BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Perjuangan Masyarakat Kajang Menjaga Hutan yang Terancam Perkebunan (Mongabay)

Membuat sumurpun masyarakat Adat Kajang tak mau karena dinilai akan menyakiti bumi.

Lima orang laki-laki melintasi jalan berbatu dengan kaki telanjang. Menggunakan pakaian serba hitam: kemeja, sarung, juga ikat kepala. Mereka jalan beriringan seperti sedang ikut baris-berbaris. Langkah mereka menuju sebuah balai berbentuk rumah panggung. Satu-persatu kaki-kaki itu menaiki anak tangga.

Lelaki paling depan adalah Ammatoa. Demikianlah dia biasa disebut. Ammatoa adalah kepala suku Kajang atau pimpinan tertinggi dalam masyarakat adat Kajang, di Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Siang itu, medio Juni 2013, Ammatoa didampingi pemangku adat lain berkumpul di Balai Adat Tana Toa. Mereka hendak berunding mencapai sebuah traktat yang tertunda yakni membuat Peraturan Daerah (Perda) Masyarakat Hukum Adat Kajang. Perda ini sudah digagas sejak 2008, namun selalu kandas.

Kali ini seperti mendapatkan energi baru, pasca keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian pasal dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang dianggap bertentangan dengan UU Dasar 1945. Kini, hutan adat tak masuk hutan negara.

Ammatoa dalam memimpin masyarakat didampingi Anrongta ri Pangi dan para pemangku adat lain. Anrongta ri Pangi dalam struktur adat bertugas khusus melantik Ammatoa. Dalam menjalankan sistem politik, Ammatoa dibantu oleh Ada’ Lima Karaeng TalluAda’ Lima (ri Loheya dan ri Kaseseya) khusus bertugas mengurus adat (ada’ pallabakki cidong).

Pejabat-pejabat pemerintahan daerah di Kabupaten Bulukumba juga hadir di Balai Adat ini. Mereka adalah Wakil Bupati Bulukumba, Syamsudin, Kepala Dinas Kehutanan Misbawati A. Wawo, Kepala Dinas Pariwisata, Taufik, dan Bagian Hukum pemerintah kabupaten Bulukumba, Muhamad Nur Jalil.

Kata kunci pembahasan dalam pertemuan itu adalah hutan adat Kajang. Hutan adat Kajang seluas 331,17 hektar itu, masih diklaim milik negara dengan status hutan produksi terbatas (HPT) sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1990-an.

Status HPT ini, sudah barang tentu hutan itu suatu saat akan dieksploitasi atas nama pembangunan. Karena hutan itu menjadi kewenangan masyarakat adat Kajang, bagi siapa saja yang masuk dikenakan denda adat. Hutan ini merupakan hutan larangan yang dikelola Ammatoa.

Ihwal inilah yang berbenturan dengan kepentingan negara dan kerap menjadi masalah bagi masyarakat adat Kajang. Salah satu solusi, mendorong Perda Masyarakat Hukum Adat Kajang.

 

http://www.mongabay.co.id/2013/07/18/perjuangan-masyarakat-kajang-menjaga-hutan-yang-terancam-perkebunan-bagian-1/

http://www.mongabay.co.id/2013/07/19/perjuangan-masyarakat-kajang-menjaga-hutan-yang-terancam-perkebunan-bagian-2/

Related-Area: