BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Sulut Pasca Bencana

Sulut Pasca Bencana
Hidup Berkelana Pengungsi di Manado…

HIDUP  berkelana, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, kini dijalani sejumlah pengungsi korban banjir bandang di Kota Manado, Sulawesi Utara, pada 15 Januari lalu. Mecky Lontoh (31) bersama istrinya, Melani Kusen (29), mengisahkan, keduanya sudah empat kali berpindah tempat tinggal sejak rumah mereka di Kelurahan Pakowa, Manado, rusak tersapu banjir bandang.

”Awalnya, kami tinggal di gereja, lalu di tenda, kembali ke gereja, dan sekarang tinggal di rumah mertua,” ujar Mecky, pekan lalu, di Manado.

Ida Oley (62) juga mengalami hal yang sama. Nenek tiga cucu itu mengatakan, setelah rumahnya rusak dilanda bencana, ia sempat tinggal di masjid dan rumah sanak saudara. Kini, ia pasrah tinggal di tenda di halaman rumah yang hanyut tersapu banjir bandang di Kelurahan Ternate Tanjung, Manado.

Setelah lebih dari dua bulan, duka warga Manado yang menjadi korban banjir bandang masih terus menggelayut. Mereka nyaris tak memiliki harapan untuk mengulang kehidupan lama di rumah sendiri.

Ida tinggal di tenda berukuran 6 meter x 8 meter bersama anak dan menantunya. Sehari-hari, hidup mereka ditopang dari hasil kerja Amir, putranya, sebagai tukang parkir. Bantuan untuk pengungsi sudah tidak ada lagi. ”Torang so lebe susah. Tak ada lagi bantuan. Torang so dilupakan orang,” ujar Ida.

Mecky menyatakan, ia terpaksa hidup berkelana, berpindah-pindah tempat tinggal. Padahal, ia merasa lebih nyaman tinggal di rumahnya sendiri yang dibangun dari hasil kerja sebagai petani. Namun, apa daya, rumah kayu yang dibangun lima tahun lalu itu rusak terendam air.

Sampai sekarang, air masih menggenangi rumahnya. ”Jalan air menuju Sungai Sario tertutup lumpur sehingga air tidak mengalir ke sungai,” katanya.

Bagi Mecky dan Ida, kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengangkat harkat hidup mereka. Persoalan makan, minum, dan tempat tinggal bagi pengungsi mesti menjadi perhatian serius setelah bantuan dari masyarakat terhenti.

Di Kelurahan Paal Dua, Manado, masih terdapat 30 keluarga pengungsi yang tinggal di tenda. Di antara mereka ada sejumlah bayi dan ibu hamil. Suciwati yang tengah hamil lima bulan mengatakan, ia terpaksa pindah dari tenda yang didirikan TNI lantaran kondisinya amat panas pada siang hari. Apalagi, dalam tenda itu, ia hidup bersama sembilan keluarga lain.

Mereka juga mempertanyakan janji yang belum ditepati badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) terkait pemberian beras dan bahan pokok setiap pekan. ”Tiga pekan kami tak dapat bantuan,” kata dia.

Kepala BPBD Sulut Noldy Liow melansir data, akhir Februari lalu, sekitar 6.800 orang masih mengungsi akibat banjir bandang. Mereka masih tinggal di tenda, rumah ibadah, dan rumah warga.

Bantuan beras kepada pengungsi, ujar Liow, berasal dari dana APBD Sulut. ”Namun, APBD belum jalan karena terjadi perubahan saat banjir bandang,” ucap dia. Ia lebih lanjut mengatakan, bantuan uang untuk pengungsi dari sejumlah dermawan di Jakarta bernilai miliaran rupiah juga belum diterima.
Kontaminasi bakteri

Hidup pengungsi pun rentan terhadap serangan penyakit. Apalagi, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Sulut mengungkap temuan bahwa sumur di Manado terkontaminasi bakteri Escherichia coli (E coli) sebagai dampak banjir bandang itu.

Sumur warga pada 12 lokasi pantau di empat kelurahan di Manado terkontaminasi bakteri E coli yang diduga akibat rembesan kotoran manusia atau hewan.

”Jika masuk ke tubuh manusia, bakteri ini dapat menyebabkan penyakit gangguan pencernaan. Untuk mencegahnya dengan memasak air sampai mendidih,” kata Sonny Runtuwene, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Limbah B3 BPLH Sulut.

Empat kelurahan yang dijadikan sampel penelitian itu adalah Kelurahan Ranotana Weru, Sario Kotabaru, Tikala, dan Ternate. Di setiap kelurahan ditetapkan tiga sumur penelitian.

Kontaminasi bakteri itu cukup tinggi. Jika parameter E coli berada pada ambang batas 100 most probable number (mpn) per mililiter air, dari uji sampel penelitian pada sebuah sumur ditemukan, cemaran itu mencapai 910 mpn per milimeter air. Bahkan, di Tikala, kontaminasi bakteri itu mencapai 3.900 mpn per milimeter air.

Di tengah kegundahan dan kegelisahan pengungsi yang hidup di tenda dengan minim prasarana, mereka seolah merasakan embusan angin surga dari pemerintah seusai kunjungan Wakil Presiden Boediono beberapa waktu lalu. Kabar pengungsi akan memperoleh rumah pengganti dari pemerintah telah memberi harapan baru.

Gubernur Sulut Sinyo Harry Sarundajang mengatakan, penanganan bencana banjir bandang di Manado sebagaimana pernyataan Wapres akan diterapkan dengan model Yogyakarta saat menghadapi gempa. Model itu dianggap terbaik di Tanah Air untuk memulihkan wilayah bencana dan masyarakat korban bencana.

Pola Yogyakarta adalah mengganti rumah hilang atau hanyut senilai Rp 50 juta, rumah rusak berat Rp 35 juta, dan rumah rusak ringan Rp 20 juta. Namun, cepat atau lambat pemulihan wilayah bencana dan korban tergantung verifikasi data yang dilakukan Pemerintah Kota Manado.

Di sisi lain, Pemerintah Kota Manado masih mencari bentuk penanganan pengungsi dan pemulihan wilayah bencana dari kerusakan banjir bandang. Awal Maret lalu, Pemerintah Kota berdiskusi dengan sejumlah pakar lingkungan, perkotaan, dan sosial untuk merumuskan penanganan pasca banjir bandang itu.

Veronika Kumurur, ahli lingkungan perkotaan dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, mengatakan, pembangunan dan pemulihan infrastruktur harus mengikuti tata ruang dan tata wilayah Kota Manado. Pemulihan bencana harus berlandaskan hukum, yaitu peraturan daerah. Kapan membuat perda jika kini wakil rakyat sibuk berkampanye? (JEAN RIZAL LAYUCK)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005433998