BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Replikasi Disiapkan di Lahan Kering NTT

PERTANIAN KONSERVASI
Replikasi Disiapkan di Lahan Kering NTT
Ikon konten premium Cetak | 15 April 2015

TIMOR TENGAH UTARA, KOMPAS Pertanian konservasi menjadi solusi lahan kering tidak produktif di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Metode berdasarkan cara bertani tradisional itu kini mulai disiapkan replikasinya di sejumlah kabupaten.
Warga Desa Humusu Sainiup, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/4), memanen jagung hasil pertanian konservasi yang mereka terapkan. Penerapan metode pertanian dengan pendampingan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melalui Yayasan Mitra Tani Mandiri itu meningkatkan produktivitas di lahan kering.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTOWarga Desa Humusu Sainiup, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/4), memanen jagung hasil pertanian konservasi yang mereka terapkan. Penerapan metode pertanian dengan pendampingan dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) melalui Yayasan Mitra Tani Mandiri itu meningkatkan produktivitas di lahan kering.

Saat ini, percontohan program pertanian konservasi baru diujicobakan di enam kabupaten. Model tersebut memberikan hasil panen dua kali lipat di kebun jagung masyarakat.

"Metode pertanian konservasi terbukti memuaskan petani. Ini bukan cara baru, sudah dilakukan nenek moyang. Tinggal sedikit penyempurnaan metode," kata Edgar R Tibuludji, Sekretaris Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan NTT, Selasa (14/4), saat mendampingi sejumlah wartawan melihat penerapan metode pertanian konservasi di Desa Humusu Sainiup, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT.

NTT memiliki 1,5 juta hektar lahan kering dan 230.000 hektar lahan basah. Lahan kering yang belum dimanfaatkan maksimal itu masa depan bagi perekonomian NTT.

Menurut Edgar, percontohan pertanian konservasi yang didampingi Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bersama LSM lokal itu memudahkan masyarakat menerapkan di lahan mereka. Melalui contoh nyata, masyarakat berpendidikan rendah tak kesulitan mempelajari.

Kini, pemerintah NTT menyiapkan sekitar seratus penyuluh pertanian di kabupaten untuk dikenalkan metode pertanian konservasi. Tujuannya, melihat langsung contoh dan sistemnya.

Itu diperlukan karena prinsip pertanian konservasi seolah bertentangan dengan prinsip pertanian umum. Pertanian modern menggunakan pengolahan tanah dengan membalik, sedangkan pada pertanian konservasi, tanah minim pengolahan hanya ditambahkan pupuk organik dari pupuk kandang dan kompos.

Perbedaan lain, pertanian modern mengharuskan permukaan tanah dibersihkan. Pada pertanian konservasi, permukaan tanah semaksimal mungkin tertutup tanaman pengisi, seperti kacang tanah atau rerumputan untuk mengerem penguapan. Hal itu cocok bagi lahan kering di NTT.

Andre Koit, warga Humusu Sainiup mengatakan, metode pertanian konservasi berat pada awalnya. Itu karena warga harus membuat lubang 30 x 30 x 30 sentimeter atau membuat parit.

Membuat lubang di lahan kering berbatu tidak mudah. Lubang dan parit-parit lalu diisi pupuk kandang, kompos, dan tanah. "Berat di awal saja. Tahun berikutnya sangat ringan, tinggal menanam di lubang. Hasilnya sangat bagus," katanya.

Ujang Suparman, Manajer Program Nasional FAO di NTB dan NTT, mengatakan, hasil uji pertanian konservasi menghasilkan 4 ton-5 ton jagung per hektar atau dua kali lipat dari metode biasa yang hanya 2 ton.

Dengan pertanian konservasi, kacang tanah atau jenis lain yang mengisi lahan bisa dipanen dan dimanfaatkan. "Masyarakat juga tak akan bakar lahan karena akan merusak tanaman penutup," kata Ujang. Ternak sapi yang biasa berkeliaran kini dipelihara di satu area atau dikandangkan untuk dimanfaatkan kotorannya. (ICH)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/04/15/Replikasi-Disiapkan-di-Lahan-Kering-NTT

Related-Area: