NAMLEA, KOMPAS — Sungai Wai Apo yang mengairi 5.702 hektar sawah di Kecamatan Wai Apo, Kabupaten Buru, Maluku, tercemar merkuri yang digunakan petambang emas ilegal di Gunung Botak. Kecamatan Wae Apo merupakan sentra padi di Provinsi Maluku, dengan hasil produksi mencapai 26.817 ton gabah kering giling pada tahun 2013.
Demikian pantauan Kompas di sungai yang memiliki 13 subdaerah aliran sungai dengan luas 219.528 hektar itu, Rabu (4/2). Informasi dari sejumlah petani setempat menyebutkan, warna sungai yang mengeruh mulai terlihat sejak eksploitasi emas secara ilegal di Gunung Botak tahun 2011. Para petambang memanfaatkan air sungai itu untuk proses pengolahan emas setengah jadi.
Sugianto, petani di Desa Waekasar, Wae Apo, mengatakan, para petambang mendirikan tempat pengolahan emas atau tromol di pinggir sungai. Dalam pengolahan itu petambang memakai merkuri untuk mengikat emas. Limbah dari pengolahan kemudian dibuang ke sungai.
Menurut Sugianto, ribuan tromol ada di pinggir sungai sejak tahun 2011. ”Kami menyadari bahwa keberadaan tromol itu bakal mencemari sungai yang selama ini mengairi sawah kami. Sebagai petani, kami tidak bisa berbuat banyak. Kami berharap pemerintah segera menyelamatkan kondisi ini,” katanya.
Gunung Botak terdapat di daerah hulu sungai persawahan warga. Karena itu, merkuri yang dibuang terbawa arus sungai ke hilir melewati persawahan itu hingga berakhir di Teluk Kayeli. Lokasi yang tercemar sekitar 30 kilometer dari titik awal pembuangan limbah yang mengandung merkuri.
Kondisi sungai yang tercemar itu pernah dikemukakan peneliti dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, Ambon, Yusthinus T Male. Bersama tim, Yusthinus melakukan penelitian itu pada 2011-2013. Mereka menemukan kandungan merkuri di dalam air sungai itu yang melebihi ambang batas.
Sampel yang diambil di beberapa titik sepanjang sungai menunjukkan, kadar merkuri tertinggi mencapai 9 miligram per 1 kilogram lumpur. Di pesisir Teluk Kayeli yang menjadi muara sungai ditemukan konsentrasi merkuri sebanyak 3 miligram per 1 kilogram lumpur. Padahal, ambang batas merkuri tidak boleh lebih dari 0,02 miligram per 1 kilogram lumpur.
Namun, belum ada penelitian mengenai kandungan merkuri di padi yang menggunakan air Sungai Wai Apo. Yusthinus yang juga pakar kimia Universitas Pattimura itu mengatakan, merkuri dapat mengancam keselamatan manusia jika masuk ke dalam rantai makanan.
Ancaman serius
Penanggung jawab program swasembada pangan Maluku, Hans Talahatu, mengatakan, pencemaran sungai akibat merkuri merupakan ancaman serius. Persawahan Wai Apo merupakan sentra padi terbesar di Maluku.
Daerah itu menjadi fokus perhatian pemerintah dalam mewujudkan swasembada padi nasional yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. Selain Buru, tiga kabupaten yang menjadi sentra produksi adalah Maluku Tengah, Seram Bagian Timur, dan Seram Bagian Barat.
”Pemerintah Kabupaten Buru harus tegas karena pencemaran akibat merkuri itu sesuatu yang luar biasa. Ini harus disikapi dengan mengatur penambangan di sana. Hasil pertanian kita harus diselamatkan,” ujar Hans.
Dari catatan Dinas Pertanian Maluku, produksi padi di provinsi itu tahun 2014 sebanyak 101.836 ton gabah kering giling. Dari jumlah itu, 42,33 persen berasal dari Kabupaten Buru yang berpusat di Wae Apo.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Buru Masri mengatakan, tromol yang dibangun di pinggir sungai pernah mencapai 1.000 buah. ”Kami sudah melakukan penertiban dengan melibatkan aparat keamanan. Jumlah tromol yang ada sekarang tidak lebih dari 100 buah,” ucapnya.
Jumlah petambang yang beraktivitas di lokasi itu juga perlahan berkurang dari sekitar 30.000 orang menjadi lebih kurang 10.000 orang. Perginya para petambang itu disebabkan potensi emas berkurang. (FRN)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011825140
- Log in to post comments
- 245 reads