Kesejahteraan Daerah
Perikanan Hidupi Seram Bagian Barat
Oleh: Fransiskus Pati Herin
YUARDI (21) cermat mencatat jumlah rit ikan yang dipikul tiap buruh dari perahu motor miliknya ke tempat penyimpanan sementara di Dusun Pelita Jaya, Desa Eti, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Pagi itu, November lalu, sebanyak 4,2 ton ikan cekalang didaratkan 14 buruh panggul.
Butuh waktu hampir dua jam, ikan-ikan itu bisa terangkut semua. Selain karena wadah yang dipakai hanyalah ember dengan kapasitas maksimal 35 kilogram (kg) ikan, jarak perahu dengan tempat penyimpanan sekitar 300 meter dengan medan jalan menanjak juga cukup menyulitkan buruh bergerak cepat. Jalan yang dilalui setapak.
”Satu ember dibayar Rp 10.000. Dari 14 orang yang memikul ikan hari ini, satu orang sebanyak 10 ember. Jadi pengeluaran untuk membayar mereka Rp 1,4 juta. Pagi ini, pemindahan ikan agak lambat karena pas air laut surut sehingga perahu tidak sampai ke sini,” ujar Yuardi, yang berdiri di bibir pantai itu.
Setelah selesai didaratkan sekitar pukul 08.30 waktu setempat, ikan-ikan itu langsung dijual kepada beberapa pembeli yang sudah menunggu sejak pukul 06.00. Menggunakan mobil bak terbuka, para pembeli kemudian memasarkannya lagi di Piru, ibu kota Seram Bagian Barat, yang berjarak lebih kurang 22 kilometer (km).
Bahkan, ada sebagian ikan yang langsung dibawa ke Ambon menggunakan kendaraan darat dan dilanjutkan dengan penyeberangan laut. Total waktu perjalanan dari Pelita Jaya menuju Ambon paling cepat lima jam.
Yuardi memperkirakan, penghasilan yang diperoleh hari itu sekitar Rp 15 juta. Setelah dikurangi biaya operasional dan ongkos buruh panggul, keuntungan bersih yang ia raup lebih kurang 12 juta.
Begitulah roda bisnis di dusun berjalan, yang oleh masyarakat Seram Bagian Barat disebut tempat pendaratan ikan Pelita Jaya. Kendati dinamakan tempat pendaratan ikan, tidak ada sarana dan prasarana penunjang layaknya tempat pendaratan ikan di daerah lain. Lebih tepat menyebut Pelita Jaya adalah kampung nelayan, sebab hampir 80 persen dari 73 keluarga di dusun itu adalah nelayan.
Sektor perikanan merupakan urat nadi perekonomian masyarakat setempat. Selain memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, uang hasil tangkapan mereka gunakan untuk membiayai pendidikan anak-anak, membangun rumah, dan membeli kendaraan. Sebagian besar rumah penduduk di dusun itu permanen.
Nana Deki (52), nelayan, menuturkan, jika harga ikan melambung, ia bisa mendapatkan keuntungan bersih sekitar Rp 5 juta dalam satu hari. Seperti nelayan tradisional lainnya, penghasilan Nana pun pasang-surut.
Perahu motor miliknya, dengan kekuatan mesin hanya 20 tenaga kuda (PK) berikut dengan peralatan tangkap seadanya, sering didaratkan ketika cuaca buruk. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga pada masa-masa itu, ia menggunakan uang tabungan. Jika cuaca buruk berlangsung lama, mereka terpaksa berutang.
Dedi Suhardi (54), nelayan lainnya, mengatakan, keuntungan bersih yang ia dapatkan bisa mencapai Rp 20 juta per hari. Dengan hasil itu, ia bisa menyekolahkan anaknya hingga ke bangku perguruan tinggi di Ambon. ”Kalau rajin dan mempunyai peralatan memadai, nelayan di daerah ini bisa kaya,” ujar pria yang berasal dari Pulau Jawa itu.
Namun, Dedi juga mengungkapkan, banyak potensi laut di daerah itu dicuri nelayan asing, seperti Filipina dan Thailand. Dengan peralatan tangkap seadanya dan kapasitas kapal kecil, mereka kalah bersaing dengan nelayan asing. Kondisi itu semakin diperparah dengan lemahnya pengawasan otoritas terkait.
Secara geografis, kondisi Seram Bagian Barat sangat menjanjikan. Daerah itu memiliki luas 85,953,40 kilometer persegi, dengan daerah perairan laut 79.005 kilometer persegi atau lebih kurang 91,92 persen. Adapun panjang garis pantainya mencapai 719,20 kilometer.
Karena umumnya penduduk bermukim di pesisir, melaut sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Seram Bagian Barat. Dalam buku Seram Bagian Barat dalam Angka 2014 tercatat, tahun 2013, jumlah nelayan sebanyak 18.247 orang.
Jumlah produksi ikan di daerah mencapai 24.023 ton. Dari jumlah itu di antaranya 725,1 ton diekspor ke luar negeri, 4.272,5 ton dijual ke kabupaten terdekat, dan 14.786,3 ton dikonsumsi masyarakat Seram Bagian Barat. Sisanya 4.239,1 ton terbuang.
Jalur migrasi
Masudin Sangaji, akademisi dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Pattimura Ambon, mengatakan, pesisir Seram Bagian Barat merupakan jalur migrasi ikan tuna dari dan menuju Laut Banda. Potensi ikan tuna di pesisir itu tinggi.
Agar potensi dapat dioptimalkan, ungkap Masudin, pemerintah harus memberdayakan nelayan dengan mengorganisasi dan membantu mereka melalui pemberian sarana penangkapan yang memadai. Dengan begitu, hasil tangkapan jadi lebih banyak.
Jika diorganisasi secara baik, nelayan dapat menjalankan fungsi kontrol di perairan itu dari illegal fishing. Dengan jumlah nelayan yang begitu banyak, perairan kabupaten sepanjang 4 mil laut dari garis pantai dapat terpantau dengan baik.
Dari sisi pasca penangkapan, lanjut Masudin, pemerintah harus membantu nelayan untuk memasarkan dan membangun pabrik pengolahan ikan. Dengan begitu, tidak ada lagi ikan yang terbuang seperti tahun 2013 yang mencapai 4.239,1 ton.
”Ini membutuhkan kreativitas dari pemerintah, termasuk bekerja sama dengan investor perikanan. Jika dilakukan dengan baik, nelayan-nelayan di Seram Bagian Barat akan sejahtera,” kata Masudin.
Wakil Bupati Seram Bagian Barat La Ode Muhammad Husni mengatakan, pemerintah sedang mendesain rancangan pembangunan kawasan ekonomi khusus. Sejumlah lokasi sudah dipetakan menjadi daerah pengembangan industri pengolahan ikan, yang mulai dikerjakan pada tahun 2016.
Kendati demikian, pembangunan itu tidak mungkin rampung dalam waktu singkat, sebab terkendala anggaran. Saat ini, pemerintah masih fokus menyelesaikan infrastruktur dasar di daerah itu.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010414199
- Log in to post comments
- 336 reads