BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Sasaran Pertama Kwatisore, Kampung Habitat Hiu Paus

Jum'at, 04 April 2014 , 08:40:00
Mengikuti Perjalanan Kapal Gurano Bintang ke Kampung-Kampung Terpencil di Teluk Cenderawasih (1)
Sasaran Pertama Kwatisore, Kampung Habitat Hiu Paus

Minggu lalu tim World Wildlife Fund (WWF) Indonesia melakukan pemantauan rutin habitat hiu paus (Rhincodon typus) di Kwatisore, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Papua. Banyak cerita menarik dan inspiratif yang dicatat wartawan Jawa Pos JANESTI PRIYANDINI yang mengikuti perjalanan di tengah laut tersebut.
Selasa (18/3) siang saya mene­mani Casandra Tania, marine species officer WWF, mengantarkan persediaan logistik yang baru dibeli ke speedboat yang akan membawa kami menuju Kwatisore. Kwatisore adalah kampung di wilayah Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) yang menjadi salah satu habitat hiu paus.
Casandra yang akrab disapa Cassie itu kebagian tugas belanja logistik. Dia membeli sangat banyak bahan makanan. Dua kantong besar beras, telur, ayam potong, sayuran, buah, dan aneka snack. Kegiatan pemantauan hiu paus tersebut memakan waktu tiga hari. Selama itu kami tinggal di atas kapal. Sebab, lokasi habitat hiu paus jauh dari mana-mana. Dari Nabire saja harus naik speedboat dua jam. Semula kami akan berangkat sore. Tapi, kondisi angin yang cukup kencang membuat tim memutuskan untuk menunda perjalanan. Mereka tidak mau mengambil risiko.
Perjalanan akhirnya start esoknya. Speedboat yang dikemudikan Badrin Tandiono melaju begitu kencang. Menjauh dari daratan Nabire. Speedboat mengangkut enam orang. Salah seorang di antaranya adalah Dr Brent Stewart, tenaga ahli dari Hubbs-Sea World Institute. Dia merupakan peneliti asal Amerika Serikat yang dua tahun belakangan menginisiasi pemantauan hiu paus di TNTC. Sebetulnya ada dua rombongan yang berangkat ke Kwatisore. Satu rombongan lagi naik speedboat berbeda. Mereka adalah rombongan Kepala Balai TNTC Ben Gurion Saroy bersama empat anggota timnya.
Dua jam kemudian, kami tiba di Kwatisore. Dari kejauhan, saya melihat sebuah kapal layar dengan warna yang cukup mencolok. Kesannya seperti kapal mainan anak-anak. Seluruh badan kapal didominasi warna cerah seperti merah, kuning, dan biru. Lambung kapal dihiasi gambar binatang-binatang laut. Di tiangnya, berkibar bendera dari berbagai negara.
“Itu kapal kita. Namanya Gurano Bintang (GB). Selama di sini, kita tidur di Gurano Bintang,” kata Cassie. Gurano Bintang adalah nama hiu paus. Penduduk lokal memanggil hiu paus dengan sebutan Gurano Bintang. Begitu speedboat merapat, muncul para penumpang GB menyambut kami. Mereka berjumlah 11 orang yang terdiri atas lima ABK (anak buah kapal), seorang tenaga pemantau hiu paus dari Kampung Napanyaur, seorang mahasiswa S-2 yang sedang melakukan penelitian, seorang dokter gigi PTT (pegawai tidak tetap), serta tiga anggota tim fasilitator WWF.
Kapal GB cukup mewah. Dari pengalaman berkali-kali “melaut” untuk menyelam, biasanya saya hanya bisa tinggal di sopek, perahu kayu yang cukup besar tapi tidak berkasur. Jadi, kalau ingin beristirahat, hanya beralas kayu. Kapal GB memiliki panjang 24 meter dan lebar 5,5 meter. Kapal GB punya tiga kamar. Letaknya di dek paling atas, tengah, dan bawah. Satu kamar kapten kapal terletak di ruang kemudi.
Kamar-kamar itu memiliki ranjang tingkat plus kasur busa. Serta, dua kamar mandi di sisi kanan dan kiri. “Yang sisi kiri toilet cewek. Yang kanan buat cowok, ya,” kata Rusdianto atau Anto, satu-satunya koki di kapal tersebut. “Oke,” jawab saya. Di ruang tengah, ada meja besar dengan kursi busa di sisi kanan kirinya. Di tengahnya ada televisi layar datar yang dipasang di dinding. Sisi kiri TV dipasangi poster edukasi tentang konservasi binatang laut dan peta. Di sisi kanan terdapat papan tulis putih. Di papan tersebut tertulis jadwal piket. Di bawahnya lagi ada tulisan berbahasa Spanyol dan Indonesia: Le mar estaba serena, serena estaba le mar. Laut itu sungguh tenang, tenang sungguh laut itu.
Di bagian lain, ada mesin pendingin untuk menyimpan bahan makanan dan minuman. Juga, ada rak piring dan gelas serta rak buku. Banyak buku cerita dan bergambar tentang biota laut di sana. Suasananya mirip ruangan TK. “Di sini ruang rapat plus ruang untuk mengajar anak-anak. Ruang makan juga di sini,” kata Cassie. Di bagian belakang, ada satu speedboat yang berukuran lebih kecil. Nama speedboat-nya Remora. Remora adalah nama genus ikan, masuk family echeneidae. Speedboat itulah yang digunakan kru kapal GB menuju kampung-kampung yang mereka kunjungi, sedangkan GB dijangkarkan tidak jauh dari dermaga.
Jika tidak ada pelayaran, GB bersandar di Wasior. Di kota itulah kantor WWF Indonesia berada. “Pada trip kali ini, kapal GB berangkat dari Wasior sejak 14 Maret lalu. Sampai April atau Mei masih akan jalan. Mengunjungi kampung-kampung,” kata Beny Ahadian Noor, project manager WWF.
Kapal GB sebelumnya adalah kapal program WWF di Alor, NTT. Sebelumnya bernama Koteklema, nama paus yang hidup di sana. Pada 2011, kapal tersebut dialihkan untuk mendukung program mereka di Papua. “Koteklema lalu direnovasi. Dicat ulang oleh mahasiwa Universitas Petra Surabaya. Desainnya disesuaikan supaya bisa jadi ikon. Namanya juga diganti jadi Gurano Bintang,” jelas Beny.
Kapal GB digunakan sebagai sarana penunjang program konservasi di TNTC. Salah satunya tentang pendidikan lingkungan hidup. “Biar bagaimana, konservasi tidak akan bisa jalan tanpa pendekatan jalur pendidikan. Targetnya memang untuk anak-anak SD. Tapi, tidak terbatas usia itu saja. Kalangan dewasa, kelompok agama, sampai pemerintah juga,” ujarnya.
Mengapa target utamanya adalah anak-anak” Beny menjawab, merekalah yang kelak melanjutkan untuk menjaga, melestarikan, serta mengelola sumber daya alam kawasan yang mereka tempati. Jadi, setiap kapal itu berjalan, mereka selalu mampir ke kampung-kampung yang dilewati. Mereka mengajar ke sekolah-sekolah dasar di sana. Atau, jika tidak ada sekolah, mereka akan mengumpulkan anak-anak untuk kemudian diajari pentingnya konservasi lingkungan. “Kapal ini menjalankan misi baik saat berlayar maupun saat berlabuh,” ungkap Beny.
Sasaran program tersebut adalah tujuh kampung. Tentu saja, untuk mengunjunginya, perjalanan harus ditempuh berjam-jam dengan kapal. Sebab, hanya itu satu-satunya akses menuju kampung-kampung terpencil tersebut. Kawasan TNTC sangat luas. Mencapai 1.453.500 hektare. Terdiri atas 18 pulau. Kampung-kampung itu tersebar dengan lokasi yang berjauhan. Ada yang sudah memiliki akses darat alias punya jalan darat, tapi banyak pula yang belum. Meski targetnya hanya tujuh kampung, biasanya kapal GB menjangkau lebih dari 20 kampung di TNTC. “Diharapkan, kapal ini bisa memberikan suasana yang berbeda bagi warga di kampung-kampung itu yang jarang melihat dunia luar. Khususnya anak-anak,” terangnya.
Begitu kami tiba di kapal GB pada Rabu siang (19/3), saya diajak mengunjungi Kampung Kwatisore. Kami naik speedboat lagi sekitar 15 menit. Selain untuk menyampaikan surat izin berkegiatan, Cassie menemui “anak buah” di kampung itu. Dia memang memiliki beberapa orang lokal yang diminta menjadi tenaga pemantau hiu paus (TPHP). Di Kwatisore ada tiga TPHP. Mereka adalah Isac, Agus, dan Orpa. Cassie mendatangi mereka satu per satu untuk menanyakan progres pengambilan data tangkapan bagan. Plus, mengajak mereka untuk datang ke Gurano Bintang pada malamnya.
Sambil mendatangi rumah mereka, kami berkeliling kampung. Di kampung itu ada sekitar 70 kepala keluarga. Ada sebuah sekolah dasar dan posyandu. Kebanyakan mata pencaharian penduduk adalah nelayan. Tapi, ada pula yang berburu. Malamnya, tenaga TPHP Kampung Kwatisore benar-benar datang. Mereka dijemput dengan speedboat oleh awak GB. Malam itu kami makan malam dengan menu soto ayam olahan koki Anto.
Kami makan sambil ngobrol dan duduk di tepi kapal. Menikmati angin laut yang semilir. Brent terlihat sangat menikmati makanannya. Bule AS itu memang sudah beberapa kali mengunjungi Kwatisore dalam dua tahun terakhir. Dia sudah akrab dengan alam dan kondisi di sana. Termasuk makanannya.
Selesai makan, meja langsung dibereskan. Sebab, setelah itu, ruangan tersebut berubah fungsi menjadi ruang meeting. Para TPHP dibrifing Cassie mengenai kegiatan pemantauan hiu paus yang berlangsung tiga hari ke depan. Tentunya, para TPHP itu akan ikut serta. Mereka diminta bersiap pukul 06.00 esok paginya. (*/bersambung/c5/ari)

Sumber: http://www.radarsorong.com/index.php?mib=berita.detail&id=22593