BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Zuhriyati, ”Ibu Asuh” Anak TKI

Zuhriyati, ”Ibu Asuh” Anak TKI

Oleh: KHAERUL ANWAR

HIDUP di kampung yang warganya sebagian besar bekerja sebagai buruh migran membuat Baiq Zuhriyati (47) prihatin. Keprihatinan itu terutama ditujukan kepada anak balita yang ditinggal pergi ibunya mencari nafkah di negeri orang. Bukan saja tidak mendapat pengasuhan sang ibu, melainkan, yang lebih memprihatinkan, anak-anak balita itu tidak mendapat ASI dan asupan gizi yang cukup. Tidak heran jika anak balita yang ditinggalkan itu menjadi rentan terkena penyakit.

”Anak-anak itu baru berusia dua-tiga bulan, terus ibunya pergi jadi TKW (tenaga kerja wanita). Anaknya dirawat dan diasuh neneknya. Padahal, jika dirawat ibunya, minimal anak dapat ASI eksklusif demi pertumbuhan fisik dan psikisnya,” tutur Zuhriyati, aktivis Lembaga Sosial Desa (LSD), Desa Jenggik Utara, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

LSD bekerja sama dengan Advokasi Buruh Migran Indonesia. LSD semula dibentuk warga untuk mengurus kepentingan TKI. Mereka melakukan perekrutan, penempatan, dan pemulangan TKI.

Saat ini, ada 12 anak balita, yang ditinggalkan ibunya untuk bekerja, yang menjadi perhatian Zuhriyati. Selain mengontrol kesehatan anak balita itu, sebagai kader di posyandu, ia juga mencarikan ibu asuh sekaligus mengontrol kondisi anak balita itu ke rumah pengasuhnya. Ia bahkan ikhlas menyisihkan honor dari kegiatan pelatihan dan berbagai seminar yang diterimanya untuk memenuhi kebutuhan anak balita tersebut.

”Kalau ada Rp 100.000, saya berikan kepada ibu asuh guna menambah asupan gizi sang anak balita,” ucapnya.

Uang itu sekadar untuk mengurangi beban ibu asuh sebab, untuk membeli berbagai kebutuhan anak balita tersebut, tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan. Misalnya, untuk pamper saja, harganya sekitar Rp 15.000 per bungkus. Untuk membeli satu kaleng susu kental, sekarang seharga Rp 13.500.

”Saya amat beruntung karena mendapatkan ibu asuh yang juga memberikan perhatian penuh pada anak balita tersebut. Anak balita itu sudah seperti anak angkat bagi pengasuh. Kini anak balita itu sudah berusia 22 bulan-33 bulan,” tutur anak pertama dari lima bersaudara pasangan H Ihsan-Saptiah (almarhumah) ini.

Apalagi, dari sisi penghasilan, TKW yang bekerja di luar negeri baru bisa mengirimkan penghasilan kepada keluarga di kampung halaman paling cepat setelah lima bulan bekerja. Itu pun jika tidak ada masalah di tempat kerjanya.

Problemnya, selama kiriman belum tiba, biaya keperluan anak balita harus ditanggung sang nenek. Padahal, sang nenek umumnya hanya berasal dari kalangan ibu rumah tangga. Atau, jika mereka bekerja mencari nafkah, biasanya bekerja sebagai buruh tani atau petambang batu apung dan tanah uruk dengan penghasilan yang minim.

Akibatnya, sering kali anak balita kurang terurus karena memang tidak punya cukup biaya untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Kematian ibu dan anak balita

Kepedulian Zuhriyati tak lepas dari realitas sosial masyarakat Desa Jenggik Utara. Desa ini merupakan salah satu kantong pengiriman TKI/TKW di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dari 1.147 kepala keluarga, sebanyak 634 di antaranya menjadi TKI purna dan 482 lainnya sedang mengadu nasib di Malaysia dan Arab Saudi.

Di bidang kesehatan, Desa Jenggik Utara menjadi ”penyumbang” yang cukup signifikan atas tingkat kematian ibu dan anak balita di Lombok Timur. Kondisi itu diperburuk oleh perilaku warga yang masih minim pengetahuan tentang cara hidup bersih dan sehat.

Perilaku tidak sehat itu, misalnya, salah satu kebiasaan warga dalam merawat bayi. Warga tidak membersihkan botol susu, dot, dan penutupnya sebelum digunakan memberi susu kepada bayi. Keadaan ini jelas berpotensi menyebabkan bayi terkena penyakit.

Ditambah lagi, ibu rumah tangga di Desa Jenggik Utara tetap bekerja berat meskipun sedang hamil. Ketika melahirkan pun, mereka hanya dibantu dukun desa. Proses persalinan tanpa bantuan tenaga kesehatan dengan pengetahuan yang memadai berisiko tinggi menyebabkan kematian anak dan ibu saat melahirkan.

Persoalan berlanjut pada penanganan pasca kelahiran. Orangtua anak di Desa Jenggik Utara umumnya menolak bayi dan anak balitanya diimunisasi. Alasannya, setelah diimunisasi, sang anak akan demam.

”Karenanya, seusai imunisasi, saya mesti siap-siap didatangi, bahkan dimarahi orangtua si anak, dituduh sayalah yang bikin anaknya demam,” ucap Zuhriyati.

Masih kuatnya persepsi yang tidak tepat itu pula yang diduga menjadi penyebab enggannya sang ibu yang memiliki anak balita menimbang anaknya di posyandu. Akibatnya, tidak jarang Zuhriyati harus mengunjungi anak balita ke tiap rumah sambil membawa timbangan. Meski untuk kebaikan sang bayi, langkah Zuhriyati yang berkeliling membawa timbangan itu tidak jarang disambut sinisme oleh warga.

”Saat memberikan penyuluhan pun, yang sering ditanyakan duluan, apa mereka dikasih uang? Saya pun menjawab tegas bahwa soal uang itu nomor sekian, ini saya kasih ilmu pengetahuan biar kalian dan anak-anak kalian hidup sehat,” ujarnya.

Pemahaman demikian berjalan bertahun-tahun sampai wawasan masyarakat berkembang dan mereka bisa merasakan manfaatnya.

Perkembangan pemahaman itu bisa dilihat dalam 20 tahun terakhir. Jumlah kematian ibu dan anak balita saat melahirkan, serta bayi kurang gizi, semakin berkurang. Bahkan, saat ini, hampir tidak ditemukan lagi di Desa Jenggik Utara.

Setelah problem kematian ibu dan bayi tertangani, muncul problem kependudukan lain, yaitu jumlah kelahiran bayi yang relatif tinggi. Jumlahnya antara 15 dan 17 kelahiran sebulan.

Itu sebabnya diperlukan upaya untuk menekan jumlah kelahiran. Caranya, ibu yang berusia 40 tahun lebih diajak menggunakan kontrasepsi permanen/steril. Hasilnya, 2012-2013, ada lima ibu yang disteril.

Jumlah itu memang sedikit. Namun, kesediaan warga untuk disteril merupakan perkembangan luar biasa, mengingat upaya ini masih dianggap tabu di masyarakat.

Tampaknya, Zuhriyati sudah mantap dengan pilihan hidupnya. Ia berhenti sebagai guru honorer di sebuah sekolah dasar negeri tahun 2008. Ia merasa tak bisa menjadi pegawai negeri sipil karena tidak memiliki ijazah sarjana yang menjadi salah satu persyaratannya.

Untuk kuliah, sebetulnya ia punya kemampuan dari segi pendanaan. Namun, ia putuskan untuk memberi perhatian lebih bagi perkembangan anak tunggalnya.

”Kata orang, pengabdian sosial bisa menjadi lahan kerja yang mengasyikkan. Apalagi, dengan pekerjaan itu bisa bertemu dengan ’anak-anak’ saya yang lain. Itu yang membuat saya merasa sebagai orang yang paling bahagia,” tuturnya.

Jadi, pantaslah ia dijuluki ”Ibu Asuh” anak para TKI.
—————————————————————————
Baiq Zuhriyati
♦ Lahir: Desa Perian, Lombok Timur, 19 Desember 1967
♦ Anak: Minhatul Aula (11)
♦ Pendidikan:
- Madrasah Ibtidaiyah Perian tamat tahun 1980
- Madrasah Tsanawiyah Perian tamat tahun 1983
- Pendidikan Guru Agama Negeri Mataram tamat tahun 1986



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009998384

Related-Area: