BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Ritus Reba Sarat Narasi Kemanusiaan

Kearifan Lokal
Ritus Reba Sarat Narasi Kemanusiaan

JAKARTA, KOMPAS — Ritus reba yang dilakukan masyarakat Ngadha di Flores, Nusa Tenggara Timur, sarat dengan narasi-narasi kemanusiaan. Narasi-narasi kemanusiaan tersebut menjadi falsafah dan tuntunan bagi masyarakat Ngadha dalam menjalani kehidupan mereka sebagai manusia sekaligus sebagai bagian dari masyarakat.

Hal tersebut mengemuka dalam ”Sarasehan Menggali Nilai-nilai Sosial dan Spiritual Adat Reba sebagai Warisan Kearifan Lokal Masyarakat Ngadha”, Rabu (19/2), di Kolese Kanisius, Jakarta. Sarasehan itu dihadiri keluarga masyarakat Ngadha di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Peneliti ritus reba dari Lembaga Studi Agama dan Budaya Van Bekkum-Verheyen, Ruteng, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Hubertus Muda, memaparkan, narasi kemanusiaan yang terdapat dalam reba, bersumber pada seluruh perayaan reba sejak persiapan hingga penutupan.

Narasi, kunci kemanusiaan tersebut, antara lain menjadi manusia yang selalu menjunjung adat istiadat, menghormati orangtua, paham hak dan kewajibannya, menjalin relasi yang baik dengan sesama manusia, berpihak kepada yang papa, tidak mencuri atau mengambil yang bukan haknya serta bekerja keras.

”Orang Ngadha tidak bisa hidup beradab tanpa narasi-narasi utama kemanusiaan yang seluruhnya berjumlah 10 ini. Sepuluh narasi kunci kemanusiaan ini menjadi tolok ukur imagined personality dan imagined community orang Ngadha,” kata Hubert.

Kesepuluh nilai kemanusiaan ini menjadi tuntunan bagi masyarakat Ngadha dalam menjalani perannya sebagai manusia. Semakin dihayati, maka semakin manusiawilah orang Ngadha dalam menjalani kehidupannya di mana pun berada.

”Nilai-nilai ini akan terus relevan meski zaman berubah. Tantangannya tentu akan semakin berat karena kita juga digempur globalisasi. Namun, nilai-nilai itu harus tetap dipegang teguh,” kata Hubert.

Ritus reba adalah upacara syukur yang digelar masyarakat Ngadha setiap satu tahun sekali. Ritus reba tidak dilakukan serempak di seluruh Ngadha karena reba sebuah kampung sangat bergantung dan ditentukan oleh seorang tetua adat.

Umumnya ritus reba digelar pada Desember hingga Maret atau saat musim hujan. Musim hujan diyakini merupakan perkawinan antara langit dan bumi sehingga merupakan saat yang sangat sakral.

Perwakilan masyarakat Ngadha di Jabodetabek, Marcel Muja, menuturkan, banyak orang Ngadha yang tidak tahu, apa itu ritus reba dan apa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Melalui sarasehan tentang ritus reba ini diharapkan, masyarakat Ngadha yang ada di perantauan dapat mengenal dan memahami makna ritus reba sehingga tetap dapat menjunjung semangat reba di mana pun berada.

Menurut rencana, ritus reba akan ditampilkan di anjungan Nusa Tenggara Timur Taman Mini Indonesia Indah pada Sabtu (22/2) malam mulai pukul 18.00. (DOE)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004963840