BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Penyembuhan Raga hingga Jiwa

Tanah Air
Penyembuhan Raga hingga Jiwa

Oleh: Videlis Jemali

Matahari baru saja tergelincir di balik rangkaian Gunung Gawalise di sisi barat Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sinar kuning keemasannya masih tersisa di tetumbuhan yang kering kerontang di tepi kali mati di Kelurahan Lasoani, Kecamatan Mantikulore, Kamis (16/10) sore itu.

Dengan wajah ceria, sekitar 150 warga, didominasi perempuan dan anak-anak, berdiri membentuk lingkaran di halaman satu rumah darurat. Suasana khidmat. Tak ada suara celetukan dari anak-anak sekalipun.

Mereka menatap lurus seorang lelaki renta yang keluar dari dalam rumah panggung itu dengan seikat ranting dedaunan di tangan kanan. Ia didampingi seorang lelaki lebih muda dan seorang ibu tua. Si lelaki membawa baki berisi air yang ditabur dengan daun pandan. Sementara si ibu memegang piring berisi beras berwarna kuning.

Makko (52), si lelaki renta itu, mencelupkan ikatan dedaunan ke dalam baki. Ia lalu memercikkan air ke kerumunan di depannya. Para warga menunduk. Mereka yang kebagian percikan air itu membiarkan titiknya meresap. Air tak dilap.

Tiga kali Makko mengelilingi lingkaran kerumunan warga. Tak terhitung berapa kali ia memercikkan air ke para warga. Siraman air itu disempurnakan dengan siraman bulir beras kuning. Dua baki air dihabiskan dalam ritual itu. Dua piring beras berwarna kuning juga ludes.

Setelah ritual itu rampung, warga berteriak girang. Sebagian menyalami Makko. Lebih banyak lagi memeluk lelaki kurus itu. Makko meneteskan air mata. ”Saya senang mendapat tugas memercikkan air kepada mereka,” ujarnya sambil menunjuk kerumunan yang mulai lepas.

Pemercikan air tersebut dalam bahasa Kaili, suku dominan di Sulawesi Tengah, disebut wempa. Ini salah satu episode dari ritual tolak bala, tolak penyakit, atau semacam penyembuhan massal yang disebut pompaura posunu rumpu. Pompaura berarti ’mengembalikan’, posunu artinya ’menggeser, menyingkirkan atau membersihkan’, dan rumpu dalam bahasa Indonesia berarti ’rumput atau kotoran’. Secara etimologis, pompaura posunu rumpu dapat diartikan ’membersihkan atau menyingkirkan kotoran atau rumput dan mengembalikan kepada pemilik’.
Dibersihkan

Masyarakat Kaili yakin, segala macam bencana, wabah penyakit, atau hal-hal buruk lain yang dialami manusia tak lepas dari tindakannya. Hal-hal buruk tersebut dibersihkan melalui sebuah upacara penyembuhan massal.

”Upacara ini bisa mencegah hal-hal yang kurang baik agar jangan sampai terjadi di sebuah kampung. Bisa juga untuk mengusir atau membersihkan warga kampung yang menderita sebuah penyakit. Satu orang yang kena sakit, semua ikut upacara, supaya tidak kena penyakit yang sama,” tutur Baharudin (74), tokoh adat Kelurahan Lasoani yang memimpin upacara.

Sebelum upacara wempa dilakukan, warga menyajikan berbagai hasil bumi di bawah pancangan empat tiang (palaka) setinggi 40 sentimeter. Sesajian ini dipersembahkan kepada leluhur. Harapannya agar leluhur turut merestui upacara penyembuhan warga kampung.

Sementara air yang dipakai dalam wempa ditimba dari sumur Mebere, yang tak pernah kekurangan debit sekalipun musim kemarau panjang. Di dekat sumur ini kokoh berdiri sebuah pohon beringin tua.

Pada masa mudanya, Baharudin adalah seorang yang bandel yang tak percaya pada kekuatan magis pompaura posunu rumpu. Suatu ketika, istrinya, Hadiana (72), jatuh sakit. Hampir seminggu di rumah sakit tak juga sembuh. ”Ada orangtua yang mengingatkan untuk coba diurus dengan adat, termasuk pompaura. Saya ikuti dan memang istri saya jadi sembuh,” ujar Baharudin.

Hadiana juga hadir dalam upacara itu. Meski sudah renta, ia tetap menyumbangkan tenaga dengan membuat sejumlah ketupat. Perempuan seusia dia turut meramaikan upacara dengan bergoyang sesuai tabuhan genderang sesaat sebelum wempa dimulai. Peserta bisa mengalami trans pada sesi ini. Ada dua irama genderang yang ditabuhkan, lambat dan cepat. ”Biasanya proses penyembuhan terjadi saat orang bergoyang ini,” ujar Baharudin.

Seusai wempa, para warga berduyun-duyun ke sekitar arena ”pohon buatan”. Di pohon ini digantungkan ketupat, sayuran, dan daging. Makanan (taki) ini disediakan secara swadaya oleh masyarakat. Hampir selama sekitar satu jam makanan dibiarkan menggantung, ditiup angin, diserahkan kepada alam. Setelah itu makanan dibagi kepada warga untuk disantap.

Warga Lasoani, mungkin juga warga lain di Sulawesi Tengah, melaksanakan pompaura posunu rumpu dua kali dalam setahun. Upacara dilaksanakan pada Mei dan Oktober, mulai Kamis sore hingga Jumat pagi.

Desy (28), misalnya, menyatakan dirinya selalu hadir dalam setiap upacara pompaura posunu rumpu yang dilangsungkan. ”Saya merasa ada tarikan dan panggilan yang kuat untuk ikut upacara ini,” ujarnya.

Sebagaimana upacara adat semumnya, pompaura posunu rumpu kaya akan simbol. Ada tiang persembahan, sesajian, air (untuk dipercikkan), makanan, dan musik tradisional. Paduan simbol ini diyakini mampu menghalau kampung dari bala, penyakit, dan bencana.

Namun, lebih dari itu, simbol-simbol ini melambangkan sebuah tahapan baru kehidupan manusia untuk menanggalkan sikap-sikap jahat. Pompaura posunu rumpu dapat ditafsirkan sebagai ritual penyembuhan jiwa manusia agar tidak mendatangkan bencana bagi kehidupan bersama. Atau kalau ada yang sudah telanjur jahat, upacara ini membebaskan manusia dari kejahatannya.

Di tengah maraknya penyakit sosial politik dalam bentuk korupsi, dari sebuah tanah lapang yang gersang, warga Lasoani menggelar ritual penyembuhan raga dan jiwa untuk Indonesia. Indonesia yang bebas dari penyakit.



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009736549

Related-Area: