BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ketika ”Sasi Nggama” Menjaga Kaimana

TANAH AIR
Ketika ”Sasi Nggama” Menjaga Kaimana

TRADISI  sasi nggama begitu lekat pada masyarakat nelayan di Kabupaten Kaimana, Papua Barat. Berakar dari kearifan lokal, tradisi ini terus berkembang. Kini, larangan mengambil hasil laut menjadi ”benteng” yang menjaga eksploitasi Laut Kaimana. Irene Sarwindaningrum

Meskipun pemegang hak ulayat laut di pesisir Kaimana bisa membuka sasi (larangan) pengambilan hasil laut atau kebun (sanggama) ”kepemilikan” lautnya kapan pun, umumnya para tetua adat membuka sasi hanya pada Februari-April.

Awal Maret lalu, di sebuah teluk di kawasan Desa Kayu Merah, pembukaan sasi diawali dengan ritual melepas sepiring pinang, sirih, dan kapur ke laut. Warga berbondong-bondong berdatangan dari Desa Kayu Merah yang letaknya di pulau kecil sekitar 30 menit dengan kapal cepat dari teluk itu.

Dipimpin tokoh adat setempat, ritual digelar sebagai simbol syukur. Suasana berlangsung khidmat. Setelah ritual kecil usai, suasana berubah menjadi meriah. Warga beramai-ramai terjun ke laut. Tua, muda, pria, wanita, bahkan anak-anak belasan tahun ikut menyelam tanpa alat bantu sama sekali.

Membuka sasi ibarat panen raya untuk lola (kerang), batulaga, dan teripang. Sebab, saat itulah warga merayakan kekayaan lautnya, memanen beragam biota laut yang sebelumnya pantang diambil. ”Buka sasi banyak dinanti warga karena hasilnya bisa besar. Padahal, satu laut hanya buka sasi 1-2 kali setahun,” kata Kepala Desa Kayu Merah Mohammad Jen Karafey (38) yang disapa Om Jen.

Kabupaten Kaimana merupakan kabupaten kepulauan di bagian kepala burung Pulau Papua. Dari sekitar 330 pulau, hanya 8 pulau besar yang berpenghuni. Pulau-pulau kecil yang tersebar di antara bukit-bukit karst itu menjadi benteng alam Kaimana dari keganasan gelombang Laut Arafuru dan tempat berlindung beragam satwa.

Laut dengan sebaran pulau-pulau kecil itu begitu kaya akan keanekaragaman hayati dan biota laut. Di sinilah disebutkan juga ”kerajaan ikan” yang terpendam pada pesisir Kaimana. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Kaimana tahun 2009, Laut Kaimana memiliki 995 spesies ikan, 486 jenis terumbu karang yang 16 di antaranya merupakan jenis baru, dan 28 jenis udang mantis. Udang dan kakap merah menjadi komoditas andalan nelayan setempat, selain lola dan teripang.
Ketergantungan pada laut

Buka sasi merupakan puncak ritual sasi nggama yang artinya larangan mengambil hasil laut atau kebun. Biota laut yang dikenai larangan untuk diambil adalah jenis-jenis yang berharga tinggi, termasuk tanaman kebun dan hutan.

Dengan buka sasi, artinya laut dibuka untuk diambil hasilnya. Tentu hanya lola dan teripang dewasa yang boleh diambil. Untuk bermacam jenis ikan, warga tak dilarang menangkap atau memancingnya. Mereka boleh kapan pun mengambilnya. Sasi berlangsung 1-2 pekan saja.

Mariam Waria (36), warga Kayu Merah, mengaku dapat mengumpulkan Rp 5 juta-Rp 6 juta setiap kali buka sasi. Hasilnya dibagi dengan pemegang hak sasi atau ”pemilik” laut ulayat tempat sasi itu diberlakukan. ”Orang yang punya sasi bisa dapat Rp 20 juta dari bagi hasil semua orang yang ikut buka sasi,” ujarnya.

Bagi warga di pesisir Kaimana, sasi nggama sebenarnya bentuk kesadaran yang tinggi untuk ikut menjaga kelestarian laut. Ketergantungan pada kekayaan laut begitu erat karena 80 persen penduduk adalah nelayan.

Om Jen menuturkan, sasi nggama berlaku sebagai upaya mencegah biota-biota yang termasuk langka dan mahal dieksplorasi berlebihan. Larangan selama beberapa bulan dimaksudkan untuk memberikan waktu biota berkembang biak. Dengan demikian, ketersediaannya cukup terjaga. ”Kalau ikan, teripang, dan lola habis di laut, kami sendiri yang akan susah. Tak ada uang dan tak ada makanan,” ucap Om Jen.

Sasi nggama juga dimaknai sebagai sumber pendapatan di masa paceklik, seperti saat ikan sulit didapat atau musim badai dan gelombang tinggi, terutama pada Februari-April ini. Pada Mei-November, nelayan biasanya mendapat tangkapan ikan cakalang, tenggiri, dan bubara. Adapun Januari saatnya musim kakap merah. Namun, di luar bulan-bulan itu, buka sasi menjadi andalan menangkap lola dan teripang.

Untuk menjaga kelestarian laut, warga pesisir Kaimana yang tinggal di pulau-pulau kecil juga melarang pengambilan ikan dengan cara menggunakan pukat harimau, potas, dan bom ikan. Hal ini demi melindungi terumbu karang yang vital.
Mengikuti zaman

Pada perkembangannya, sasi nggama mengikuti zaman. Dulu, pelanggar sasi didenda membayar dengan piring keramik atau barang berharga lainnya. Karena itu, warga takut melanggar karena sulit mendapatkan piring keramik. Selain itu, mereka juga meyakini bakal bernasib buruk.

Saat ini sistem denda berubah dengan uang dalam jumlah besar. ”Ada yang menerapkan denda Rp 10 juta sampai Rp 100 juta untuk satu lola yang diambil,” kata Tajudin (26), petugas penyuluh lapangan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kaimana. Perubahan sistem denda dilakukan karena semakin banyak kapal dari luar Kaimana masuk ke laut ulayat dan melanggar sasi.

Sekretaris Desa Adi Jaya Hussein Sanggei (37) menuturkan, beberapa kapal besar itu pernah ditangkap dan digiring ke desa karena melanggar sasi. ”Mereka ketahuan melanggar sasi. Denda besar dikenakan agar mereka tak melanggar lagi,” ujar dia.

Kesadaran warga untuk tak merusak laut juga diterapkan pada larangan menggunakan pukat harimau dan potas. Sayangnya, aturan-aturan yang dipegang masyarakat Kaimana justru dilanggar kapal-kapal asing.

Bahkan, berkali-kali warga konflik dengan kru kapal-kapal perusahaan penangkap ikan karena mereka beroperasi di kawasan sasi. ”Itu merugikan nelayan karena tangkapan jadi berkurang. Apalagi pukat harimau, semua isi laut hancur terkena. Ikan kecil dan terumbu karang juga rusak,” ujar Tajudin.

Agar siapa pun bisa menyusuri pesisir Kaimana seraya menikmati kekayaan hayati dan biota lautnya, selayaknya sasi
nggama terus diterapkan.
 

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005873622