BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

UU Perdagangan Telah Lahir

UU Perdagangan Telah Lahir
Ruang Lingkup Makin Luas

JAKARTA, KOMPAS — Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Rancangan Undang-Undang Perdagangan untuk disahkan menjadi undang-undang, Selasa (11/2). Produk perundang-undangan ini diharapkan bisa memperkuat perdagangan nasional.

Rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi PDI-P Pramono Anung Wibowo. Walaupun muncul beberapa interupsi terkait substansi dan draf, RUU Perdagangan akhirnya disetujui untuk disahkan karena semua fraksi sudah menyetujuinya.

UU Perdagangan akan menggantikan produk perundangan perdagangan yang dibuat Belanda tahun 1934. Produk perundangan Belanda itu hanya mengatur penyaluran perusahaan. Sementara UU Perdagangan mengatur hampir semua kegiatan dan lingkup perdagangan, baik domestik maupun kerja sama internasional.

Keyakinan akan meningkat dan makin kuatnya perdagangan nasional itu diungkapkan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi. Menurut Bayu, konsumsi domestik yang terus meningkat akan mendorong perdagangan yang makin kuat. Apalagi, UU Perdagangan merupakan undang-undang baru bagi Indonesia dan menggantikan produk perundangan Belanda yang berumur hampir 80 tahun.

”UU Perdagangan dengan jelas memberi perlindungan dan peningkatan kapasitas produk dalam negeri. Dengan perangkat itu, perdagangan dalam negeri Indonesia akan semakin kuat,” kata Bayu.

Ketua Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar Airlangga Hartarto menjelaskan, dalam implementasinya, pemerintah bisa berperan aktif untuk turut meningkatkan perdagangan dan pasar dalam negeri. UU Perdagangan memerintahkan pengadaan barang dan jasa yang dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah, memprioritaskan produk dalam negeri.

Kementerian Perdagangan juga sudah mengatur secara spesifik, 80 persen barang yang diperdagangkan di pasar modern merupakan barang produksi dalam negeri. ”Dengan sejumlah perangkat aturan, perdagangan nasional akan semakin kuat. Namun, pengawasan yang berkelanjutan tetap penting,” kata Airlangga.
Sektoral

Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Latif Adam mengingatkan, UU Perdagangan bisa saja tak akan bermakna apa-apa jika pemerintah gagal menyinkronkannya dengan undang-undang lain. ”Ada banyak undang-undang sektoral yang lebih spesifik dibandingkan UU Perdagangan. Tugas pemerintah sangat berat karena harus menyinkronkan beberapa undang-undang itu,” kata Latif.

UU Perdagangan, kata Latif, adalah pengatur produk akhir, sementara produk antara sudah diatur oleh undang-undang sektoral yang lebih spesifik, seperti mineral dan komoditas. ”Yang harus lebih dahulu diperbaiki adalah industri dalam negeri karena dari industri ini penggunaan bahan baku impor terus meningkat,” ujar Latif.

Dengan industri yang bergantung pada bahan baku impor, peningkatan volume perdagangan dalam negeri justru akan membuat impor bahan baku makin meningkat. ”Kondisi itu harus diwaspadai karena semangat untuk memperluas volume perdagangan bisa makin meningkatkan ketergantungan pada bahan baku impor. Pemerintah harus memastikan bahwa industri dasar di dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan industri manufaktur dan menggantikan bahan baku impor,” ujar Latif.

Kendati demikian, Latif mengapresiasi pemerintah yang bersedia menerima masukan agar DPR mendapatkan kewenangan untuk meratifikasi atau menolak rencana perjanjian internasional. Sebelum ada UU Perdagangan, perjanjian kerja sama internasional tidak memerlukan persetujuan DPR.

Menurut Latif, ada banyak sekali contoh kegagalan perjanjian internasional Indonesia, baik unilateral maupun multilateral. Ini terjadi karena tidak ada lembaga yang mengevaluasi dan tidak didahului studi akademis yang memadai.

”Manfaat yang dirumuskan dalam konsep sering kali tidak sesuai dengan yang kemudian terjadi. Memang ada keuntungan, tetapi tidak sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan. Setelah beberapa perjanjian perdagangan internasional diikuti Indonesia, justru produk-produk impor membanjiri Indonesia,” kata Latif. (AHA)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004744137