Kebijakan otonomi khusus di Papua diharapkan berdampak lebih baik dibandingkan otsus periode sebelumnya. Kuncinya ada di kapasitas aparat sipil negara dalam perencanaan dan penganggaran.
Oleh SEKAR GANDHAWANGI
Otonomi khusus atau otsus yang berjalan pada 2001-2021 di Papua belum berdampak signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Undang-undang baru pun lahir dengan harapan otsus jilid kedua bisa berdampak lebih baik. Agar aturan baru dipahami dan dilaksanakan dengan baik, peningkatan kapasitas aparatur sipil negara juga dibutuhkan.
Dua dekade lalu, negara menganggarkan 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) untuk dana otsus di Tanah Papua. Dana ini untuk meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua (OAP). Adapun otsus diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Selang 20 tahun, tujuan otonomi khusus belum tercapai walau pemerintah pusat telah mengucurkan dana hingga triliunan rupiah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua, misalnya, hanya naik 0,3 persen dari 2002 ke 2020. Angka ini jadi cermin bagi layanan kesehatan dan pendidikan di Papua yang belum optimal.
Pemerintah lantas mengesahkan UU No 2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU baru ini dilengkapi sejumlah peraturan turunan, termasuk Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) 2021-2041. Rencana induk memuat tiga agenda utama pembangunan, yaitu Papua Sehat, Papua Cerdas, Papua Produktif.
Untuk mencapainya, sejumlah perubahan dilakukan di otsus jilid kedua ini, seperti menaikkan dana otsus dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari DAU. Adapun dana dari pusat tak lagi disalurkan ke pemerintah provinsi, tetapi langsung dialirkan ke pemerintah kabupaten/kota.
Ini berarti pemerintah kabupaten/kota bakal lebih fleksibel dalam menggunakan dana otsus. Program yang mereka rancang juga dinilai bakal lebih kontekstual untuk OAP. Walau demikian, kapasitas aparatur sipil negara (ASN) dalam perencanaan dan penganggaran masih jadi catatan.
Hal itu sesuai hasil studi ”Analisis Kebutuhan Peningkatan Layanan Dasar Pendidikan dan Kesehatan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat 2023”. Studi dilakukan di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Manokwari, dan Kabupaten Manokwari Selatan. Penelitian berlangsung pada Januari-April 2023 oleh tim yang terdiri dari Universitas Cenderawasih, Universitas Papua, dan perwakilan Dinas Sosial Papua.
Salah satu temuan studi adalah kapasitas ASN masih rendah. Buruknya kualitas perencanaan dan penganggaran berkontribusi besar ke buruknya tata kelola pelayanan publik di wilayah studi. Masalah ini juga muncul karena minimnya komitmen pemimpin daerah (Kompas.id,26/7/2023).
Kerja sama
Peningkatan kapasitas ASN dalam perencanaan dan penganggaran otsus pun dilakukan lewat program USAID Kolaborasi. Program ini berjalan selama lima tahun dan dilaksanakan melalui Wahana Visi Indonesia (WVI). Program tersebut membantu ASN dan masyarakat memahami kebijakan otsus baru.
”Penguatan harus di perencana. Perencana (yang baik) akan melahirkan perencanaan yang baik sehingga ada asumsi perubahan di otsus periode kedua,” kata pengajar USAID Kolaborasi sekaligus pejabat fungsional Perencana Madya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua, Jhon Boekorsjom, di Kabupaten Jayapura, Papua, Rabu (30/8/2023).
Menurut Chief of Party USAID Kolaborasi Caroline Tupamahu, nilai program ini 10 juta dollar AS. Dana didapat dari kerja sama antara Amerika Serikat dan Indonesia. Adapun Indonesia diwakili Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Adapun program peningkatan kapasitas ini mulanya dilakukan di Papua dan Papua Barat. Setelah ada empat provinsi tambahan (Papua Barat Daya, Papua Selatan, Papua Pegunungan, Papua Tengah), ada permintaan untuk memperluas cakupan program.
Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah Papua Barat Daya Rahman, peningkatan kapasitas ASN di perencanaan dan penganggaran otsus penting. Ini karena Papua Barat Daya adalah provinsi baru dengan SDM terbatas, baik dari kuantitas maupun kualitas. Pelatihan tersebut diharapkan membantu ASN paham cara mengelola dana otsus dengan baik.
Dosen akuntansi di Universitas Cendana, Adolf ZF Siahay, berharap pelatihan ASN bermuara ke penggunaan dana otsus yang lebih baik dari sebelumnya. Ia menekankan pentingnya memanfaatkan dana otsus jilid kedua untuk kesejahteraan OAP. Menurut dia, dana otsus jilid pertama banyak digunakan untuk pembangunan fisik yang menyasar ke umum, bukan OAP.
”Jika membuat SD atau puskesmas di kampung atau RT/RW yang banyak OAP, pasti akan terasa (dampak otsus),” katanya. ”Kalau mau (membangun fasilitas) untuk umum, bisa lewat DAK (dana alokasi khusus),” katanya.
leksibel
Ketua Satuan Pengawas Internal Dinas Kesehatan Mamberamo Raya, Papua, James Kristian Imbiri menilai, kebijakan otsus jilid kedua memberi fleksibilitas dalam mengelola dana. Selama ini, dinasnya terkendala akses untuk memberi layanan kesehatan ke warga. Adapun Mamberamo Raya, katanya, adalah kabupaten yang memiliki wilayah terisolasi di Provinsi Papua. Beberapa daerah tidak bisa dijangkau dengan transportasi darat, laut, ataupun udara.
”Program PMT (pemberian makanan tambahan) butuh budget kecil. per kepala Rp 1,5 juta-Rp 2 juta, tapi biaya transportasi bisa puluhan juta,” katanya yang juga peserta pelatihan peningkatan kapasitas ASN. ”Dengan adanya fleksibilitas dan ruang yang diberi dalam pengelolaan dana otsus, kami terbantu.”
Dana otsus juga bakal digunakan dinasnya untuk melaksanakan program Kartu Otsus Sehat. Kartu ini antara lain untuk menanggung layanan kesehatan yang tak tercakup di BPJS Kesehatan.
Adapun Direktur Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Papua (LP3AP) Siti Akmiati menambahkan, perencanaan dan penganggaran dana otsus mesti inklusif, termasuk bagi perempuan dan difabel. Menurut Koordinator Konsorsium GEDSI di Papua tersebut, pelaksanaan otsus jilid pertama belum sepenuhnya inklusif. Padahal, masih ada OAP perempuan dan difabel yang belum tersentuh bantuan dari otsus.
Editor:
ICHWAN SUSANTO
- Log in to post comments