BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Beranda Depan yang Harus Didandani

Nusa Tenggara Timur
Beranda Depan yang Harus Didandani

Nusa Tenggara Timur setidaknya melekat dengan dua karakter dominan. Sebagai beranda depan Indonesia karena berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia serta sebagai provinsi kepulauan dengan wilayah seluas 247.000 kilometer persegi (lautan 200.000 kilometer persegi dan hanya 47.000 kilometer persegi daratan). Terkait dua karakter itu, sejumlah persoalan serius terus mengganjal yang pembenahannya menuntut perhatian serius pemerintah pusat.

Timor Timur—kini Timor Leste—sejak 15 tahun lalu lepas dari Indonesia. Pemisahan itu meninggalkan tapal batas sepanjang 280 km di Pulau Timor bagian NTT. Rentangannya masing masing sepanjang tepi timur Kabupaten Belu (149,9 km). Sebagian (130,1 km yang lain) adalah tapal batas dengan Oekusi, wilayah enclave Timor Leste di sebelah utara Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Kupang.

”Tapal batas negara sepanjang 280 km itu beranda depan Indonesia di NTT. Sejatinya, potret kawasannya harus terbebas dari isolasi, kebutuhan penerangan listrik dan air bersih tersedia, serta masyarakatnya sejahtera. Namun, gambarannya hingga sekarang kondisinya masih terabaikan. Pembenahannya terlampau sulit jika hanya berharap dari APBD NTT,” tutur Gubernur NTT Frans Lebu Raya di Kupang, Kamis (27/2).

Potret kawasan perbatasan di NTT memang layak disoroti. Kondisinya rata rata masih sangat tertinggal. Sebagai contoh, simak misalnya gugatan Freddy Olin (68), warga Aplal, Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis, Timor Tengah Utara. Ia mengaku sangat kecewa karena tetap saja menyaksikan kampungnya belum bebas dari keterisolasian. Padahal, kampungnya dan juga kawasan sekitarnya merupakan bagian dari tapal batas negara.

Aplal sekitar 70 km sebelah barat Kefamenanu, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Utara. Sebenarnya sejak belasan tahun lalu terhubung jaringan jalan, tetapi kondisinya sungguh terabaikan. Badan jalan beraspal ”bopeng” hanya separuhnya, yakni sejak lepas Kefamenanu hingga Eban, sekitar 30 km. Selebihnya nyaris tanpa balutan aspal. Badan jalan hanya berlapiskan susunan batu bercampur pasir, tetapi di banyak titik berlubang dalam dan menyisakan genangan lumpur selama musim hujan. NTT memiliki Badan Daerah Pengelola Perbatasan. Namun, keberadaannya dinilai ”ompong” karena hanya berfungsi koordinatif.

”Pembenahan tapal batas itu butuh perhatian serius agar masyarakat sekitarnya terhindar dari ancaman pembangkangan secara ideologis. Salah satu perhatian yang diharapkan dari pemerintah pusat adalah memperkuat kewenangan badan khusus tersebut. Gambaran muram kawasan tapal batas Indonesia di daerah lain, jangan terjadi di NTT,” kata Frans Lebu Raya.

Sebagai provinsi kepulauan yang masih tertinggal, NTT sungguh mengandalkan armada feri atau jenis kapal yang tetap mampu beroperasi selama musim barat. Sejauh ini setidaknya ada enam feri mendukung mobilitas warga, barang, dan jasa di NTT. Namun, semua armada tersebut ternyata hanya berkapasitas 700 GT, untuk penyeberang jarak pendek atau dengan waktu tempuh paling lama lima jam. Padahal, di NTT hanya rute Kupang-Rote yang waktu penyeberangannya lima jam, sementara rute yang lain rata rata di atas 10 jam, bahkan hingga 25 jam! Jika NTT terisolasi selama musim barat, akar persoalannya karena armada feri tidak mampu beroperasi.
Peternakan sapi

Pengamat kebijakan publik di Kupang, Frans Skera, menegaskan, ketertinggalan NTT tidak cukup hanya dengan ”menyehatkan” perhubungan laut dan membenahi kawasan perbatasan. Pemerintah pusat juga harus memberikan perhatian serius menyehatkan kembali usaha peternakan, terutama sapi di NTT. ”NTT hingga tahun 1990-an berperan penting memasok sapi potong bagi Jakarta. Potensi itu harus dihidupkan kembali,” kata mantan anggota DPR ini.

Memasuki tahun kedua periode kedua kepemimpinannya sebagai Gubernur NTT, Frans Lebu Raya tetap berkomitmen mendorong kesejahteraan lewat program desa mandiri Anggur Merah (Anggaran untuk Rakyat Menuju Sejahtera). Hingga kini, dukungan dana APBD NTT yang tersalur mencapai Rp 513 miliar, melibatkan 1.480 dari 3.246 desa/kelurahan di NTT.

Dana pemberdayaan ekonomi rakyat itu sejatinya merupakan hibah yang pola penyalurannya secara bergulir. Program desa mandiri Anggur Merah merupakan bagian dari upaya sederhana mendandani NTT sebagai beranda depan Indonesia.
(FRANS SARONG)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005312865