BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mengolah Sampah Laut Menjadi Bernilai

KESEJAHTERAAN DAERAH
Mengolah Sampah Laut Menjadi Bernilai

Oleh: FRANSISKUS PATI HERIN dan A PONCO ANGGORO

TURUN-temurun, puluhan warga Batu Merah, Kecamatan Sirimau, Ambon, Maluku, mengolah kulit kerang menjadi beragam barang bernilai. Kulit kerang bukanlah sampah laut di mata mereka, melainkan sesuatu yang berharga bagi kehidupan para perajin.

Tidak sulit menemui perajin kulit kerang di Batu Merah. Di salah satu ruas jalan utama di Ambon yang melintas di Batu Merah, Jalan Jenderal Sudirman, aktivitas beberapa di antara mereka terlihat di tepi jalan. Jika melewati lorong-lorong di kawasan itu, tampak lebih banyak lagi perajin.

Kulit kerang yang sebagian besar didatangkan dari Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, itu dicuci lalu dijemur sebelum dihaluskan dengan mesin gerinda.

Selanjutnya kerang ”diukir” dengan gergaji atau ada pula yang ditempel dengan kerang lainnya sebelum digergaji untuk menghasilkan bentuk yang diinginkan setiap perajin.

Di tangan para perajin, sampah laut itu berubah menjadi beragam bentuk. Kerang dibentuk menjadi kuda, ikan, terumbu karang, hingga bentuk yang lebih rumit, seperti kaligrafi Islam dan salib Yesus Kristus. Bentuk-bentuk itu ditempel di atas kayu sebelum kemudian dilapisi kaca dan diberi bingkai dari kayu atau fiber layaknya sebuah hiasan dinding.

Ukurannya pun bervariasi, mulai dari yang kecil, ukuran 25 cm x 15 cm, sampai yang besar, mencapai 100 cm x 80 cm. Ukuran dan tingkat kesulitan menjadi penentu tinggi-rendahnya harga jual. Harga berkisar Rp 100.000 hingga lebih dari Rp 3 juta.

Selain dalam bentuk hiasan dinding, kulit-kulit kerang pun diolah menjadi aksesori, seperti kalung dan bros. Ada pula perajin yang mengolahnya menjadi seperti tongkat komando yang biasa digunakan pimpinan TNI/Polri.

Untuk menarik minat pembeli, hasil karya perajin dipajang di setiap bengkel mereka. Ada pula yang dipajang di toko-toko di pinggir Jalan Jenderal Sudirman. Para pemilik toko membeli hasil karya para perajin kemudian dijual kembali dengan harga lebih mahal.

”Kami ini generasi ketiga perajin kerang di Batu Merah. Turun-temurun, kami menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari mengolah kerang,” ujar Yusuf Ciat (48), perajin di bengkel usaha kerajinan kerang Abdullah.

Yusuf mulai menjadi perajin kerang sejak masih kelas dua sekolah menengah pertama tahun 1982. Saat itu, dia mempelajari dari kerabatnya. Bukan sesuatu yang mudah pada awalnya untuk bisa ”merakit” kerang-kerang menjadi barang-barang yang layak jual. Dibutuhkan waktu sedikitnya dua tahun.

”Saya mulai dengan membuat yang sederhana, seperti bros dan kalung dari kerang. Setelah lancar membuat itu, baru mulai membuat yang rumit, hiasan dinding dari kerang,” ucapnya.

Sering kali dia membuat barang-barang dari kerang itu sesuai pesanan pembeli. Ketika pesanan sepi, barulah dia menjual hasil karyanya ke toko. Dari semua hasil karyanya, dia bisa memperoleh penghasilan bersih berkisar Rp 1 juta-Rp 10 juta per bulan. ”Kalau pesanan lagi banyak, penghasilan bisa besar, tetapi kalau lagi sepi, ya, sepi juga penghasilannya,” katanya.

Dari penghasilan itu, bapak dari tiga anak ini bisa mencukupi kebutuhan hidup dia dan keluarganya.

Yusuf hanya satu contoh. Ahmad Alkadri (56), perajin lainnya, bahkan sudah membuat kerajinan dari kerang sejak usianya 12 tahun. Sama seperti Yusuf, dia memulainya dengan membuat bros lalu kaligrafi hingga model terakhir, ia menggabungkan kulit kerang dengan akar bahar untuk membuat tongkat komando yang biasa digunakan petinggi TNI/Polri.

”Beta mencoba tidak berhenti pada satu model. Dengan model yang beragam, pembeli jadi banyak pilihan,” katanya.

Dari penjualan kerajinan itu, Ahmad bisa memperoleh sekitar Rp 7 juta per bulan. ”Dari kerang ini saya bisa menyekolahkan ketiga anak saya. Semuanya sekarang sudah kerja, dua diantaranya sudah berkeluarga,” lanjutnya.

Geliat para perajin ikut menghidupkan perekonomian sejumlah warga pemilik bangunan di Jalan Jenderal Sudirman. Mereka mengubah bangunan menjadi toko-toko tempat menjual hasil karya para perajin. Mereka juga membeli kerajinan kerang itu dari perajin kemudian menjualnya kembali.

”Sering kami membeli masih mentah, artinya hiasan dinding belum dibingkai pigura dan dilapisi kaca. Kami yang menambah pigura dan kaca itu sebelum dijual kembali,” kata Arsyad Sulaeman (30), pekerja di Toko Istana Suvenir.

Kerajinan kerang, mayoritas berupa hiasan dinding, telah menjadi salah satu buah tangan khas Ambon. Orang-orang dari luar Maluku sering berkunjung ke toko-toko itu untuk membeli kerajinan kerang sebelum kembali ke tempat asal.
Kontribusi pendapatan

Kepala Bidang Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Ambon Piet Leuwol mengatakan, aktivitas para perajin berkontribusi dalam menggerakkan perekonomian Ambon. Mengacu pada data Ambon Dalam Angka Tahun 2012 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Ambon, sektor industri pengolahan, di mana di dalamnya termasuk kerajinan kerang, menyumbang Rp 86.052.690.000 dari total produk domestik regional bruto 2011 sebesar Rp 4.179.215.230.000.

Karena kontribusinya, sekaligus untuk meningkatkan usaha perajin, pemerintah rajin mempromosikan hasil karya perajin itu, baik di Maluku maupun di luar Maluku. Perajin juga kerap diajak turut serta saat promosi di luar Maluku agar mereka bisa membuat jaringan pasar di luar Maluku.

”Kerajinan kerang Batu Merah pernah kami pamerkan sampai ke Belanda. Kemudian, di Paviliun Maluku di Gedung SMESCO UKM, Jakarta, produk kerajinan kerang itu menjadi salah satu yang dijual selain produk khas Maluku lainnya,” katanya.

Promosi menjadi fokus pemerintah untuk para perajin kerang karena pemerintah menilai hanya itu kekurangan mereka.

”Banyak perajin masih sulit memperluas pemasaran di luar Maluku sehingga itu yang kami bantu. Bantuan dalam bentuk lainnya tidak kami berikan lagi karena mereka sudah pernah menerima. Saat ini kami berikan bantuan itu kepada perajin dan usaha kecil menengah lain yang belum pernah menerima bantuan agar mereka bisa maju seperti perajin kerang,” katanya.

Bantuan yang pernah diberikan kepada perajin kerang itu di antaranya peralatan dan pelatihan peningkatan mutu. Kebijakan itu diambil karena minimnya alokasi dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Ambon. Dari total APBD tahun 2014 lebih kurang Rp 850 miliar, alokasi dana untuk bantuan peralatan dan pelatihan bagi usaha kecil dan menengah di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Ambon hanya Rp 360 juta. Sekitar 70 persen dari APBD Ambon masih tersedot untuk belanja pegawai.

Meski demikian, sejumlah perajin masih mengharapkan peran serta pemerintah untuk meningkatkan usaha mereka. ”Salah satunya membantu agar pasokan bahan baku kerang ke perajin stabil. Sering kali bahan baku ini terbatas sehingga harganya lebih tinggi daripada biasanya,” kata Ahmad. Harga 1 kilogram kerang yang biasanya Rp 30.000 bisa meningkat menjadi Rp 60.000 saat pasokan kerang terbatas.

Membantu pemasaran produk kerajinan kerang di luar Maluku juga diharapkan lebih intens dilakukan pemerintah. ”Saat sepi pembeli, kami bisa menjual kerajinan di toko. Namun, pihak toko sering menunda pembayaran sampai barang perajin terjual, dan itu bisa makan waktu lama. Sementara perajin membutuhkan uang dari kerajinan itu untuk membuat kerajinan lainnya,” ujar Ahmad.

Karena kesulitan permodalan ini pula, Ketua RT 001 RW 002 Batu Merah itu mengatakan, banyak perajin yang kemudian memilih beralih profesi. ”Sepuluh tahun lalu di wilayah RT saya ini ada sedikitnya 20 perajin, tetapi sekarang tinggal sekitar 10 perajin. Yang lainnya sudah ganti profesi menjadi tukang ojek atau berjualan di pasar,” lanjutnya.

Merosotnya jumlah perajin ini tentu menjadi suatu keprihatinan. Inilah tantangan yang harus terpecahkan. Usaha seperti ini juga membutuhkan perputaran uang yang lebih lancar sehingga manfaat ekonomis lebih dinikmati perajin.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004443276