BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

PETERNAKAN; Kebutuhan Daging Sapi DKI Peluang Pasar NTT

PETERNAKAN
Kebutuhan Daging Sapi DKI Peluang Pasar NTT
KUPANG, KOMPAS — Tingginya kebutuhan daging sapi bagi warga DKI Jakarta harus diperjuangkan sebagai peluang pasar potensial sekaligus dapat menyehatkan usaha peternakan sapi di Nusa Tenggara Timur. Sejarah mencatat, NTT hingga tahun 1990-an merupakan sentra sapi kedua secara nasional setelah Jawa Timur. Bahkan hingga tahun 1960-an sapi asal NTT pernah diekspor ke berbagai negara di kawasan Asia Tenggara.
Harapan dan gambaran itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPRD NTT dengan Kepala Dinas Peternakan NTT Thobias Uly bersama jajarannya di Kupang, Rabu (4/2). Rapat dipandu oleh Ketua Komisi II DPRD NTT Anton Bele bersama wakilnya, Alfridus Bria Seran, dan dihadiri 8 dari 11 anggota Komisi II DPRD NTT. Mereka di antaranya Yucun Lepa, Yenny Veronika Deno, Kristin Pati, Ans Takalapeta, Hamdan Saleh Badjo, dan Patris Lali Wolo. Rapat itu beragenda khusus mendalami program kerja sama bidang peternakan sapi antara NTT dan DKI Jakarta.
Thobias Uly mengungkapkan, DKI membutuhkan daging sapi 150 ton per hari. Itu setara 1.500 ekor sapi per hari atau kurang lebih 537.500 sapi per tahun. Sementara kuota sapi untuk perniagaan antarpulau dari NTT saat ini ditetapkan 60.000 ekor per tahun. Namun tahun lalu realisasinya sekitar 50.000 ekor, termasuk 18.730 ekor sapi untuk DKI. Angka itu menunjukkan pasokan sapi dari NTT untuk DKI masih sangat terbatas.
Menurut Thobias Uly, salah satu tekad Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah menjamin kebutuhan daging sapi bagi warganya terjaga. Untuk itu, disepakati perjanjian kerja sama antara Pemprov NTT dan DKI Jakarta untuk pengembangan agrobisnis sapi potong di NTT. MOU-nya sudah ditandatangani oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (kini Presiden) pada 29 April 2014.
Perjanjian kerja sama itu disepakati selama 10 tahun, yang realisasinya terhitung sejak tahun 2015. Biaya sepenuhnya dari DKI Jakarta dengan ruang lingkup usaha terkait pengembangan populasi sapi melalui pembibitan, penggemukan, serta pengembangan berbagai infrastruktur yang dibutuhkan. ”Untuk tahun pertama ini DKI mengalokasikan Rp 20 miliar. Dananya belum turun dan pola pelaksanaannya masih harus dirumuskan,” kata Thobias Uly.
Ans Takalapeta mengingatkan upaya mengembalikan NTT sebagai sentra sapi merupakan langkah tepat. Namun untuk saat ini masih merupakan mimpi, sebab populasi sapi di NTT sudah merosot jauh.
Untuk mengembalikan NTT sebagai sentra sapi, sambung Yucun Lepa, langkah awalnya harus memastikan ketersediaan padang penggembalaan, pakan, dan air. Populasi sapi belakangan merosot antara lain akibat kesulitan pakan dan air. Yenny Veronika Deno dari daerah pemilihan Manggarai Raya, mengingatkan pentingnya koordinasi tingkat provinsi dengan kabupaten sentra ternak sapi. (ANS)

KUPANG, KOMPAS — Tingginya kebutuhan daging sapi bagi warga DKI Jakarta harus diperjuangkan sebagai peluang pasar potensial sekaligus dapat menyehatkan usaha peternakan sapi di Nusa Tenggara Timur. Sejarah mencatat, NTT hingga tahun 1990-an merupakan sentra sapi kedua secara nasional setelah Jawa Timur. Bahkan hingga tahun 1960-an sapi asal NTT pernah diekspor ke berbagai negara di kawasan Asia Tenggara.

Harapan dan gambaran itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPRD NTT dengan Kepala Dinas Peternakan NTT Thobias Uly bersama jajarannya di Kupang, Rabu (4/2). Rapat dipandu oleh Ketua Komisi II DPRD NTT Anton Bele bersama wakilnya, Alfridus Bria Seran, dan dihadiri 8 dari 11 anggota Komisi II DPRD NTT. Mereka di antaranya Yucun Lepa, Yenny Veronika Deno, Kristin Pati, Ans Takalapeta, Hamdan Saleh Badjo, dan Patris Lali Wolo. Rapat itu beragenda khusus mendalami program kerja sama bidang peternakan sapi antara NTT dan DKI Jakarta.

Thobias Uly mengungkapkan, DKI membutuhkan daging sapi 150 ton per hari. Itu setara 1.500 ekor sapi per hari atau kurang lebih 537.500 sapi per tahun. Sementara kuota sapi untuk perniagaan antarpulau dari NTT saat ini ditetapkan 60.000 ekor per tahun. Namun tahun lalu realisasinya sekitar 50.000 ekor, termasuk 18.730 ekor sapi untuk DKI. Angka itu menunjukkan pasokan sapi dari NTT untuk DKI masih sangat terbatas.
Menurut Thobias Uly, salah satu tekad Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah menjamin kebutuhan daging sapi bagi warganya terjaga. Untuk itu, disepakati perjanjian kerja sama antara Pemprov NTT dan DKI Jakarta untuk pengembangan agrobisnis sapi potong di NTT. MOU-nya sudah ditandatangani oleh Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (kini Presiden) pada 29 April 2014.

Perjanjian kerja sama itu disepakati selama 10 tahun, yang realisasinya terhitung sejak tahun 2015. Biaya sepenuhnya dari DKI Jakarta dengan ruang lingkup usaha terkait pengembangan populasi sapi melalui pembibitan, penggemukan, serta pengembangan berbagai infrastruktur yang dibutuhkan. ”Untuk tahun pertama ini DKI mengalokasikan Rp 20 miliar. Dananya belum turun dan pola pelaksanaannya masih harus dirumuskan,” kata Thobias Uly.

Ans Takalapeta mengingatkan upaya mengembalikan NTT sebagai sentra sapi merupakan langkah tepat. Namun untuk saat ini masih merupakan mimpi, sebab populasi sapi di NTT sudah merosot jauh.
Untuk mengembalikan NTT sebagai sentra sapi, sambung Yucun Lepa, langkah awalnya harus memastikan ketersediaan padang penggembalaan, pakan, dan air. Populasi sapi belakangan merosot antara lain akibat kesulitan pakan dan air. Yenny Veronika Deno dari daerah pemilihan Manggarai Raya, mengingatkan pentingnya koordinasi tingkat provinsi dengan kabupaten sentra ternak sapi. (ANS)

Sumber:http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011825019

Related-Area: