Budidaya
Rumput Laut Berpotensi Dikembangkan
AROMA asin khas laut tercium ketika kaki melangkah ke sebuah gudang di Pantai Amal Baru, Kota Tarakan, Kalimantan Utara, Oktober lalu. Aroma itu bersumber dari hamparan rumput laut kering yang tengah dikemas dalam karung-karung siap dipasarkan.
”Setiap bulan, 200-300 ton rumput laut yang disetor petani-nelayan kemari. Saya berani membeli minimal Rp 13.500 per kilogram, mungkin harga tertinggi di sini. Itu karena saya bisa menjual lagi,” kata Burhanudin, pengumpul rumput laut di Pantai Amal Baru.
Beberapa tahun terakhir, rumput laut menjadi idola baru para petani-nelayan di Tarakan juga di Kabupaten Nunukan, Kaltara. Rumput laut mudah dibudidayakan dan selalu bisa terjual.
Kada, warga Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, pun banting setir dari pekerjaannya sebagai nelayan sejak dua tahun lalu. Kini, dia bisa menghasilkan 1 ton rumput laut kering setiap bulan. ”Pengumpul datang mengambil,” ujarnya.
Rumput laut gampang dan cepat tumbuh. Musuhnya hanya lumut, tiram, dan gelombang laut. Jika matahari bersinar terik, lumut dan tiram bukan masalah. Yang paling dikhawatirkan adalah gelombang laut. Ini bisa mengakibatkan gagal panen.
”Panenan terakhir bisa dibilang gagal gara-gara gelombang tinggi. Dari satu bentangan biasanya panenan bisa 1 ton, tetapi kali ini hanya 200 kilogram,” ujar Irianto, pembudidaya rumput laut di Tarakan. Meski begitu, ia tidak pesimistis karena tetap bisa meraih keuntungan.
Nunukan dan Tarakan diproyeksikan sebagai sentra rumput laut. Produksi rumput laut di Nunukan tahun 2012 dan 2013 mencapai 150.310 ton dan 206.713 ton. Produksi tahunan selama dua tahun itu jauh melampaui pencapaian tahun 2009 yang hanya 39.321 ton. Namun, melimpahnya rumput laut ini belum mendorong tumbuhnya industri pengolahan rumput laut.
Dalam Seminar Mendorong Pengembangan Hasil Industri Perikanan dan Rumput Laut dalam Rangka Percepatan Pembangunan Ekonomi Kaltara di Tarakan, yang digagas Bank Indonesia Kaltim, Oktober lalu, terungkap bahwa potensi rumput laut di Indonesia belum tergarap optimal.
”Dari sekian industri pengolahan rumput laut terbangun, hanya satu yang hidup. Teman- teman selalu kekurangan bahan baku, kalah oleh eksportir rumput laut dan tengkulak. Kalau itu masih terjadi, Indonesia hanya bisa menjual rumput laut mentah (kering),” ujar Sasmoyo S Boesari, Presiden Direktur PT Indonusa Algaemas Prima.
Sasmoyo, yang juga mewakili Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli), mengingatkan bahwa pelaku industri belajar dari pengalaman. Ia sempat bahagia ketika ada penandatanganan nota kesepahaman (MOU) lima kementerian dan satu badan usaha untuk mengelola rumput laut. ”Namun, gaungnya kok semakin sepoi-sepoi,” katanya.
Hamzah, pemilik pabrik PT Kappa Carrageenan Nusantara—industri pengolahan rumput laut di Pasuruan, Jawa Timur—mengatakan, jika Kaltara ingin dilirik industri rumput laut, banyak hal mesti dipenuhi, antara lain bahan baku, tenaga ahli permesinan dan formulasi, tenaga kerja terampil, bahan pendukung proses seperti air bersih, permesinan, sarana-prasarana, serta pasar.
”Biasanya, daerah hanya bisa memenuhi satu, yakni ketersediaan bahan baku. Banyak yang gagal karena tidak punya air bersih. Industri pengolahan rumput laut ini butuh air sangat banyak. Saya, misalnya, butuh 300-400 meter kubik setiap hari,” ujar Hamzah.
Tak hanya air, perlakuan lain demi menunjang kualitas rumput laut juga harus ada. Sasmoyo mengatakan, rumput laut di Kaltara, khususnya Tarakan dan Nunukan, bukan yang kualitas premium. Kondisi air di Pantai Tarakan dan Nunukan keruh, artinya kurang ideal.
”Idealnya rumput laut dibudidayakan di pantai yang airnya bersih, yang pantainya berpasir. Namun, saya berani mengambil (membeli) rumput laut di sini (Kaltara) karena dalam prosesnya bisa dicampur rumput laut dari daerah lain agar warnanya terang,” ujar Sasmoyo.
Hamzah dan Sasmoyo mengatakan, jika Pemprov Kaltara dan kabupaten/kota di Kaltara mau serius menggarap pengolahan rumput laut, kalangan pengusaha dan industri harus dilibatkan. Harus ada kerja sama. Wacana harus berhenti di seminar atau pertemuan. Selanjutnya aksi.
Ego sektoral harus dibuang. Ego sektoral itu misalnya keinginan kabupaten mendirikan pabrik di daerahnya sendiri. ”Pembeli dari luar tidak melirik industri yang kecil. Jadi, kapasitas produksi pengolahan setidaknya harus 300 ton per bulan,” kata Sasmoyo.
Arman Arfah, Ketua Umum Asosiasi Petani dan Pengelola Rumput Laut Indonesia (Aspperli), menambahkan, daerah yang ingin menggarap rumput laut juga harus memikirkan perlindungan kepada petani. Salah satu caranya yaitu menerapkan sistem resi gudang.
”Ketika panen raya, harga biasanya anjlok. Tengkulak bermain sehingga petani tidak bisa menentukan harga. Inilah perlunya sistem resi gudang. Di Indonesia belum ada daerah yang menerapkan sistem resi gudang untuk rumput laut, padahal mestinya bisa,” ujar Arman.
Penjabat Gubernur Kaltara Irianto Lambrie mengatakan, tahun 2015, Indonesia sudah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Mau tidak mau Kaltara akan berjibaku. Kaltara tak bisa mengandalkan sumber daya alam.
Dari sekian potensi Kaltara, rumput laut diandalkan.
Irianto Lambrie sepakat agar semua ide terkait pengembangan rumput laut harus cepat direalisasi cepat dan tidak berhenti di seminar. Teramat sayang jika potensi rumput laut di Kaltara terbuang sia-sia, sementara negara lain mungkin melirik. (Lukas Adi Prasetya)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010486897
- Log in to post comments
- 649 reads