BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Penjaga Pantai Binongko

Penjaga Pantai Binongko
Oleh: ICHWAN SUSANTO 0 KOMENTAR FACEBOOKTWITTER  
MENJADI guru Bahasa Inggris di SMP 3 Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dimanfaatkan Abdul Wahid untuk menanamkan nilai-nilai konservasi bagi murid-muridnya. Tidak hanya berteori, dia bersama teman-temannya juga rajin melindungi penyu dari ancaman perburuan telur di desanya.
Melalui wadah Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP), Abdul Wahid yang menjabat sebagai penjaga pantai pada masyarakat adat setempat ini membuat lokasi peneluran penyu beserta kolam-kolam pembesarannya di tepi pantai Desa Wali, Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi.
Alhasil, kata Wahid, selama lebih kurang dua tahun terakhir, sedikitnya 900 tukik dilepas ke perairan setempat.
”Satu di antaranya dilepas oleh Menteri Kehutanan (Zulkifli Hasan) di Pantai Patuno, Wangi-wangi (Wakatobi, Mei 2013),” cerita Wahid bernada bangga saat Kompas menginap di rumahnya pada pertengahan Januari lalu.
Sambil menikmati secangkir kopi dan sepiring sukun goreng, bapak satu putra itu meneruskan ceritanya tentang awal ketertarikannya menekuni dunia peneluran penyu dalam dua tahun terakhir.
Wahid mulai terlibat sebagai anggota dalam model desa konservasi pada tahun 2005, yang kini berubah menjadi SPKP. Wahid mengetahui bahwa penyu merupakan jenis satwa yang dilindungi oleh negara.
Konsumsi telur penyu
Namun, di sisi lain, dia mengakui bahwa masyarakat di Binongko sangat gemar mengonsumsi telur penyu. ”Kalau daging penyu, warga di sini tidak makan,” kata Wahid, yang tahun ini berusia 42 tahun.
Mengonsumsi telur penyu telah menjadi kebiasaan turun-temurun bagi warga setempat. Bedanya, orangtua mereka mengambil telur penyu dalam satu lubang yang jumlahnya bisa lebih dari 100 butir. Mereka masih menyisakan beberapa telur penyu agar menetas.
”Tetapi, kini kita terlalu serakah. Semua telur penyu itu diambil untuk dimakan. Nanti bagaimana regenerasinya?” ujar Wahid.
Berangkat dari kondisi tersebut, dia mulai menyosialisasikan kepada warga setempat agar tak lagi memburu telur penyu.
Beruntung, usaha Wahid didukung perangkat aturan adat setempat yang memberikan sanksi denda adat sebesar Rp 50.000 untuk setiap telur penyu yang diambil guna dikonsumsi warga. Selain itu, dia juga mengerahkan warga sebagai ”mata-mata” untuk mengawasi pengambilan telur.
Caranya, setiap telur penyu yang dilaporkan warga dihargai Rp 1.000 per butir. Telur penyu itu diambil dari sarang untuk dipindahkan ke gundukan pasir yang telah disiapkan. Pemindahan telur bertujuan memudahkan pengawasan serta melindungi telur dari hewan pemangsa, seperti biawak.
Seluruh pantai
Bulan yang paling sibuk adalah April hingga Agustus. Pada masa itu, penyu-penyu setempat yang berjenis penyu sisik dan penyu hijau bertelur di hampir seluruh pantai di Binongko serta di tepi pantai seluruh kawasan Taman Nasional Wakatobi.
Dari telur penyu yang dikumpulkan dan ditetaskan, rata-rata keberhasilan hidup mencapai 60-80 persen. Masa inkubasi telur di dalam pasir adalah 60 hari.
Tukik-tukik tersebut membutuhkan pakan daging ikan yang telah dibersihkan dari duri-durinya. ”Melihat tukik di baskom seperti kita melihat bayi. Kalau saya datang, kepala tukik-tukik itu muncul ke permukaan seperti minta makan,” ungkap Wahid.
Pakan tersebut dia dapatkan dengan membeli ikan hasil melaut nelayan setempat. Uangnya merupakan dana operasional SPKP dari Balai Taman Nasional Wakatobi sebesar Rp 30 juta pada tahun 2013. Seluruh dana itu digunakan untuk memberi makan tukik serta upah tenaga mereka yang mengganti air di kolam dengan air bersih.
Tiga kolam berukuran relatif kecil, sekitar 2 meter x 2,5 meter, acap kali keruh seusai tukik-tukik memangsa daging yang telah disuwir. Untuk membersihkan kolam dan memberi makan tukik, Wahid dibantu dua anggota yang bekerja tanpa gaji.
Seusai mengajar pada siang hari atau pagi buta sebelum berangkat mengajar, Wahid menyempatkan diri ke kolam untuk mengecek kondisi tukik-tukik itu.
”Kalau saya pas ke luar pulau bersama anggota yang lain, istri saya yang ’bertugas’. Dia ikut membantu memberi makan tukik-tukik dan mengganti air kolam,” kata Wahid.
Lunturnya gotong royong
Sejauh ini, menurut Wahid, relatif masih sulit untuk mengajak partisipasi sebagian warga lain. Lunturnya gotong royong rupanya juga dialami warga setempat. Sejak masuknya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, warga jadi berorientasi pada jumlah bayaran saat diajak bekerja fisik.
Meski demikian, Wahid cukup sabar untuk merangkul masyarakat. Sedikit banyak, upaya konservasi yang dilakukannya telah membuahkan hasil. Saat orang snorkeling di pantai sekitar Desa Wali, mudah dijumpai dua hingga lima penyu bermain di pantai. Inilah salah satu pemandangan yang dicari wisatawan.
Selain getol dalam pelestarian penyu, Wahid juga setia mengemban fungsi sebagai ”corong” pemerintah untuk menyosialisasikan dan mengawasi perlindungan hewan. Di antaranya ketam kenari (kepiting kelapa) yang dalam bahasa lokal disebut tegasi.
Wahid bahkan pernah menghentikan empat warga yang dilihatnya membawa kepiting kenari. ”Saya bilang kepada mereka, itu hewan dilindungi dan terancam punah kalau terus-menerus diburu. Nanti anak-cucu kita tidak punya kesempatan untuk melihat atau mempelajarinya,” ceritanya.
Sedikit ”ancaman” juga dilayangkan Wahid sebagai penjaga pantai kepada masyarakat adat Binongko. Ini dia lakukan mengingat dalam peraturan adat setempat, penangkap ketam kenari diberi sanksi denda adat sebesar Rp 500.000 per ekor.
Kesabaran Wahid memberikan penyadaran serta adanya dukungan perangkat adat setempat, sedikit banyak, mampu berperan menjaga keberlangsungan Wakatobi sebagai cagar biosfer yang ditetapkan UNESCO pada tahun 2012.
Wakatobi merupakan cagar biosfer ke-8 bagi Indonesia dan menjadi salah satu dari 598 cagar biosfer dunia yang tersebar di 117 negara.
Statusnya sebagai cagar biosfer dan dikenal akan keunikan ekosistem baharinya membuat Wakatobi dikenal orang. Keistimewaan Wakatobi itu pula yang membuat Wahid merasa bangga.
Oleh karena itulah, Wahid bertekad menanamkan nilai-nilai pelestarian tersebut kepada anak-anak didiknya lewat berbagai kegiatan pelajaran muatan lokal.
—————————————————————————
Abdul Wahid
♦ Lahir:  Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 31 Desember 1972
♦ Pekerjaan: Guru Bahasa Inggris SMP 3 Binongko, Kabupaten Wakatobi
♦ Istri: Nur Aidah (36)
♦ Anak: Mohammad Arjun Wali
♦ Pendidikan: Kuliah di Universitas Terbuka di Kendari, 1994
♦ Pengalaman:
- Bekerja serabutan di Batam dan Singapura, 1994-1996
- Berkebun cokelat dan merica, juga  menjadi guru kontrak di Kendari, 1999-2001 
- Lulus tes guru di Wakatobi dan  hingga kini mengajar di SMP 3 Binongko, Wakatobi, 2004

MENJADI guru Bahasa Inggris di SMP 3 Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dimanfaatkan Abdul Wahid untuk menanamkan nilai-nilai konservasi bagi murid-muridnya. Tidak hanya berteori, dia bersama teman-temannya juga rajin melindungi penyu dari ancaman perburuan telur di desanya.Melalui wadah Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP), Abdul Wahid yang menjabat sebagai penjaga pantai pada masyarakat adat setempat ini membuat lokasi peneluran penyu beserta kolam-kolam pembesarannya di tepi pantai Desa Wali, Kecamatan Binongko, Kabupaten Wakatobi.

Alhasil, kata Wahid, selama lebih kurang dua tahun terakhir, sedikitnya 900 tukik dilepas ke perairan setempat.
”Satu di antaranya dilepas oleh Menteri Kehutanan (Zulkifli Hasan) di Pantai Patuno, Wangi-wangi (Wakatobi, Mei 2013),” cerita Wahid bernada bangga saat Kompas menginap di rumahnya pada pertengahan Januari lalu.

Sambil menikmati secangkir kopi dan sepiring sukun goreng, bapak satu putra itu meneruskan ceritanya tentang awal ketertarikannya menekuni dunia peneluran penyu dalam dua tahun terakhir.

Wahid mulai terlibat sebagai anggota dalam model desa konservasi pada tahun 2005, yang kini berubah menjadi SPKP. Wahid mengetahui bahwa penyu merupakan jenis satwa yang dilindungi oleh negara.

Konsumsi telur penyuNamun, di sisi lain, dia mengakui bahwa masyarakat di Binongko sangat gemar mengonsumsi telur penyu. ”Kalau daging penyu, warga di sini tidak makan,” kata Wahid, yang tahun ini berusia 42 tahun.

Mengonsumsi telur penyu telah menjadi kebiasaan turun-temurun bagi warga setempat. Bedanya, orangtua mereka mengambil telur penyu dalam satu lubang yang jumlahnya bisa lebih dari 100 butir. Mereka masih menyisakan beberapa telur penyu agar menetas.
”Tetapi, kini kita terlalu serakah. Semua telur penyu itu diambil untuk dimakan. Nanti bagaimana regenerasinya?” ujar Wahid.
Berangkat dari kondisi tersebut, dia mulai menyosialisasikan kepada warga setempat agar tak lagi memburu telur penyu.

Beruntung, usaha Wahid didukung perangkat aturan adat setempat yang memberikan sanksi denda adat sebesar Rp 50.000 untuk setiap telur penyu yang diambil guna dikonsumsi warga. Selain itu, dia juga mengerahkan warga sebagai ”mata-mata” untuk mengawasi pengambilan telur.

Caranya, setiap telur penyu yang dilaporkan warga dihargai Rp 1.000 per butir. Telur penyu itu diambil dari sarang untuk dipindahkan ke gundukan pasir yang telah disiapkan. Pemindahan telur bertujuan memudahkan pengawasan serta melindungi telur dari hewan pemangsa, seperti biawak.

Seluruh pantaiBulan yang paling sibuk adalah April hingga Agustus. Pada masa itu, penyu-penyu setempat yang berjenis penyu sisik dan penyu hijau bertelur di hampir seluruh pantai di Binongko serta di tepi pantai seluruh kawasan Taman Nasional Wakatobi.
Dari telur penyu yang dikumpulkan dan ditetaskan, rata-rata keberhasilan hidup mencapai 60-80 persen. Masa inkubasi telur di dalam pasir adalah 60 hari.

Tukik-tukik tersebut membutuhkan pakan daging ikan yang telah dibersihkan dari duri-durinya. ”Melihat tukik di baskom seperti kita melihat bayi. Kalau saya datang, kepala tukik-tukik itu muncul ke permukaan seperti minta makan,” ungkap Wahid.

Pakan tersebut dia dapatkan dengan membeli ikan hasil melaut nelayan setempat. Uangnya merupakan dana operasional SPKP dari Balai Taman Nasional Wakatobi sebesar Rp 30 juta pada tahun 2013. Seluruh dana itu digunakan untuk memberi makan tukik serta upah tenaga mereka yang mengganti air di kolam dengan air bersih.

Tiga kolam berukuran relatif kecil, sekitar 2 meter x 2,5 meter, acap kali keruh seusai tukik-tukik memangsa daging yang telah disuwir. Untuk membersihkan kolam dan memberi makan tukik, Wahid dibantu dua anggota yang bekerja tanpa gaji.
Seusai mengajar pada siang hari atau pagi buta sebelum berangkat mengajar, Wahid menyempatkan diri ke kolam untuk mengecek kondisi tukik-tukik itu.

”Kalau saya pas ke luar pulau bersama anggota yang lain, istri saya yang ’bertugas’. Dia ikut membantu memberi makan tukik-tukik dan mengganti air kolam,” kata Wahid.

Lunturnya gotong royongSejauh ini, menurut Wahid, relatif masih sulit untuk mengajak partisipasi sebagian warga lain. Lunturnya gotong royong rupanya juga dialami warga setempat. Sejak masuknya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, warga jadi berorientasi pada jumlah bayaran saat diajak bekerja fisik.

Meski demikian, Wahid cukup sabar untuk merangkul masyarakat. Sedikit banyak, upaya konservasi yang dilakukannya telah membuahkan hasil. Saat orang snorkeling di pantai sekitar Desa Wali, mudah dijumpai dua hingga lima penyu bermain di pantai. Inilah salah satu pemandangan yang dicari wisatawan.

Selain getol dalam pelestarian penyu, Wahid juga setia mengemban fungsi sebagai ”corong” pemerintah untuk menyosialisasikan dan mengawasi perlindungan hewan. Di antaranya ketam kenari (kepiting kelapa) yang dalam bahasa lokal disebut tegasi.

Wahid bahkan pernah menghentikan empat warga yang dilihatnya membawa kepiting kenari. ”Saya bilang kepada mereka, itu hewan dilindungi dan terancam punah kalau terus-menerus diburu. Nanti anak-cucu kita tidak punya kesempatan untuk melihat atau mempelajarinya,” ceritanya.

Sedikit ”ancaman” juga dilayangkan Wahid sebagai penjaga pantai kepada masyarakat adat Binongko. Ini dia lakukan mengingat dalam peraturan adat setempat, penangkap ketam kenari diberi sanksi denda adat sebesar Rp 500.000 per ekor.

Kesabaran Wahid memberikan penyadaran serta adanya dukungan perangkat adat setempat, sedikit banyak, mampu berperan menjaga keberlangsungan Wakatobi sebagai cagar biosfer yang ditetapkan UNESCO pada tahun 2012.

Wakatobi merupakan cagar biosfer ke-8 bagi Indonesia dan menjadi salah satu dari 598 cagar biosfer dunia yang tersebar di 117 negara.
Statusnya sebagai cagar biosfer dan dikenal akan keunikan ekosistem baharinya membuat Wakatobi dikenal orang. Keistimewaan Wakatobi itu pula yang membuat Wahid merasa bangga.

Oleh karena itulah, Wahid bertekad menanamkan nilai-nilai pelestarian tersebut kepada anak-anak didiknya lewat berbagai kegiatan pelajaran muatan lokal.
—————————————————————————

Abdul Wahid♦ Lahir:  Wakatobi, Sulawesi Tenggara, 31 Desember 1972♦ Pekerjaan: Guru Bahasa Inggris SMP 3 Binongko, Kabupaten Wakatobi♦ Istri: Nur Aidah (36)♦ Anak: Mohammad Arjun Wali♦ Pendidikan: Kuliah di Universitas Terbuka di Kendari, 1994♦ Pengalaman:- Bekerja serabutan di Batam dan Singapura, 1994-1996- Berkebun cokelat dan merica, juga  menjadi guru kontrak di Kendari, 1999-2001 - Lulus tes guru di Wakatobi dan  hingga kini mengajar di SMP 3 Binongko, Wakatobi, 2004

 

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004303423