Tungku Gerabah Jadi Harapan Masa Depan Para Penderita Kusta
Rabu, 27 Januari 2016 | 15:59 WIB
Rosyid A Azhar/Kompas.com
GORONTALO, KOMPAS.com – Tidak ada kata putus asa bagi para penderita penyakit kusta di Gorontalo. Mereka bahu-membahu membangun masa depan dengan membuat tungku gerabah secara berkelompok.
Sepuluh bandayo (pondok) tungku terlihat berderet di seberang jalan depan RSU Toto, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Sang pemilik usaha itu dan para pekerjanya adalah bekas penderita atau mereka yang masih menjalani perawatan penyakit kusta.
Dalam perkembangannya usaha ini berkembang pesat, masyarakat mulai meminati produk mereka.
Bahkan, pemasarannya sekarang sudah menembus daerah Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara.
Keuletan para pekerja yang sebagian besar adalah penderita kusta ini mampu memproduksi tungku lebih dari 1.000 unit sebulan.
“Rata-rata satu gubuk kerja mampu memproduksi 130 unit tungku, satu gubuk ada dua pekerja yang setiap hari belepotan lumpur,” kata Hendra Daud, pemilik usaha pembuatan tungku gerabah, Rabu (27/1/2016).
Hendra adalah generasi kedua yang mewarisi usaha ini dari orangtuanya yang berasal dari Luwuk, Sulawesi Tengah.
Ibunya adalah pasien kusta yang berobat di Gorontalo, dalam perjalanan waktu ia kemudian menetap di sekitar rumah sakit untuk ikut bekerja membuat tungku.
“Yang memulai pembuatan tungku di sini adalah opa Arifu Pakaya, ia dulu juga pasien kusta. Menurut ceritanya, opa Arifu ini melihat siaran televisi yang menyiarkan proses pembuatan tungku. Lalu ia mempraktekkan, tidak langsung jadi, berulang kali retak atau pecah saat dibakar,” kata Hendra.
Melalui proses belajar secara langsung, akhirnya ditemukan formulasi campuran tepat bahan mentah untuk membuat gerabah yaitu satu bagian tanah dicampur dengan tiga bagian abu.
Tanah dan abu ini dicampur rata lalu dicetak dengan cetakan yang terbuat dari kayu, lalu dibuat lubang tempat api dan kayu, setelah terbentuk tungku dibiarkan mengeras selama 7 hari.
“Ada dua kali pembakaran, yang pertama setelah dibuat lubang pembakaran ditimbun sekam dan dibakar semalam hingga kadar airnya berkurang. Gerabah mengeras namun masih berwarna tanah. Setelah itu dibakar lagi hingga warnanya kemerahan” jelas Hendra.
Tungku ini dijual dengan harga Rp 30.000-40.000 ribu di lokasi, namun jika sudah sampai di pasaran harganya mencapai Rp 50.000.
Setiap bulan ada pedagang yang memborong tungku gerabah itu. Sekali transaksi bisa mencapai ratusan buah gerabah namun pembayaran tidak dilakukan secara tunai.
Bagi bekas penderita dan pasien kusta, tungku gerabah ini menjadi harapan untuk bertahan hidup. Di gubuk kayu reyot ini mereka bekerja saling menguatkan untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Penulis : Kontributor Gorontalo, Rosyid A Azhar
Editor : Ervan Hardoko
- Log in to post comments
- 199 reads