Pendidikan Masyarakat
Tukang Ojek yang Menjadi Tenaga Terdidik
Oleh: Luki Aulia
Banyaknya anak putus sekolah menengah atas yang lebih memilih menjadi pengojek di sekitar tempat tinggalnya membuat Mareyke Manengkey risau. Dengan pendapatan sekitar Rp 200.000 yang bisa diperoleh dalam sehari saja, pengojek mendadak menjadi pekerjaan terfavorit.
Mareyke berkali-kali mengajak mereka ikut program pendidikan masyarakat, tetapi sepi respons. Lalu, muncullah ide memanfaatkan arisan mingguan. Dan, berhasil.
Di daerah Mareyke, Desa Walian, Tomohon Selatan, Sulawesi Utara, selama ini arisan atau kumpulan menjadi media paling efektif untuk mengumpulkan warga masyarakat. Sebelum mengaktifkan arisan pada kelompok pengojek, arisan ibu rumah tangga sudah dibentuk terlebih dahulu. Selama arisan, selain ”menabung” Rp 100.000 per orang dan menarik uang arisan, diselipkan pula pembicaraan tentang rencana kegiatan yang bisa dikerjakan secara gotong royong di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) ”Winalian” yang didirikan Mareyke pada 2009.
Seperti PKBM pada umumnya, PKBM Winalian menyelenggarakan program pendidikan anak usia dini, taman bacaan masyarakat, kursus/keterampilan, pemberdayaan jender, serta kesetaraan Paket A, B, dan C. Berkat pertemuan kegiatan ”berbungkus” arisan itu, sebanyak 40 pengojek berusia 18-40 tahun di Walian kini aktif mengikuti kursus pertanian dan budidaya ikan air tawar. Dengan bantuan instruktur dari mitra kerja lembaga kursus dan pelatihan serta balai penyuluh pertanian, mereka menanam
cabai, jagung, dan rempah-rempah di lahan milik PKBM yang luasnya hampir 1 hektar.
Mereka dilatih mulai dari pengolahan, pemupukan, penyiangan, hingga proses panen. Ketika Kompas menengok PKBM Winalian, Kamis lalu, di ”laboratorium” tanaman kecil di halaman belakang PKBM sedang diuji coba berbagai tanaman sayur-mayur, seperti wortel, buncis, sawi, brokoli, dan semangka, tetapi belum berhasil. Sejauh ini baru cabai, jagung, tomat, labu, dan rempah-rempah yang berhasil.
”Ada pertemuan setiap seminggu sekali sambil menentukan siapa yang harus melakukan apa, secara gotong royong. Pukul 05.00 sudah ada di kebun, tetapi tidak setiap hari,” kata Mareyke yang sudah menjadi tenaga lapangan pendidikan masyarakat (1998), pamong belajar (2008), dan kini Kepala Sanggar Kegiatan Belajar Tomohon (2013).
Hasil dari kebun dan tambaknya lalu sebagian dinikmati para pengojek dan ibu rumah tangga serta sebagian dijual di pasar tradisional Tomohon Selatan. Setiap panen cabai, setelah bagi hasil setiap enam bulan sekali, setiap orang bisa mendapat uang sampai Rp 1 juta. Permintaan akan cabai tinggi karena kebiasaan masyarakat Sulut yang doyan makan pedas. Harga jual cabai pernah mencapai Rp 100.000 per kilogram. Kini, rata-rata Rp 30.000 hingga Rp 40.000 per kilogram.
”Mereka sekarang sudah punya kelompok tani dan menjadi binaan desa dan antardesa. Saya cuma mau bantu masyarakat supaya tidak semua orang hanya jadi pengojek. Syukurlah mereka semangat meski awalnya harus dipancing dengan arisan,” kata Mareyke yang pernah meraih Juara I Pengelola PKBM tingkat Provinsi Sulut 2011 itu sambil tertawa.
Lebih sukses
Semangat belajar anak muda yang putus sekolah dan datang dari keluarga tidak mampu ternyata lebih besar, khususnya saat mereka menekuni keterampilan yang sesuai minat. Karena semangat dan kegigihan saat belajar, terutama praktik keterampilan, anak yang putus sekolah banyak yang lebih sukses ketika terjun bekerja ke industri. Pengalaman ini diceritakan Meily Rumbaian, pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Meily yang membuka kursus tata kecantikan rambut, kulit, dan rias pengantin sejak 1992.
Ia tidak hanya menerima murid reguler yang membayar kursus dengan harga Rp 3 juta per level, tetapi juga menerima anak muda putus sekolah peserta pendidikan kesetaraan rujukan dari PKBM-PKBM mitranya. Setiap enam bulan terdapat 20-30 peserta dari pendidikan kesetaraan Paket B dan C dengan jam belajar tiga kali seminggu.
”Banyak anak putus SMP yang ikut kursus. Mereka ini yang gratis kursusnya karena biayanya disubsidi dari usaha salon. Sebelum menentukan kursus apa yang cocok buat mereka, semua harus menjalani tes minat dan bakat. Nanti kami bantu rekomendasikan ke LKP atau PKBM apa yang cocok,” kata Sherly Sorongan, salah seorang pengurus LKP Meily yang juga mengelola PKBM dengan kompetensi tata boga itu.
Meski biaya kursus gratis, tidak lantas kualitas pembelajarannya asal-asalan. Standar pembelajaran dan kompetensinya tetap sama serta tuntutan pengelola untuk hasilnya juga tetap sama dengan peserta reguler lain. Namun, menurut Meily, hasilnya berbeda. Peserta dari anak putus sekolah serta peserta Paket B/C lebih semangat dan serius saat praktik. Namun, mereka lemah pada teori. Meski demikian, lulusan kursus banyak yang akhirnya berhasil membuka usaha salon dan sebagian bekerja di salon. Bahkan, ada yang sukses dengan membuka salon door to door. Gaya salon seperti ini lebih diminati karena tidak membutuhkan modal besar, hambatan bagi mereka yang dari kelompok miskin. Jasa perawatan salon bisa dilakukan di rumah konsumen.
”Yang berhasil itu sudah terlihat dari awal semangat dan tekun saat belajar. Mereka bisa langsung praktik setelah melihat contoh dari instruktur dan tidak perlu baca buku. Peserta yang Paket A, kan, belum bisa baca, tapi bisa cepat menangkap contoh dari instruktur. Kalau teori, susah bagi mereka,” kata Meily.
Moudy R Oley, pengelola PKBM Nyiur Melambai, mengatakan, peserta kursus dari Paket A semakin jarang. Paling banyak peserta Paket B dan C. Lulusan kursus atau pendidikan nonformal ini banyak yang kini sukses di bidang masing-masing. Moudy dengan bangga menceritakan peserta didiknya di pendidikan kesetaraan yang kini menjadi anggota DPRD dan di industri swasta lain. ”Saya tidak kaya itu tidak masalah. Yang penting, peserta didik dari PKBM bisa berhasil di mana-mana. Mereka yang putus sekolah punya kesempatan yang sama, asalkan mereka mau berusaha,” katanya.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010125828
- Log in to post comments
- 399 reads