BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Wajah Lain dari Perubahan Sosial

Wajah Lain dari Perubahan Sosial

SULAWESI Utara adalah wajah lain dari sebuah perubahan sosial. Wilayah yang mengembangkan diri sebagai tujuan wisata dan memacu industri ini cukup mengesankan dalam pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi provinsi ”nyiur melambai” ini 7,45 persen pada 2013, lebih tinggi dari laju pertumbuhan ekonomi nasional, 6 persen.

Tingginya pertumbuhan ekonomi ini cenderung konstan sejak 2009 dan cukup mengangkat aspek-aspek kesejahteraan. Seiring dengan capaian ekonomi itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Sulawesi Utara 2012 juga tercatat 76,95 dan berada di peringkat kedua nasional.

Meski demikian, wilayah ini juga tidak terlepas dari sejumlah persoalan. Problem pertanian dan kemiskinan masih menggelayuti laju perubahan ekonomi dan sosial. Di satu sisi, sektor pertanian mulai ditinggalkan, tetapi perubahan ke sektor lainnya belum memiliki pijakan kuat. Akibatnya, kelompok masyarakat yang tidak kuat menghadapi perubahan terjatuh ke golongan miskin. Kemiskinan di pedesaan pun meningkat.

Meskipun secara keseluruhan terjadi penurunan angka kemiskinan, data BPS (Maret 2013) menunjukkan terjadi peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin di wilayah pedesaan. Selama periode September 2012-Maret 2013, jumlah penduduk miskin di pedesaan meningkat dari 8,69 persen menjadi 9,4 persen. Meningkatnya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di pedesaan menunjukkan kemampuan konsumsi penduduk miskin di daerah pedesaan menurun. Selain itu, kesenjangan antarpenduduk melebar.

Di tengah gemerlapnya kemajuan daerah, ternyata membawa dampak kurang efisiennya penggunaan anggaran untuk peningkatan kesejahteraan. Kebijakan dan proses politik tampaknya belum siap mengantisipasi perubahan ini. Pembangunan selama ini belum sepenuhnya meningkatkan kehidupan warga Sulawesi Utara, terutama mereka yang tinggal di pedesaan.

Sulawesi Utara dengan basis pertanian dan perkebunannya sesungguhnya merupakan daerah yang kuat bertahan ketika krisis ekonomi 1997-1998. Melambungnya nilai dollar AS terhadap rupiah justru memberikan berkah bagi wilayah ini. Sayang, sektor ini sekarang cenderung ditinggalkan. Struktur ekonomi Sulawesi Utara terutama ditopang sektor pertanian, konstruksi, dan perdagangan.

Berdasarkan sensus penduduk, sepanjang 2006-2010, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) cenderung stagnan, sekitar 20 persen, berbeda dengan sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang cenderung meningkat. Penurunan minat untuk bergelut di bidang pertanian terlihat dari menyusutnya jumlah rumah tangga yang berusaha di bidang pertanian. Sepanjang 2003-2013, pertanian pengguna lahan turun 18,1 persen dan pertanian gurem anjlok 30,1 persen (BPS, Sensus Pertanian 2013).
Ketimpangan kebijakan

Sulawesi Utara sesungguhnya kaya akan mineral, sumber energi (geotermal), dan kekayaan laut. Persoalannya adalah bagaimana mengelola dan menggarapnya. Sayang, penggarapan suatu wilayah kerap tak mempertimbangkan keterkaitannya dengan wilayah lain dan dampaknya. Kurang padunya manajemen pemerintahan dapat mengakibatkan satu daerah diuntungkan, tetapi daerah lainnya dirugikan.

Hal ini, antara lain, terjadi pada izin penambangan di Pulau Bangka di Kabupaten Minahasa Utara. Melihat peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara 2011-2031, terlihat lebih dari 40 persen wilayah ini akan dijadikan wilayah penambangan bijih besi.

Padahal, daerah itu merupakan daerah penyangga Taman Nasional Bunaken dan laboratorium hidup yang memiliki aneka biota laut yang unik. Penambangan juga berarti relokasi penduduk, yang mayoritas petani dan nelayan. Pemindahan ini seakan mencabut warga dari akarnya, nelayan dipisah dari laut dan petani dilepas dari tanahnya.

Kebijakan seperti di Pulau Bangka terjadi di beberapa daerah lain di Sulut, seperti di Desa Picuan Lama, Minahasa Selatan. Warga mengelola penambangan (emas) tradisional yang telah mendapat izin dari Ditjen Pertambangan Umum tahun 1998.

Namun, tahun 2010 Bupati Minahasa Selatan mengeluarkan izin pertambangan bagi perusahaan asing di wilayahnya. Pemerintah kemudian menyebut petambang rakyat sebagai ”peti” (petambang emas tanpa izin) atau petambang liar.

Selama 2009-2011, Pemprov Sulut telah mengeluarkan 94 SK tentang izin penambangan dengan luas 239.000 hektar, dengan 201.000 hektar (84 persen) di antaranya adalah tambang emas. Luas area tambang yang berlokasi di kawasan pedesaan ini mencapai 17,26 persen dari total luas wilayah Sulut.

Sebaliknya, sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan belum digarap secara intens. Industri pengolahan ikan terbesar yang ada di Bitung justru milik pemodal asing.

Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Sulut, produk kelapa, minyak atsiri (berbahan dasar cengkeh), kopi, dan tepung ikan merupakan industri yang peluang pasarnya masih besar. Kebutuhan akan tenaga kerja untuk industri-industri itu juga cukup tersedia.

Pengingkaran terhadap kondisi geografis yang tecermin dalam kebijakan berbuah pada menurunnya minat orang muda mempelajari ilmu perikanan dan kelautan.

Di tengah perubahan yang semakin cepat ini, sayangnya warga masih mengalami kesulitan menyalurkan aspirasi kepada para wakil mereka. Lembaga legislatif pun belum berhasil menjalankan fungsi kontrolnya.

Inilah tantangan bagi calon anggota legislatif yang akan bertarung pada pemilu nanti untuk lebih memberikan ruang dialog bagi masyarakat, fokus pada pembenahan daerah pedesaan dan pertanian, serta memperhatikan manajemen pengelolaan sumber daya alam.
(F Istiyatminingsih/LITBANG KOMPAS)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005090866