BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Quo Vadis Desain Sistem Pemilu?

    Senin, Jan 27 2014
    Ditulis oleh  amex

MK memutuskan pemilu serentak dilaksanakan pada 2019. Selain soal yuridis, dari sisi teknis perlu diatur dengan UU Pemilu. Bola selanjutnya ada di DPR.   Apa saja Pekrjaan Rumah dari putusan MK?

Pro kontra pemilu serentak disudahi MK dalam putusan judicial review Nomor 14/PUU-XI-2013 tentang pengujian UU Pilpres, minggu ketiga akhir Januari 2014. Dalam amarnya MK menyatakan pemilu serentak belum dapat dilaksanakan pada pemilu 2014, namun pada pemilu 2019. Saat ini pileg dan pilpres diatur oleh dua UU berbeda.

Pemaknaan pemilu serentak pada tahun  2019, karena belum ada peraturan yang  mengaturnya secara serentak. Putusan  MK dengan frase “belum dapat dilaksanakan tahun 2014”, karena MK menghindari kekosongan hukum dalam menyelenggarakan pemilu, sekaligus   mengisyaratkan DPR agar mendesain  sistem pemilu  dengan UU  baru.

Langkah ini cukup bijak, karena pemilu  mengutip pendapat Giovani Sartory, sebagai instrumen politik yang paling spesifik. Tanpa adanya instrumen teknis yang yang rigid dan terkendali, pemilu akan menjadi arena perebutan kekuasaan secara liar, sehingga akan menimbulkan chaos dan konflik politik, bukan kompetisi politik yang elegan.   

Quo Vadis Sistem Pemilu?
Sejak awal perubahan  UUD 1945 pascareformasi desain pemilu serentak sempat menjadi perdebatan. Dalam notulan ke-5 Sidang Tahunan MPR 2011, Wakil Ketua PAH 1 Slamet Efendi Yusuf menyebutkan, “…secara keseluruhan itu pemilihan presiden nanti diadakan dalam pemilihan umum yang diselenggarakan bersama-sama ketika memilih DPR, DPD dan DPRD kemudian paket presiden dan wakil presiden sehingga digambarkan ada 5 kotak”.    

Anggota FKKI Tjete Hidayat  mengatakan tidak ada kaitan antara general election (pileg) dan presidenstial election (pilpres). Dia berpendapat seharusnya pilpres diatur dalam bab terpisah. Patrialis Akbar dari Fraksi Reformasi mengatakan, “..ini juga kita belum saklek  dan disini tidak ada larangan kalau dikerjakan bersama-sama atau terpisah pemilihan umum itu berkenaan dengan general election dan presidensial election ..”. Lebih lanjut, Patrialis berpendapat dilakukannya bersama pileg dan pilpres tergantuan situasi.

Pendapat dominan di PAH 1 MPR yang menggodok perubahan ketiga UUD 1945 berkenaan dengan pemilu, menegaskan perbedaan nomenklatur electoral election berbeda dengan presidensial election. Sementara dapat tidaknya pileg dan pilpres  dilakukan bersama-sama, lebih terang pendapat Slamet Efendi Yusuf  dengan menyebut ada 5 kotak, yang merujuk pada 5 surat suara dan 5 peti suara.

Maka apa yang disebut pemilu serentak hanya pemilu nasional, yakni pileg dan pilpres. Dari perdebatan PAH 1 MPR (20101) saat itu belum melakukan pengayaan pemilukada sebagai bagian dari rezim pemilu.  Hal ini lazim, karena pemilihan kepala daerah tidak disertakan dalam bab yang mengatur pemilu, namun masuk dalam bab yang mengatur mengenai pemerintahan daerah. Kedepan pemerintah perlu mengatur pemilukada serentak,  jika ingin mengurangi hiruk pikuk politik, namun waktu pelaksanaannya terpisah dengan pemilu nasional.   
Beberapa PR UU Baru

Putusan MK harus dimaknai setingkat UUD, maka hanya bersifat pokok saja. Sebagai lembaga pengawal konstitusi, putusan MK hanya menguji isi konstitusionalitas UU  terhadap UUD.  Isyarat pemilu serentak, yang diputuskan MK dari sisi teknis dan regulatif, masih bersifat quo vadis, yang harus diurai DPR dengan membuat UU pemilu baru.

UU yang dibentuk  nanti bukan lagi UU Pileg dan UU Pilpres. Kita akan segera meninggalkan desain terpisah sistem pemilu yang membedakan  pileg dan pilpres,  karena pemilu serentak tidak lagi memisahkan antara general election dan presidensial election. Maka nama UU yang mengatur pemilu serentak ini  kemungkinan disebut UU Pemilu.    

Ada beberapa PR yang mesti diatur lebih lanjut dalam UU pemilu, jika akan dilaksanakan pada pemilu 2019. PR tersebut, terutama  menyangkut  teknis  penyelenggaraan tahapan, persyaratan pencalonan, mekanisme  penggunaan hak pilih dan persyaratan caleg dan capres  terpilih.

Mengenai tahapan, sejumlah aspek teknis penyelenggaraan perlu diatur secara detail. Mekanisme pendaftaran, masa dan tata cara kampanye, juga tata cara penggunaan hak pilih. Waktu dalam tiap tahapan juga harus diatur secara singkron, karena dalam pemilu serentak teknis penyelenggaraannya bersama-sama.

Pertanyaan pentingnya apakah pendaftaran dan pelaksanaan kampanye capres dan caleg dilakukan serentak? Jika iya, maka sebenarnya pemilu serentak lebih efisien dari sisi tahapan, murah dalam pembiayaan, sekaligus mudah dalam sisi penyelenggaraan. Hanya kampanye serentak sulit merekam janji caleg, karena akan tenggelam dalam visi misi capres yang lebih prestisius dan menonjol..      

Dipastikan dengan tidak dilakukan terpisah antara pileg dan pilpres, presidensial treashold (PR) sebagai ambang batas dukungan pasangan calon capres dan cawapres ditiadakan. Cara berfikir hukum  pemilu yang lama dengan  memisahkan UU pileg dan UU pilpres, yakni karena basis persyaratan pencalonan capres dan cawapres adalah perolehan kursi di legislatif, 20 persen.

Mengenai  mekanisme penggunaan hak pilih dilakukan pada hari yang sama, yang berarti ada empat surat suara untuk mengisi kursi legislatif (DPR, DPD dan DPRD Provinsi dan DPRD Kab/kota) serta ada surat suara untuk mencoblos pasangan capres dan cawapres. Yang membedakan nantinya mekanisme keterpilihan capres, jika masih diatur harus meraih 50 persen suara sah, maka kemungkinan pemungutan suara putaran kedua untuk capres sangat terbuka.

Tanpa PR 20 persen, semua partai politik dapat mengusung capres dan cawapres. Logikanya saat ini jika 12 partai, berarti ada 12 pasangan calon. Namun demikian UU pemilu tidak boleh membatasi koalisi partai untuk mengusung pasangan calon yang sama.  Hanya saja perlu diatur kapan koalisi itu dapat terjadi.

Misalnya UU tersebut tidak membuka kemungkinan koalisi partai pada putaran pertama, namun pada putaran kedua, karena koalisi partai hanya mungkin dilakukan untuk memilih capres. Platform kampanye caleg adalah visi dan misi partai, karena caleg adalah alat perjuangan partai di parlemen. Sedangkan visi misi capres sejauh ini diatur  dalam beberapa UU merupakan visi misi capres, yang bersifat nasional.

Meskipun dilakukan serentak, namun isi UU pemilu harusnya tidak serta merta  mengatur  kemungkinan  koalisi sebelum putaran kedua, agar basis kampanye partai dalam mengusung caleg tidak tersandera isu kampanye capres. Kampanye partai pada caleg lebih menonjolkan party id, daripada  kampanye capres yang lebih menonjolkan figur presiden. 

Yang lazim membedakan antara caleg dan capres yakni adanya daerah pemilihan (dapil)  sesuai besaran tingkatan pencalonan untuk caleg. Misalnya kecamatan sebagai dapil DPRD Kab/kota, atau kab/kota untuk dapil DPRD Provinsi. Dapil tidak dikenal untuk capres, karena capres terpilih menggunakan suara sah pemilih secara nasional.  

Pemilu serentak perlu kita apresiasi untuk merampingkan hiruk pikuk politik yang lebih panjang. Pemilu serentak lebih bermakna “langsung”, karena capres tidak disensor dengan PR  20 persen. Hanya dilemanya ada pada penguatan stabilitas  sistem presidensial, jika capres terpilih bukan dari partai peraih kursi mayoritas di DPR. (**)

Sumber: http://www.ambonekspres.com/index.php/aeheadline/item/2951-quo-vadis-desain-sistem-pemilu?.html