. Salah satunya adalah Sarehan (72), warga Lingkungan Otak Desa, Kelurahan Dasan Agung, Kota Mataram.
Sarehan merupakan penabuh sekaligus pelaras nada rebana gamelan Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). ”Pada gamelan itu, yang susah mencari nada yang pas,” ujar Sarehan yang saat ditemui tengah menyetem instrumen gendang.
Tangan kanannya mengayunkan palu ke pasak gendang, lalu dia berhenti sejenak. Keheningan itu digunakan Sarehan untuk mengecek nada rebana yang ditabuhnya.
”Beres. Rebana ini ibarat perut orang. Sebelum perutnya diisi, tidak mau mengeluarkan suara,” kata dia mengumpamakan rebana dengan perut sembari merinci komponen pada rebana.
Badan rebana terbuat dari kayu berdiameter tertentu. Penampangnya dari kulit kambing. Ada sidak rotan (seukuran lidi) dipasang melingkar di sela-sela badan bagian atas dan penampang rebana.
Untuk mengencangkan dan mengendurkan penampang, ada tali dari kawat atau rotan yang dikaitkan dengan badan bagian bawah rebana yang juga dilengkapi pasak.
Sementara titi laras rebana meliputi ndung, ndeng, ndong, nde’ng, dan ndang. Ini adalah pengetahuan standar tukang laras. Rebana yang mengeluarkan nada-nada itu terdapat pada instrumen sepasang terompong (bernada g), pengempat (fis), penglima (f), tongseh (b) dan pemalek (dis), gendang, gong (g), serta beberapa rincik dan sebuah petuk.
Jam terbang
Sebelum seseorang bisa menjadi pelaras nada, diperlukan pengalaman atau jam terbang yang relatif tinggi. Mereka biasanya juga mahir memainkan semua instrumen rebana gamelan. Selain insting, mereka pun memiliki kemampuan ”mendengarkan” dan pengetahuan secara detail tentang seluk-beluk komponen rebana gamelan.
”Persyaratan” sebagai pelaras nada rebana gamelan itu didapatkan Sarehan dari ayahnya, Abdul Rahim. Sang ayah adalah seniman dan pemimpin grup teater tradisional Cupak-Gerantang yang relatif kondang di Mataram pada 1960-1970-an.
Untuk mewarisi keahlian itu, Sarehan selalu nimbrung ketika ayahnya tengah memperbaiki dan melaras nada pentatonik rebana. Dari sebatas melihat, kemudian dia diberi tugas untuk membenahi komponen rebana yang mengalami kerusakan kecil. Sembari menyimak, dia belajar mengenali tangga nada ”kunci” rebana.
Ketekunan Sarehan membuat dia kemudian menjadi ”asisten” sang ayah dalam melaras nada setelah sekitar empat bulan mempelajarinya. Sejak saat itulah, dia juga menjadi penabuh rebana gamelan yang pentas berkeliling hampir di segala penjuru Pulau Lombok.
Kalangan perkantoran atau instansi pemerintah di NTB pun kemudian memboyong Sarehan dan kawan-kawan meramaikan berbagai acara seni dan budaya di kabupaten/kota di NTB. Mereka juga pentas di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Namun, seiring bertambahnya usia, Sarehan mengurangi kegiatan naik panggung bersama kelompoknya. Dia memilih lebih banyak menggunakan waktunya sebagai tukang paut rebana gamelan.
Di samping itu, setiap Jumat malam, dia melatih anak muda yang mau belajar menjadi penabuh rebana. ”Sesekali saya masih ikut pentas,” kata dia. Ia, misalnya, tampil pada pentas seni di Museum Negeri NTB dan Taman Budaya NTB.
Sejak tahun 1998, dia bekerja sebagai tukang kebun di unit pelaksana teknis sebuah instansi di Mataram dengan honor Rp 800.000 per bulan. Tahun 2007, dia berhenti karena usia lanjut.
Sebagai tukang paut, bisa dikatakan setiap waktu ada saja orang yang datang meminta dia menyetel ulang rebana milik beberapa grup kesenian di NTB. Sering pula Sarehan diminta sejumlah instansi pemerintah yang komponen rebananya perlu dibenahi, seperti pasak yang aus dan bergeser, agar suaranya bisa kembali sempurna.
Kepekaan telinga Sarehan mendengar suara rebana tak diragukan lagi. Saat menyaksikan ada grup gamelan rebana sedang pentas, misalnya, dia gelisah mendengar suara rebana yang setelannya berubah fals.
Jadilah seusai grup itu pentas, dia langsung turun tangan menawarkan diri menyetel kembali rebana milik grup kesenian itu. Kepedulian dan hasil kerja Sarehan yang memuaskan mereka yang menggunakan jasanya membuat dia dikenal para seniman.
Sebagai tukang laras nada, dia tidak menentukan tarif. Untuk satu perangkat rebana (dari rebana terompong hingga rebana pemalek), biasanya Sarehan mendapat bayaran sekitar Rp 200.000. Padahal, proses menyetel satu unit rebana bisa memakan waktu seharian. Dia juga memerlukan suasana tenang untuk mendapatkan laras nada yang pas.
Dikejar-kejar
Berkesenian bagi ayah dari delapan anak ini adalah panggilan hidup. Bahkan, dia mau meninggalkan bangku sekolah kelas V sekolah rakyat karena ingin total berkesenian. Sarehan bercerita, karena tak bersekolah, dia harus mencari tempat persembunyian.
Sebab, jika ketahuan tidak bersekolah, dia pasti akan dikejar-kejar kepala dusun di kampungnya. ”Waktu itu kepala dusun kami suka menggiring anak-anak yang keluyuran sampai ke pintu kelas,” ujar dia.
Sarehan konsisten dengan pilihannya mengingat tahun 1950-1970-an kesenian tradisi masih menjadi salah satu media hiburan masyarakat, terutama di desa-desa. Mereka biasanya ditanggap untuk meramaikan acara pernikahan dan khitanan.
Bahkan, pada hari besar nasional, seperti Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, grup rebana gamelan pun ikut pawai usai apel. ”Sebelum apel berlangsung, kami juga menabuh rebana keliling kampung, mengingatkan warga bahwa tanggal 17 Agustus adalah hari bersejarah,” ucap anak tunggal pasangan Abdul Rahim-Sarah ini.
Ramainya undangan pentas acap kali membuat dia tak pulang sampai berminggu-minggu. Pernah dia dan rombongan berjalan kaki sejauh sekitar 25 kilometer dari tempat pentas di Desa Ganti ke kota Praya, ibu kota Lombok Tengah.
Pasalnya, hingga sore truk yang menjemput mereka tak kunjung datang. Tiba di Praya tengah malam, mereka menginap di rumah warga yang seasal dengannya.
”Kebetulan di tempat kami menginap ada warga yang mengadakan acara khitanan. Tuan rumah minta kami pentas,” kata Sarehan. Esok harinya, mereka baru pulang menumpang truk yang disediakan tuan rumah plus membawa honor....
Sarehan
♦ Lahir: Lingkungan Otak Desa, Dasan Agung, Mataram, Nusa Tenggara Barat, 1942
♦ Istri: Fatimah (alm)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006215939
- Log in to post comments
- 273 reads