BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pertalian Darah dalam Selembar Kain

Wastra Indonesia
Pertalian Darah dalam Selembar Kain

Pada selembar kain terjalin pertalian darah. Di antara jalinan helai benang kain tenun ikat, hati warga Kepulauan Tanimbar terkait satu sama lain. Tanpa kain tenun, mereka bukan warga Tanimbar. Begitu adat menggariskan. Mohammad Hilmi Faiq

Jemari Kristina Ndritatu Maseleman Luturmele (69) terampil menata benang- benang di tepi tenunan yang dia kerjakan di rumahnya di Desa Olilit Timur, Kecamatan Tanimbar Selatan, Maluku Tenggara Barat, Maluku, Selasa (25/11). Tais atau kain tenun ikat sepanjang 2 meter dengan lebar 120 sentimeter itu sudah dua pertiga dia selesaikan.

”Ini sudah dua bulan, tetapi belum selesai. Waktu masih muda, seminggu saja sudah selesai. Sekarang sudah tua, to. Tidak kuat lagi,” kata Kristina.

Sejak usia 20 tahunan, Kristina telah akrab dengan tenun ikat sebagaimana gadis-gadis Kepulauan Tanimbar lain. Mereka mewarisi keahlian menenun dari nenek atau ibu mereka. Kristina termasuk maestro dan produktif. Dalam sebulan, empat sampai lima tais dia hasilkan. Namun, sejak tahun 1997, dia tak dapat lagi menenun seproduktif itu setelah terjatuh akibat terkait tali sapi yang lepas dari kandang. Punggungnya cedera dan sejak saat itu kekuatan fisiknya menurun.

Akan tetapi, Kristina berkukuh harus menyelesaikan tenun ikat motif ule rati yang tengah dia kerjakan itu karena tidak punya lagi simpanan tais. ”Mertua saya sudah tua, 83 tahun. Kalau dia meninggal dan saya tidak punya tais, malu rasanya,” katanya.

Dalam adat Tanimbar, menantu perempuan wajib menyerahkan tais pada setiap kematian mertuanya sebagai bentuk penghormatan. Menantu perempuan yang tidak menyerahkan kain menjadi pergunjingan di antara keluarga mendiang dan menanggung rasa malu karena dianggap tidak menghormati adat. Maka, setiap kaum ibu berkewajiban menyimpan tais.

Ketika seseorang meninggal, anak laki-laki tertua mengirim sejenis surat berbentuk sepotong kertas kecil kepada seluruh keluarga di kampung hingga ke luar pulau. Selain mengabarkan tentang berita duka, kertas itu juga berisi kewajiban-kewajiban sanak saudara terhadap mendiang. Keluarga dari jalur menantu perempuan membawa tais, sementara saudara perempuan dan anak perempuan mendiang membawa daging (babi atau ikan) atau beras. Semakin banyak yang mereka bawa, semakin terhormat mereka di mata adat.

Bagi keluarga yang berada jauh di perantauan dan tidak memungkinkan membawa tais atau daging, mereka dipersilakan mengirim sejumlah uang. Uang ini dapat dibelikan kain ikat tenun atau daging atau bisa untuk menutup biaya operasional prosesi pemakaman.

Setelah jenazah dikuburkan, tais tenun ikat, daging, dan beras yang terkumpul akan dibagikan kepada sanak saudara sesuai dengan yang mereka bawa. Sanak saudara yang membawa banyak kain akan mendapat jatah daging dan beras lebih banyak. ”Ada yang pulang membawa seekor babi utuh karena dia membawa banyak tais. Ada juga yang membawa paha babi saja,” ujar Karinus Kuwa (70), Ketua Adat Olilit Barat, Kecamatan Tanimbar Selatan.

Prosesi adat dalam kematian seseorang menjadi ajang reuni keluarga. Yang datang bisa sampai ratusan orang mengingat anggota satu keluarga inti bisa mencapai belasan orang. Kesempatan ini memungkinkan mereka saling berkabar dan menceritakan pekerjaan, anak, atau situasi politik lokal. Anak-anak atau remaja mulai mengenal sepupu jauh mereka. Keakraban menguat. ”Ke mana pun pergi di Tanimbar ini, kami tidak khawatir kekurangan makan atau tempat menginap. Saudara kami tersebar dan kami saling mengenal karena adat, karena tais,” kata Isaias Klise (47), warga Desa Olilit Barat.
Pereda konflik

Dulu, di Tanimbar kerap terjadi konflik antardesa atau antarwarga. Pemicunya beragam, mulai dari soal batas desa sampai gara-gara mabuk sofi, minuman keras khas Tanimbar. Nah, penyelesaian konflik itu harus melibatkan tais. ”Pihak-pihak yang bertikai kami urut silsilahnya hingga pihak keturunan ibu dan pihak keturunan bapak. Pihak yang bertikai dari keturunan ibu harus menyerahkan tais sebagai bentuk damai,” tambah Karinus. Tais atau tenun ikat menyambung kembali hubungan yang putus.

Peran kain tenun ikat begitu sentral dalam kehidupan masyarakat Tanimbar. Hal ini setidaknya diungkapkan Susan McKinnon dalam buku From a Shattered Sun: Hierarchy, Gender, and Alliance in the Tanimbar Islands (1991). Saking sentralnya, sampai-sampai kain itu mereka bawa ke dalam peribadatan, seperti dalam peringatan Kristus Raja di seantero Tanimbar. Di Gereja Hati Kudus Yesus, Olilit Barat, saat penutupan perayaan Kristus Raja, puluhan remaja menari dengan memakai bawahan berbahan kain tenun ikat. Di bawah temaram lampu gereja, kain tenun ikat itu begitu memikat.

Pemandangan serupa terlihat di Stasi Bomaki, Desa Bomaki, Kecamatan Tanimbar Selatan, saat warga meletakkan patung Yesus di dalam tenda serupa kapel. Patung itu berbalut kain tenun dan dilengkapi ikat kepala warna merah hati berseling benang emas yang juga dari kain tenun. Belasan ibu menari sebelum akhirnya berdoa. Mereka memakai kaus putih dengan bawahan kain tenun ikat Tanimbar.

Warga tak bisa lepas dari tais, tenun ikat Tanimbar. Ketika mereka merantau, orang tua, terutama paman dari pihak ibu, membekali sepotong kain tenun ikat sebagai simbol restu sekaligus perlindungan. Kain ini pantang diberikan kepada orang lain, apalagi diperjualbelikan. Warga Tanimbar di tanah rantau percaya, kain pemberian paman adalah sumber sugesti yang melimpahkan ketenangan dan membuka jalan penyembuhan. Kain tenun ikat adalah perisai. Kain tenun itu menegaskan akar budaya dan jati diri pemegangnya.

Ety I Werembinan masih menyimpan tais motif ule rati (ulat seratus) yang diberikan pamannya tahun 1992 ketika dia kuliah di Jakarta. Ketika sakit, dia berselimut kain itu. Keesokan hari sakitnya mereda. ”Ada rasa tenang dan nyaman ketika memakai kain ini. Mungkin itu yang menyebabkan sakit atau demam cepat hilang,” ujar Ety yang kini menjabat sebagai Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Kelekatan warga dengan tenun ikat ini membentuk semacam personifikasi sehingga mereka merasa tidak utuh sebagai orang Tanimbar jika tak memiliki kain. Tanyalah kepada setiap warga, dapat dipastikan mereka menyimpan selembar kain tenun Tanimbar. ”Malu rasanya kalau ditanya tentang tais dan kami bilang tak punya,” kata Alo Wisius Luturmele (61).

Meski demikian, tidak sembarang kain tenun mereka simpan. Untuk acara-acara adat, seperti pernikahan dan kematian, adat mewajibkan warga hanya menggunakan jenis kain tais maran dan tais matan dengan motif-motif lama, seperti ule rati, tunis (tombak), atau lelemuku (anggrek).

Itu merupakan motif klasik yang diwarisi sejak nenek moyang, sejak mereka menggunakan benang kapas sebagai bahan baku dan tumbuhan sebagai pewarna alam. ”Sekarang ini bebas pakai bahan kain apa saja, yang penting motifnya sesuai dengan adat,” ucap Karinus.

Kain tenun ikat tetap sakral, eksistensinya terjaga oleh adat. Warga Tanimbar lebih dapat mengenal garis-garis keturunan juga karena tenun ikat. Tenun ikat Tanimbar telah mengikat hubungan darah mereka.



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010509704

Related-Area: