RAWAN PANGAN
Sejuta Upaya Dapatkan Sesuap Nasi
Kornelis Kewa Ama
Ikon konten premium Cetak | 16 Juni 2015
Martha Neo (61), ditemani anak bungsu dan dua cucunya, berdiri di tepi jalan rute Kupang- Kolbano, Timor Tengah Selatan. Mereka ingin menjual daun gewang di SoE, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan sesuap nasi, menyusul gagal panen akibat kekeringan berkepanjangan.
Sekitar 500 meter dari Martha Neo, duduk Ny Ofenci Lusi (51), juga warga Desa Toeneke, Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Ia menawarkan biji kelicik, biji pohon gewang (sejenis palem). Biji kelicik tidak dikonsumsi, tetapi dijadikan bahan kosmetik. Biasanya biji ini dibeli pengusaha Tionghoa seharga Rp 100.000 per kilogram, kemudian dikirim ke Jakarta atau luar negeri. Namun, mendapatkan 1 kilogram biji kelicik butuh 20 pohon batang gewang.
Dia juga menjual daging batang gewang yang disebut putak, yang diletakkan di samping biji kelicik. Putak mirip sagu, tetapi memiliki lebih banyak duri tajam dibandingkan tepung untuk dikonsumsi. Biasanya putak diberikan kepada ternak sapi atau babi dan diolah sedemikian rupa untuk dikonsumsi warga.
Martha Neo memiliki lima anak, semuanya sudah menikah. Dia hidup bersama dua cucunya. Dia memilih menetap di bibir pantai Kolbano untuk mengolah garam tradisional. Usaha garam juga diminati warga lain. Dia juga masih memiliki sejumlah pekerjaan lain. Itu semua dia lakukan guna mendapatkan uang untuk membeli beras.
”Anak-anak sekarang tidak bisa makan putak, bahkan singkong sekalipun. Mereka selalu menuntut makan nasi. Padahal, beras di pasar sini 1 mug seharga Rp 5.000. Lima mug sama dengan 1 kilogram. Mendapatkan beras 1 mug saja sangat susah, dapat uang Rp 5.000, harus tunggu sampai tiga hari, itu pun kalau ada yang bersedia membeli daun gewang,” ujarnya.
Membawa daun gewang ke SoE, dia biasanya menggunakan truk milik perusahaan yang mengangkut batu warna Kolbano. Truk itu tak dibayar karena sopir truk memahami kondisi hidup warga yang menjual daun gewang atau sejenisnya. Mereka sedang dilanda kelaparan.
Daun gewang dijual seharga Rp 1.000 per lembar. Daun itu digunakan, antara lain, untuk atap rumah dan dianyam menjadi keranjang belanja.
Kering berkepanjangan
Ruth Taneo (43), warga Oetune, Kecamatan Kotolin, juga mengakui hidup mereka sangat menderita sejak beberapa bulan lalu. Tanaman pertanian yang ditanam tidak bisa dipanen akibat kekeringan yang berkepanjangan sejak Desember 2014.
”Selama Desember 2014 hingga April 2015 hujan yang turun mungkin lebih kurang lima kali, sehingga tanaman pertanian tidak bisa tumbuh dengan baik, bahkan rusak dan mati,” ujar Ruth.
Itu sebabnya, pada Maret 2015, suaminya terpaksa memilih menjadi tenaga kerja di Malaysia. Bekerja di negeri jiran diyakini akan bisa mendapatkan uang guna membiayai kehidupan keluarga, termasuk pendidikan tiga anak mereka. Namun, impian itu pun belum terwujud sebab hingga kini sang suami belum juga mendapatkan pekerjaan di Malaysia.
Beban itu kemudian terpaksa dipikul Ruth. Ia pun menjual kayu bakar. Anak perempuannya yang masih kelas II SD pun mengumpulkan biji kabesak dari buah pohon duri, sejenis pohon bidara. Biji kabesak dijual Rp 600.000 per kilogram di Kota Kupang. Ada satu pengusaha yang mengumpulkan biji kabesak, lalu diekspor ke Tiongkok untuk bahan baku kosmetik.
”Tiga anak masih di hutan mencari biji kabesak. Mendapatkan 1 kilogram biji kabesak butuh waktu sekitar 15 hari, itu pun kalau rajin mencari. Biji itu sangat kecil. Tidak mudah mendapatkan biji itu pada setiap pohon duri, dan saat ini di desa ini orang beramai-ramai mencari biji itu,” tuturnya.
Adnan Berkanis, pemuka agama di Kualin, mengatakan, kelaparan parah menimpa semua warga setempat, tetapi belum ada bantuan. Pemerintah daerah dan DPRD setempat pernah mengunjungi warga, tetapi janji bantuan belum terwujud. Sejauh ini, bantuan baru berasal dari Keuskupan Agung Kupang yang difokuskan kepada janda dan yatim piatu. ”Kami mau berdayakan mereka untuk tanam sayur, juga air tidak ada. Untuk minum dan masak saja mereka harus beli, atau ambil air sejauh 5 kilometer dengan berjalan kaki,” kata Adnan Berkanis.
Camat Amanuban Selatan Albert Nabuasa mengatakan, sedikitnya lima kecamatan di selatan Timor Tengah Selatan rawan pangan, yakni Amanuban Selatan, Kotolin, Kualin, Kolbano, dan Kuanfatu. Kelaparan terparah terjadi di kawasan pesisir selatan. Desa-desa yang terletak sekitar 10 kilometer dari pantai atau di ketinggian masih bisa panen padi dan jagung.
Sebanyak 21.452 orang dari total 78.500 warga di lima kecamatan itu menderita kelaparan. Sebagian besar kaum pria pergi ke kota, bahkan menjadi TKI ke Malaysia, untuk menghidupi keluarga, terutama membiayai pendidikan anak-anak.
Albert Nabuasa sudah melaporkan kasus kelaparan di Amanuban Selatan kepada Bupati Timor Tengah Selatan Paul Mella, tetapi belum ada bantuan nyata dari pemda. ”Kami sangat berharap segera ada perhatian agar kelaparan ini tidak bertambah parah,” ujarnya.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/06/16/Sejuta-Upaya-Dapatkan-Sesuap-Nasi
- Log in to post comments
- 256 reads