Kehutanan
Perambahan Rinjani Picu Banjir Bandang
MATARAM, KOMPAS — Banjir bandang yang melanda sejumlah desa di Lombok Timur, NTB, diduga kuat pemicunya perambahan hutan tanaman industri dekat kawasan Hutan Rinjani. Itu terindikasi dari pemberian surat izin menggarap yang dikeluarkan para kepala dusun dan kepala desa kepada masyarakat. Tiga tokoh masyarakat di antaranya kini dalam proses penyidikan pihak berwajib.
Kepala Dinas Kehutanan NTB Andi Pramaria, Jumat (7/2) sore, di Mataram, mengatakan, para tokoh yang diduga memberi izin itu tetap diselesaikan secara hukum mengingat aktivitas perambahan menyalahi aturan, termasuk surat keputusan Bupati Lombok Timur yang melarang pemberian surat izin menggarap (SIM) hutan tanaman industri (HTI) dan kawasan Hutan Rinjani (125.000 hektar).
Seperti diketahui, banjir bandang di Kecamatan Sambelia, Lombok Timur, 21 Januari, mengakibatkan lima desa terendam. Dari desa-desa yang berdekatan langsung dengan Hutan Rinjani, Desa Dara Kunci terparah dihantam banjir. Dari sekitar 5.000 hektar HTI, 200 hektar dirambah mulai Maret 2013.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Djuanda belum bisa mencarikan lahan pengganti bagi warga Kampung Sekejolang, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Kampung itu dikelilingi hutan lindung.
”Pembebasan kawasan enklave, terlebih yang berpenghuni, untuk sementara ditunda karena tidak ada anggaran. Kami tidak bisa memenuhi permintaan harga jual yang diajukan warga karena tidak sesuai dengan temuan tim penilai,” kata Imam Santoso, Kepala Balai Pengelolaan Taman Hutan Raya Djuanda. Kampung Sekejolang seluas 7,98 hektar adalah satu dari 10 blok enklave di taman itu. Total luas kawasan enklave adalah 26,12 hektar. Pengelola sudah membebaskan 11,36 hektar lahan tak berpenghuni. Kampung Sekejolang adalah satu-satunya kawasan enklave yang dihuni penduduk.
Tim penilai mendapati nilai tanah di kawasan itu Rp 500.000 per meter persegi. Masyarakat meminta nilai ganti Rp 1 juta per meter persegi. ”Harga tanah di sekitar sini sudah di atas Rp 1 juta per meter persegi. Kalau hanya dihargai Rp 500.000, di mana lagi kami mencari tempat tinggal,” kata Aep Aas Sutaryat (49), Ketua RW 009 Kampung Sekejolang.
Untung Aji Pramono, mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, Bandung, yang sedang meneliti di Sekejolang meminta warga dilibatkan dalam konservasi hutan. ”Penetapan kawasan sebagai hutan lindung justru memiskinkan warga. Warga yang semula leluasa berladang ditutup aksesnya,” katanya.
(RUL/HEI)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004639749
- Log in to post comments
- 133 reads