BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Patronase Politik dan Adat

Patronase Politik dan Adat

Perubahan politik di Nusa Tenggara Timur berlangsung cukup dinamis, tetapi perkembangan kesejahteraan, khususnya pendidikan, tetap statis. Di dalam lingkaran patronase politik dan adat yang mengikat erat, laju kesejahteraan dipertaruhkan.

Dinamika politik di Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa dilihat dari perubahan perolehan suara sejak tahun 1999 hingga 2009. Partai Golkar, meskipun mewarisi kekuatan Orde Baru, sedikit demi sedikit meredup pengaruhnya. Pada 1999, partai berlambang beringin ini meraih 40,8 persen dukungan, lima tahun kemudian turun menjadi 37 persen, dan merosot pada Pemilu 2009 menjadi 17,6 persen.

Wajah wilayah pun berubah-ubah. Pada pemilu awal reformasi (1999), politik seolah membelah ideologi utara-selatan secara tegas, utara (Pulau Flores dan sekitarnya) merah oleh PDI-P dan selatan (Timor dan sekitarnya) kuning oleh Golkar. Pemilu 2004, Golkar menggeser penetrasi PDI-P di utara sehingga hanya tersisa di sudut barat Pulau Flores. Pemilu 2009, penetrasi Partai Demokrat mengubah sebagian warga kuning dan merah menjadi biru.

Melihat perubahan-perubahan ini, pragmatisme masyarakat dalam politik tampak lebih menonjol dibandingkan dengan kesetiaan ideologi. Meski tidak kental dalam ideologi, sifat patronase masih kuat, membuat kepemimpinan relatif stabil. Gubernur sekarang, Frans Lebu Raya, kembali menang dalam pilkada sehingga bisa menjabat untuk periode kedua. Gubernur sebelumnya, Piet A Tallo, juga bertahan dua periode.

Sifat patronase yang cukup kuat ini tampaknya menjadi elemen tradisi yang cenderung menguntungkan para elite, untuk mempertahankan kekuasaan. Sumber daya birokrasi sangat ditentukan warna kepemimpinan politik dan menjadi lebih bersifat vertikal, melayani kekuasaan politik daripada melayani ke bawah.

Di tengah kuatnya patronase kepemimpinan, laju kesejahteraan tergolong lambat. Perkembangan Indeks Kesejahteraan Daerah NTT termasuk dalam
tiga terbawah dari semua provinsi. Selama lima tahun (2007-2012) hanya naik 10,8 persen dibandingkan dengan rata-rata provinsi, yang mengalami kenaikan rata-rata 13,51 persen. Senada dengan itu, indeks pembangunan manusia juga tergolong ke dalam kelompok paling bawah bersama Papua dan Nusa Tenggara Barat.

Meskipun diakui ada sedikit peningkatan, perkembangan nilai dalam kesejahteraan ini terlalu jauh beda dengan perkembangan anggaran belanja daerah. Selama kurun 2007–2012, terjadi peningkatan belanja daerah lebih dari dua kali lipat. Total belanja pemerintah provinsi dan semua kabupaten/kota tahun 2007 Rp 6 triliun meningkat menjadi Rp 13 triliun pada 2012.

Peningkatan belanja daerah yang tidak diimbangi laju kesejahteraan jadi petunjuk bahwa NTT tidak efisien dalam penggunaan anggaran. Rasio Efisiensi Relatif Penggunaan Anggaran terhadap IKD daerah ini 0,96, jauh di atas rata-rata nasional yang 0,57. Ini mengindikasikan, NTT masih menjadi daerah yang lebih tidak efisien daripada rata-rata provinsi yang lain.

Kemiskinan dan pendidikan menjadi dua indikator kesejahteraan yang selalu tertinggal dalam perubahan di NTT. Setali tiga uang dengan kemiskinan, pendidikan di NTT jauh tertinggal dari rata-rata nasional.
(Bambang Setiawan/Litbang Kompas)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005312859