Pintu Gerbang yang Keropos
SALAH satu daerah di Tanah Air yang prospektif, memiliki banyak keunggulan untuk dikembangkan, adalah Sulawesi Utara. Namun, untuk meyakinkan pemerintah pusat tentang posisi strategis Sulawesi Utara sebagai pintu gerbang Indonesia di Pasifik membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang mengaku mulutnya sampai berbusa mengatakan hal itu ke pemerintah pusat. ”Hampir setiap kesempatan saya bicara itu selama 20 tahun. Saya bicara ke mana-mana, termasuk ke Pak Rusdi (Kirana) mengenai posisi Sulawesi Utara, tetapi baru direspons tahun lalu,” katanya.
Sambil tersenyum CEO PT Lion Air Rusdi Kirana menyatakan keinginan menjadi Gubernur Sulawesi Utara. ”Seandainya tak jadi gubernur, saya ingin jadi Wali Kota Manado. Saya punya feeling baik di sini,” katanya kepada wartawan, medio Februari lalu.
Tentu Rusdi tak sekadar bercanda mengenai Manado dan Sulawesi Utara. Rusdi menyiapkan ekspansi bisnis besar-besaran ke depan dengan menjadikan Bandara Sam Ratulangi sebagai hub internasional penerbangan Lion Air ke wilayah Pasifik. Optimisme Rusdi tak berlebihan mengingat posisi strategis Sulawesi Utara tepat berada di tengah persilangan Pasifik dan Australia.
Menurut Sarundajang, waktu 20 tahun meyakinkan pemerintah pusat sama dengan waktu yang dibutuhkan China ketika mulai membangun ekonomi negaranya dekade 1990-an.
Selama kurun waktu itu, kemajuan ekonomi China spektakuler diikuti kebijakan memperbanyak pintu masuk, membangun infrastruktur bandara, pelabuhan, dan jalan. ”Bandingkan dengan kita yang baru di atas kertas,” ujar Sarundajang.
Di tangan Deng Xiaoping, China yang dulu tertutup dan terisolasi dari dunia luar membalikkan keadaan dalam sekejap. Terdapat sejumlah faktor menentukan dan membuat ekonomi China berkembang luar biasa. Pertama, pembangunan infrastruktur sangat luas dan menyentuh pedalaman China yang memacu ekonomi, membuka sekat-sekat daerah yang tertutup, dan membuat rakyat leluasa bergerak.
Sarundajang menambahkan, membangun jalan tol Manado-Bitung yang panjangnya hanya 40 kilometer membutuhkan perjuangan luar biasa.
Februari 2012, pemerintah menetapkan Bitung dan Tanjung Lesung sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, pemilihan Bitung menjadi kawasan ekonomi khusus karena posisi geografisnya strategis di jalur perdagangan nasional dan internasional.
Bitung, ujar Bayu, dapat dijadikan pintu gerbang Indonesia di wilayah utara dalam perdagangan dengan negara-negara Asia Timur, Australia, dan Amerika. Selain itu, Bitung juga dapat berfungsi sebagai kota penghubung ekonomi di kawasan timur Indonesia dengan kawasan Indonesia lainnya.
Seolah diam
Dua tahun penetapan Bitung sebagai pelabuhan hub dan KEK oleh pemerintah pusat dalam desain MP3EI, tetapi realisasi di lapangan keropos. Kementerian teknis yang semestinya bergerak menindaklanjuti keputusan pemerintah itu seolah diam.
Ketua Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) Manado-Bitung Noldy Tuerah mengatakan, dua tahun ia hanya sibuk menjemput tamu yang berkunjung ke Bitung dan menghadiri rapat-rapat di Jakarta.
Ia mencontohkan realisasi pembangunan pelabuhan Bitung sekaligus perpanjangan Bandara Sam Ratulangi yang kewenangannya berada di tangan Kementerian Perhubungan tak menunjukkan kemajuan.
Jangan bicara membangun pelabuhan Bitung sebagai pelabuhan hub, pembangunan pelabuhan Manado sebagai pelabuhan pendukung saja keteteran. Sejak dibangun tahun 2010, anggaran pusat menetes pelan.
Kepala Dinas Perhubungan Sulawesi Utara Joi Oroh mengatakan, Kementerian Perhubungan hanya menganggarkan Rp 12 miliar untuk kelanjutan pembangunan pelabuhan Manado tahun 2014. Padahal, untuk percepatan pembangunan proyek tersebut dibutuhkan Rp 125 miliar. Artinya, dibutuhkan 10 tahun untuk penyelesaian pembangunan pelabuhan Manado.
”Tak usah bicara Bitung. Kita dapat lihat komitmen pemerintah pusat membangun pelabuhan Manado,” katanya. Joi menambahkan, ada ketimpangan pembangunan prasarana perhubungan di daerahnya. Anggaran perhubungan paling sedikit dari lima provinsi di Sulawesi.
Tahun 2013, dana APBN dari Kementerian Perhubungan sekitar Rp 400 miliar, padahal Sulut butuh banyak dana untuk membangun prasarana dermaga di wilayah perbatasan.
Agus Poputra, pengamat ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi, mengatakan, semestinya pemerintah serius membangun kawasan ekonomi khusus yang di banyak negara telah menunjukkan kemajuan signifikan.
Vietnam dengan Greater Mekong Subregion-nya membuat lompatan besar meningkatkan pendapatan per kapita di kawasan tersebut dari 630 dollar AS tahun 1992 menjadi 1.100 dollar AS tahun 2006.
Ekonomi kelautan
Meski demikian, Sarundajang mengatakan, pikirannya tak terjebak dengan pembangunan Bitung sebagai KEK. Masih banyak potensi pembangunan di daerahnya yang harus digarap. Keberhasilan Sulut menyelenggarakan Konferensi Kelautan Internasional (World Ocean Conference) 2009 membawa daerah itu melaju sebagai daerah tujuan MICE (meeting, incentive, conference and exhibition).
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memasukkan Sulut sebagai 10 provinsi tujuan MICE. Setiap tahun sekitar 300 pertemuan nasional dan 30 pertemuan internasional dilaksanakan di Manado. Hotel lantas tumbuh di Manado. Sejumlah pengusaha Jakarta seperti Grup Lippo kini melirik Sulut.
Sarundajang juga merintis sebuah pembangunan berbasis kelautan (blue economy) dari daerahnya. Indonesia memiliki luas lautan 5,8 juta kilometer persegi. Sebanyak 75 persen dari luas wilayah memiliki potensi ekonomi luar biasa. Sulut, sekitar 80 persen wilayahnya laut.
Ia mengatakan, beban daratan sudah luar biasa. Karena itu, tidak usah memikirkan Sulut sebagai pintu gerbang yang keropos, sekarang saatnya memalingkan muka ke laut sebagai masa depan.
(Jean Rizal Layuck)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005090836
- Log in to post comments
- 210 reads