BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pengendalian Taman Nasional Belum Optimal

konservasi
Pengendalian Taman Nasional Belum Optimal

Wakatobi, KOMPAS Kerusakan ekosistem Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara, sulit terkendali. Penyebab utama antara lain keterbatasan anggaran dan personel pemantau penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan. Itu sebabnya nelayan dilibatkan dalam patroli swadaya di kawasan konservasi seluas 1,39 juta hektar itu.

”Idealnya pengamanan dengan patroli dilakukan selama 20 hari dalam sebulan. Namun, saat ini hal itu masih susah dipenuhi,” kata Project Leader WWF Indonesia Proyek Wakatobi Sugiyanta, di Wakatobi, Rabu (14/5).

Diakui saat ini pengawasan turun. Hal itu antara lain karena sejak tahun 2008 anggaran pengawasan oleh WWF sebagian dialihkan untuk penguatan sektor perikanan dengan memberikan pelatihan manajemen penangkapan ikan berkualitas bagi nelayan.

Pada 2006-2009, WWF mengalokasikan dana Rp 600 juta per tahun untuk pengawasan Taman Nasional (TN) Wakatobi. Tahun ini, hanya Rp 300 juta. Dana itu antara lain untuk pengoperasian dua kapal cepat dan kapal Stasiun Patroli Apung Menami yang berbobot 76 gros ton untuk patroli keliling TN Wakatobi bersama sejumlah instansi.

Balai TN Wakatobi Seksi 3 juga mengalokasikan dana Rp 300 juta per tahun untuk pengawasan wilayah konservasi di sekitar Pulau Tomia dan Binongko. Meskipun demikian, menurut Kepala Seksi Balai TN Wakatobi Seksi 3 Siti Wahyuna, pengawasan hanya dilakukan selama 10 hari dalam satu bulan. ”Pengawasan dilakukan tujuh hari di darat dan tiga hari di laut,” ujar Siti.

Keterlibatan kelompok nelayan dalam pemantauan TN Wakatobi penting untuk kelestarian. Kelompok nelayan di Pulau Binongko sejak 2007 membentuk Forum Nelayan Binongko yang turut berpatroli mengamankan kawasan itu dari pengeboman dan pembiusan (penggunaan bahan kimia potasium untuk membuat ikan menjadi lemas). Menurut Ketua Adat La Rabu Mbaru, warga yang menangkap pengebom atau pembius memperoleh separuh dari denda. Separuhnya lagi diserahkan ke lembaga adat. Denda tertinggi bagi pengebom ikan Rp 25 juta.

Komunitas Nelayan Wangi-Wangi (Komanangi) di Pulau Wangi-Wangi menerapkan sistem kredit konservasi untuk membiayai patroli swadaya. Nelayan bisa meminjam uang tanpa bunga dengan jaminan berupa wilayah pengelolaan rumput laut, terumbu karang, dan pohon. ”Selama mengangsur, wilayah pengelolaan yang dijaminkan wajib dijaga setiap peminjam agar tidak dirusak,” ujar Bendahara Komanangi Lajuma. (DRA)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006643248