JAKARTA, KOMPAS — Apa pun alasannya, korupsi sama sekali tidak bisa dibenarkan. Berbagai alasan sosiologis, antropologis, hingga sejarah dan politik tidak dapat menjadi pembenar bagi siapa pun untuk menyalahgunakan uang negara demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Adriana Elisabeth, Selasa (18/3), mengatakan, meskipun Undang-Undang Otonomi Khusus (otsus) Papua memberi wewenang penuh kepada pemerintah daerah mengelola dana, penggunaannya tidak dapat dilakukan semaunya sendiri. Dana otsus dan dana lain yang dikucurkan untuk Papua harus dikelola secara optimal untuk memberi hasil maksimal dalam pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
”Pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi belum memberi banyak hasil. Jika dana yang ada dibagi-bagikan, meskipun dengan alasan lokal, hal itu tidak dapat dibenarkan. Perlu ada pengawasan ketat agar dana itu memperkuat pelayanan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat,” ujar Adriana.
Dosen Universitas Negeri Papua, Agus Sumule, mengatakan, praktik membagi-bagikan uang bantuan kepada warga tidak dapat dibenarkan. ”Dulu, masyarakat Papua berbondong-bondong ke kantor bupati sambil membawa proposal pada awal berlakunya otsus,” kata Agus.
Menurut dia, proposal yang diajukan sering bukan untuk kepentingan bersama, tetapi pribadi. ”Praktik tersebut hingga saat ini masih terjadi. Ketika Barnabas Suebu menjadi Gubernur Papua, ia mencoba menghentikan praktik itu dengan membuat program Respek, yaitu memberi dana Rp 100 juta ke kampung. Dana itu harus dikelola bersama oleh warga kampung, bukan pribadi. Dana tersebut kemudian tidak dilanjutkan,” lanjut Agus.
Berkaca dari praktik itu, baik Agus maupun Adriana tidak sependapat jika pemerintah memberikan tambahan dana taktis seperti yang diusulkan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Rizal Djalil. Sebelumnya, Rizal menyatakan, persoalan korupsi di Papua cukup rumit karena terkait soal sebab-akibat. Perlu dipikirkan adanya dana taktis akibat kemiskinan di Papua.
”Dari berbagai pengalaman yang ada, dana seperti otsus itu kerap kali menguap tanpa pertanggungjawaban jelas dan rawan dikorupsi. Lebih baik kebijakan seperti PNPM Mandiri atau pinjaman lunak lewat bank,” ucap Agus.
Teror pasca kritik gubernurMenurut dia, dengan perbankan, masyarakat diajarkan mengembalikan dana tersebut. ”Ini sejajar dengan pandangan budaya tentang big man atau orang besar yang murah hati pada masa lalu di Papua. Mereka tidak berikan bantuan cuma-cuma. Orang yang dibantu tetap harus mengembalikan uangnya,” kata Agus, yang menyayangkan pandangan tersebut dipelintir dengan pemberian dana tanpa pertanggungjawaban.
Dua pejabat eselon II di lingkup Pemerintah Provinsi Papua, yakni DW dan JW, yang pernah mangkir saat dipanggil Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua, Selasa, kembali mangkir. Keduanya sebelumnya dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi APBD 2011 untuk Komisi Pemilihan Umum Lany Jaya senilai Rp 3 miliar. ”Mereka akan kami jemput paksa jika tidak hadir pekan depan,” ujar Kepala Kejati Papua Eliezer S Maruli Hutagalung.
Menyusul kritikannya terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe yang dinilai melindungi DW dan JY, pakar hukum dari Universitas Cenderawasih, Jayapura, Yusak Reba, mendapat teror. Ada lima orang yang tidak dikenal mendatangi rumah Yusak pada Selasa. ”Mereka mengancam akan membakar rumah jika saya masih terus menyuarakan korupsi di Lany Jaya. Istri dan anak-anak saya sangat ketakutan dengan aksi teror tersebut,” kata Yusak, yang akan lapor ke polisi. (JOS/FLO).
sUMBER: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005534851
- Log in to post comments
- 157 reads