BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

ROTAN; Permendag No 35 Perlu Ditinjau Lagi

ROTAN
Permendag No 35 Perlu Ditinjau Lagi
MAKASSAR, KOMPAS — Kalangan pengusaha dan petani rotan di Sulawesi Selatan mendesak pemerintah meninjau kembali Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun 2011 tentang larangan ekspor rotan. Sejak diterbitkan, aturan ini dinilai mematikan usaha rotan di hulu dan hilir. Cita-cita untuk memajukan industri rotan melalui aturan ini sepertinya tak berhasil.
”Yang ada, sebagian besar usaha rotan tutup, petani merugi, dan industri tak berjalan seperti yang diharapkan. Selain aturan ini, sejumlah aturan lain yang menyertai juga tumpang tindih dan sulit dilaksanakan di lapangan. Jadi, kami berharap pemerintah mau meninjau kembali. Jika perlu, turunlah ke daerah, terutama daerah penghasil rotan, lihat seperti apa kondisi yang terjadi,” kata HA Mansyur AS, Sekretaris Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Sulsel, di Makassar, Kamis (8/1).
Perwakilan pengusaha rotan, petani, pedagang dari Sulsel dan provinsi lain di Sulawesi berkumpul di Makassar dan dimediasi Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi. Permendag No 35 berisi larangan ekspor rotan mentah dan mengharuskan ekspor dalam bentuk jadi. Untuk menggairahkan mebel rotan dalam negeri, pemerintah pernah berjanji akan menggalakkan pemakaian mebel rotan di kantor, sekolah, dan hotel, tetapi hal ini tidak jalan.
Menurut Mansyur, selama ini ada industri yang menghasilkan produk rotan setengah jadi, seperti poles, hati rotan, dan kulit rotan. Kegiatan di hulu umumnya berada di wilayah Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, dan lainnya. Di hilir adalah produsen mebel rotan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa.
”Di Sulsel ada 25 jenis rotan dan hanya empat yang dipakai industri rotan dalam negeri, seperti lambang, batang, tohiti, dan torungku. Itu pun dengan ukuran tertentu, 20-28. Lalu rotan jenis lainnya yang melimpah, tak bisa dijual, padahal semuanya punya pasar ekspor. Kasihan pedagang, kasihan petani. Karena hanya rotan tertentu yang bisa diserap industri dalam negeri, petani pun jadi enggan mencari rotan. Pasokan berkurang,” kata Mansyur.
Soni Tunggono, eksportir rotan, mengatakan, sejak 2012, usahanya ditutup dan entah kapan bisa jalan lagi. ”Dulu produksi di perusahaan saya 200 ton per bulan, tetapi sekarang tidak ada produksi lagi. Petani sudah tidak mau memasok rotan karena kami hanya membeli rotan jenis lambang dan batang yang banyak dipakai industri di Pulau Jawa,” katanya.
Berdasarkan data Asmindo, sebelum Permendag No 35 keluar, di seluruh Sulawesi terdapat 42 industri setengah jadi dengan tenaga kerja sekitar 4.200 orang. Adapun volume produksi rata- rata 53.900 ton per tahun dan melibatkan 54.430 petani dan pengepul. Ekspor rata-rata 19.000 ton setara 19 juta dollar AS. Kini, industri tersisa 16 unit melibatkan 800 pekerja. Produksi cuma 18.000 ton. Jumlah petani dan pengepul 22.500 orang. (REN)

MAKASSAR, KOMPAS — Kalangan pengusaha dan petani rotan di Sulawesi Selatan mendesak pemerintah meninjau kembali Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun 2011 tentang larangan ekspor rotan. Sejak diterbitkan, aturan ini dinilai mematikan usaha rotan di hulu dan hilir. Cita-cita untuk memajukan industri rotan melalui aturan ini sepertinya tak berhasil.”Yang ada, sebagian besar usaha rotan tutup, petani merugi, dan industri tak berjalan seperti yang diharapkan. Selain aturan ini, sejumlah aturan lain yang menyertai juga tumpang tindih dan sulit dilaksanakan di lapangan. Jadi, kami berharap pemerintah mau meninjau kembali. Jika perlu, turunlah ke daerah, terutama daerah penghasil rotan, lihat seperti apa kondisi yang terjadi,” kata HA Mansyur AS, Sekretaris Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Sulsel, di Makassar, Kamis (8/1).

Perwakilan pengusaha rotan, petani, pedagang dari Sulsel dan provinsi lain di Sulawesi berkumpul di Makassar dan dimediasi Badan Kerjasama Pembangunan Regional Sulawesi. Permendag No 35 berisi larangan ekspor rotan mentah dan mengharuskan ekspor dalam bentuk jadi. Untuk menggairahkan mebel rotan dalam negeri, pemerintah pernah berjanji akan menggalakkan pemakaian mebel rotan di kantor, sekolah, dan hotel, tetapi hal ini tidak jalan.

Menurut Mansyur, selama ini ada industri yang menghasilkan produk rotan setengah jadi, seperti poles, hati rotan, dan kulit rotan. Kegiatan di hulu umumnya berada di wilayah Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, dan lainnya. Di hilir adalah produsen mebel rotan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa.

”Di Sulsel ada 25 jenis rotan dan hanya empat yang dipakai industri rotan dalam negeri, seperti lambang, batang, tohiti, dan torungku. Itu pun dengan ukuran tertentu, 20-28. Lalu rotan jenis lainnya yang melimpah, tak bisa dijual, padahal semuanya punya pasar ekspor. Kasihan pedagang, kasihan petani. Karena hanya rotan tertentu yang bisa diserap industri dalam negeri, petani pun jadi enggan mencari rotan. Pasokan berkurang,” kata Mansyur.

Soni Tunggono, eksportir rotan, mengatakan, sejak 2012, usahanya ditutup dan entah kapan bisa jalan lagi. ”Dulu produksi di perusahaan saya 200 ton per bulan, tetapi sekarang tidak ada produksi lagi. Petani sudah tidak mau memasok rotan karena kami hanya membeli rotan jenis lambang dan batang yang banyak dipakai industri di Pulau Jawa,” katanya.

Berdasarkan data Asmindo, sebelum Permendag No 35 keluar, di seluruh Sulawesi terdapat 42 industri setengah jadi dengan tenaga kerja sekitar 4.200 orang. Adapun volume produksi rata- rata 53.900 ton per tahun dan melibatkan 54.430 petani dan pengepul. Ekspor rata-rata 19.000 ton setara 19 juta dollar AS. Kini, industri tersisa 16 unit melibatkan 800 pekerja. Produksi cuma 18.000 ton. Jumlah petani dan pengepul 22.500 orang. (REN)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011271180

Related-Area: