BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

PENGUNGSI ROKATENDARelokasi Jangan Timbulkan Konflik

PENGUNGSI ROKATENDA
Relokasi Jangan Timbulkan Konflik
KUPANG, KOMPAS — Relokasi pengungsi tidak boleh menimbulkan konflik dengan warga lokal. Pembangunan rumah warga disesuaikan dengan kondisi perumahan penduduk lokal. Semua penduduk Pulau Palue, yang selama ini menjadi korban letusan Gunung Rokatenda, harus meninggalkan pulau itu.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) Tadeus Tini, Kamis (6/3), di Kupang, menuturkan, alokasi dana pembangunan rumah bagi pengungsi Rokatenda dari pemerintah adalah Rp 15 juta per unit ukuran 6 meter x 7 meter. Jika warga yang mengungsi memiliki uang dan ingin meningkatkan kualitas rumahnya, hal itu diizinkan, tetapi tidak boleh melebihi kualitas rumah penduduk lokal.
”Relokasi pengungsi ke lokasi baru tidak boleh melahirkan konflik dan kecemburuan sosial dengan penduduk lokal. Oleh karena itu, pemerintah harus menjaga keseimbangan perhatian terhadap pengungsi dan penduduk lokal,” kata Tadeus.
Hal itu terkait pembuangan kotoran oleh 251 keluarga dari 261 keluarga pengungsi Rokatenda yang menempati rumah baru di Nangaharure, sekitar 10 kilometer dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, NTT, ke laut. Rumah penampungan 251 keluarga itu tidak memiliki jamban.
Pemerintah Kabupaten Sikka sepakat mengalokasikan dana Rp 3 juta per keluarga untuk membangun jamban bagi 251 keluarga yang rumahnya tidak memiliki fasilitas itu.
Pulau Palue, lokasi Gunung Rokatenda, harus dikosongkan. Namun, pemerintah akan merelokasi pengungsi di Maumere dahulu. Masih ada sekitar 500 keluarga yang membutuhkan rumah. Mereka akan ditempatkan di Pulau Besar. Namun, 100 keluarga menolak pindah ke Pulau Besar.
Koordinator pengungsi, Robert Tongge, menyebutkan, warga Pulau Palue mau dipindahkan ke lokasi yang lebih aman dari letusan Rokatenda. Namun, pemerintah harus memperhatikan kebutuhan penduduk. Tidak hanya menyiapkan rumah, pemerintah juga perlu memperhatikan kebutuhan lain. (KOR)

KUPANG, KOMPAS — Relokasi pengungsi tidak boleh menimbulkan konflik dengan warga lokal. Pembangunan rumah warga disesuaikan dengan kondisi perumahan penduduk lokal. Semua penduduk Pulau Palue, yang selama ini menjadi korban letusan Gunung Rokatenda, harus meninggalkan pulau itu.Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) Tadeus Tini, Kamis (6/3), di Kupang, menuturkan, alokasi dana pembangunan rumah bagi pengungsi Rokatenda dari pemerintah adalah Rp 15 juta per unit ukuran 6 meter x 7 meter. Jika warga yang mengungsi memiliki uang dan ingin meningkatkan kualitas rumahnya, hal itu diizinkan, tetapi tidak boleh melebihi kualitas rumah penduduk lokal.

”Relokasi pengungsi ke lokasi baru tidak boleh melahirkan konflik dan kecemburuan sosial dengan penduduk lokal. Oleh karena itu, pemerintah harus menjaga keseimbangan perhatian terhadap pengungsi dan penduduk lokal,” kata Tadeus.
Hal itu terkait pembuangan kotoran oleh 251 keluarga dari 261 keluarga pengungsi Rokatenda yang menempati rumah baru di Nangaharure, sekitar 10 kilometer dari Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, NTT, ke laut. Rumah penampungan 251 keluarga itu tidak memiliki jamban.

Pemerintah Kabupaten Sikka sepakat mengalokasikan dana Rp 3 juta per keluarga untuk membangun jamban bagi 251 keluarga yang rumahnya tidak memiliki fasilitas itu.

Pulau Palue, lokasi Gunung Rokatenda, harus dikosongkan. Namun, pemerintah akan merelokasi pengungsi di Maumere dahulu. Masih ada sekitar 500 keluarga yang membutuhkan rumah. Mereka akan ditempatkan di Pulau Besar. Namun, 100 keluarga menolak pindah ke Pulau Besar.

Koordinator pengungsi, Robert Tongge, menyebutkan, warga Pulau Palue mau dipindahkan ke lokasi yang lebih aman dari letusan Rokatenda. Namun, pemerintah harus memperhatikan kebutuhan penduduk. Tidak hanya menyiapkan rumah, pemerintah juga perlu memperhatikan kebutuhan lain. (KOR)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005297378