Sumbawa Besar, (Antara)- Dosen Fisipol UGM Yogyakarta Ari Sujito menyatakan keberadaan UU Desa akan memperkuat pilar demokrasi daerah, karena badan perwakilan desa dan kepala desa dapat bersinergi untuk saling menguatkan kapasitas, bukan justru saling menjegal.
"Sinergi antara badan perwakilan desa (BPD) dan kepala desa dapat dimaksimalkan dengan menjadikan UU Desa sebagai acuan memperbaiki pelayanan publik, seperti bidang pendidikan dan kesehatan, termasuk mengembangkan badan usaha milik desa, sehingga desa mampu membangun kemandirian," kata Ari yang juga perumus UU Desa, di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, Rabu.
Sebelumnya, lanjut dia, desa diibaratkan sebagai air mata dan kota adalah mata air. Penyebabnya adalah program pembangunan selalu terpusat di kota sehingga desa menjadi terbelakang. Kota dengan lahapnya menyantap `kue` pembangunan, sedangkan desa hanya bisa meratap.
"Dengan adanya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, maka desa akan menjadi mata air," ucap dia.
Dikatakannya, dengan UU itu, desa akan mendapat alokasi anggaran sangat fantastis senilai Rp1 miliar per tahun yang dialokasikan langsung dari APBN.
Selama ini, ujar Ari, desa mengalami marginalisasi atau proses peminggiran. Seringkali APBD tidak sesuai dengan usulan orang-orang di desa.
Usulan yang muncul dari rakyat, seringkali tidak `nyambung` setelah diolah di dinas tingkat kabupaten. Artinya, hanya desa yang memiliki akses dengan politisi dan pemerintah, yang mendapat bagian kue APBD. Tetapi yang tidak memiliki akses, jangan berharap akan mendapatkannya, ujarnya.
"Jadi sebenarnya, ada tiga masalah pokok di sini. Pertama, terjadi keterputusan antara partisipasi, politik dan teknokrasi," katanya.
Masalah kedua, lanjut dia, dalam Musrenbang pun terjadi keterputusan antarsektoral. Antardinas pendidikan, kesehatan dan lainnya, seringkali memiliki ukuran berbeda di dalam perencanaan dan penganggaran.
Misalnya, antarsektor A dan B kerap bertabrakan, sehingga terjadi inefisiensi. Akibatnya, dana banyak tapi tidak muncul kesejahteraan. Sedang masalah ketiga, antara penganggaran dan perencanaan seringkali tidak sama.
"Perencanaannya A tapi penganggarannya B, itu tergantung selera di elite lokal. Ini masalah yang cukup serius. Selama ini, kedudukan desa itu tidak jelas di hadapan supradesa, baik kabupaten, provinsi maupun nasional," ujarnya.
Dia melanjutkan, padahal desa itu lebih awal hadir dibandingkan republik ini. Apakah dalam bentuk desa, adat, marga, kampung, atau warna-warna lain. Atas dasar itulah, wajib hukumnya ketika reformasi terjadi, negara wajib berpihak pada desa.
Selama ini, terkait program-program pembangunan, desa hanya menjadi lokasi, bukan sebagai subjek pelaksana pembangunan.
"Kondisi ini harus diakhiri, karena rakyat desa sudah bersubsidi terhadap jalannya demokrasi. Rakyat berbondong-bondong ke bilik suara untuk mengubah keadaan, tapi itu tidak terjadi. Berdasarkan kondisi itu, UU Desa akan menjadi bagian dalam mewujudkan perubahan itu," ujar Ari. COPYRIGHT © 2014
Sumber: http://www.antarantb.com/berita/25918/uu-desa-perkuat-pilar-demokrasi
- Log in to post comments
- 72 reads