BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pendidikan bagi Pemulung di Kupang

Yoseph Orem BlikololongPendidikan bagi Pemulung di Kupang
Pendidikan bagi Pemulung di Kupang

Oleh: KORNELIS KEWA AMA

DALAM ketidakberdayaannya, Yoseph Orem Blikololong (55) masih memiliki keprihatinan terhadap nasib ratusan anak pemulung, pendorong gerobak di pasar, dan penjual koran di jalanan. Mereka adalah anak usia sekolah yang relatif tidak mendapat pendidikan sama sekali.

Dengan susah payah, Yoseph Orem membangun pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) untuk kelompok marjinal itu di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pendidikan di SMP Surya Mandala yang dibangun Orem, panggilan dia, sudah berlangsung tiga tahun. Kini, para siswa rombongan belajar kelas I sekolah itu sudah duduk di bangku kelas III.

Gedung SMP Surya Mandala hanya berupa bangunan tua yang terdiri atas dua ruangan. Orem mengontrak bangunan itu. ”Saya kemudian menggunakan tripleks untuk membagi ruangan yang ada menjadi empat kelas. Salah satu kelas itu digunakan sebagai ruang guru dan tiga kelas lainnya untuk rombongan belajar siswa,” kata Orem di Kupang, akhir Juli lalu.

SMP Surya Mandala didirikan Orem pada Juni 2011, dengan modal nekat. Sebelum sekolah itu hadir, dia lebih dulu menyosialisasikannya kepada kelompok anak pemulung, anak jalanan, anak tukang bangunan, pendorong gerobak di pasar, dan anak-anak penjual koran di jalanan.

”Mereka adalah anak-anak yang sudah lulus SD, tetapi karena keterbatasan biaya pendidikan, mereka terpaksa menjadi pemulung atau penjual koran. Waktu itu, jumlah calon siswa yang mendaftar 65 orang, tetapi yang masuk kelas 41 orang,” kata dia.
Kembali ke pasar

Tahun pertama, mereka begitu antusias masuk kelas. Namun, seusai jam pelajaran, anak-anak ini kembali ke pasar dan emperan toko atau jalanan umum. Mereka kembali menekuni profesi sebagai pemulung, pendorong gerobak di pasar, atau penjual koran.

Pada tahun pertama dan kedua, pihak sekolah tak memungut biaya pendidikan dari siswa, termasuk uang pendaftaran. Alasan dia, mereka berasal dari keluarga tidak mampu. Jika pihak sekolah memungut bayaran, siswa dipastikan tidak akan melanjutkan pendidikan lagi.

”Tetapi ini sekolah swasta. Saya butuh uang untuk membayar gaji sembilan guru yang berijazah strata satu, biaya operasional, dan sewa gedung sekolah. Semua itu saya upayakan dari uang pribadi, hasil menjual kardus bekas, kaleng, besi, botol air mineral bekas, sampah rumah tangga, dan barang rongsokan lain (yang menghasilkan uang),” kata Orem.

Hasil penjualan barang-barang bekas itu setiap bulan berkisar Rp 2 juta-Rp 3 juta dan dimanfaatkan untuk biaya operasional sekolah dan gaji guru. Hal ini berlangsung sejak 2011.

Orem merasa beruntung karena para guru di sekolah itu sebagian besar bekerja secara sukarela. Mereka memahami kondisi Yayasan Pendidikan Peten Ina (artinya ingat mama) yang ia dirikan. ”Alhasil, berapa pun honor yang diberi pihak yayasan untuk guru, mereka terima,” ucap dia.

Honor guru berkisar Rp 300.000-Rp 400.000 per bulan. Uang sebanyak itu tak layak disebut gaji, mengingat ketentuan upah minimum provinsi (UMP) di Kota Kupang saja Rp 1,3 juta per bulan.
Membuat asrama

Untuk biaya kontrak gedung selama tujuh tahun (2011-2017) pun, Orem mengaku belum mampu membayar sepenuhnya. Dia baru membayar sebagian uang kontrak gedung sekolah tersebut. Apabila pemilik gedung terus-menerus mendesak dia agar melunasi uang kontrakan itu, dia hanya bisa minta mereka mau bersabar.

”Tahun 2013, kami mendapat bantuan operasional sekolah dari Pemerintah Kota Kupang senilai Rp 70 juta. Uang itu kami manfaatkan untuk biaya operasional sekolah dan menggaji guru. Sementara untuk mengontrak gedung sekolah, saya usahakan dari hasil penjualan barang-barang bekas,” kata dia.

Kini, jumlah siswa kelas I, II, dan III SMP Surya Mandala tercatat 125 orang, termasuk 32 siswa yang baru mendaftar untuk tahun ajaran 2014/2015.

Meski kondisi keuangannya terbatas, Orem tetap punya mimpi membuat asrama bagi para siswa agar mereka bisa belajar dengan baik. Menurut dia, selama masih tinggal di pasar, emperan toko, dan jalanan, siswa tak bisa belajar dengan layak.

Sekitar 60 persen siswa sekolah itu masih tinggal tak menetap. Sementara 40 persen siswa lainnya tinggal bersama orangtua mereka.

”Pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya bersedia membantu membangun gedung sekolah sekaligus asrama, tetapi yayasan tidak punya tanah. Oleh karena itulah, kami masih bertahan di gedung kontrakan, setidaknya bisa sampai tahun 2017,” kata dia.
Siswa dijemput

SMP Surya Mandala memang terbuka untuk umum, tetapi sekolah ini memprioritaskan siswa dari kalangan keluarga tidak mampu. Sebagian besar siswa di sekolah itu berasal dari Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara yang berjarak 130-200 kilometer dari Kota Kupang.

Sebagian dari siswa sekolah tersebut datang atas kemauan sendiri, tetapi sebagian siswa lainnya harus dijemput Orem di terminal dan emperan toko di Soe, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan di Kefamenanu, Timor Tengah Utara.

Orem bercerita, pada 2013, ada lima anak gelandangan dari Soe yang mendaftar di sekolah itu. Karena pihak sekolah tak menyediakan pakaian seragam, mereka lalu mengambil drum bekas pengerjaan proyek pelabuhan rakyat di Namosaen, Kota Kupang. Hasil penjualan barang bekas tersebut mereka pakai untuk membeli seragam sekolah.

”Pada tahun pertama sekolah ini beroperasi, anak-anak belum memakai seragam. Seiring waktu, secara bertahap, para siswa mengadakan seragam sendiri,” kata Orem yang tak tamat S-1 karena ketiadaan biaya.

Menurut dia, sekitar 75 siswa sekolah ini masih bekerja sebagai pemulung. Seusai bersekolah, mereka mencari barang bekas untuk dijual. Hasilnya untuk mereka membeli seragam dan alat tulis. ”Motivasi dan semangat mereka untuk belajar relatif tinggi,” ujar dia.

Pada 2012, Orem mendirikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kasih Bunda dengan memanfaatkan halaman rumahnya. Para pengajar PAUD ini adalah istri Orem, Terfina Yungsih Maakh, dan tiga orang ibu dari siswa PAUD tersebut yang berpendidikan SMA.

”Mereka mengajar secara sukarela, tidak ada honornya. Siswa PAUD belajar di sini tanpa dipungut biaya,” kata Orem tentang PAUD yang memiliki sekitar 50 siswa ini.

Selain memiliki asrama, mimpi Orem lainnya adalah mendirikan sekolah mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, hingga SMA di tanah milik yayasan. ”Kalau ada tanah untuk membangun asrama dan sekolah bagi anak-anak marjinal ini, saya senang sekali,” ujar dia.
—————————————————————————
Yoseph Orem Blikololong
♦ Lahir: Desa Lamabaka, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), 30 Oktober 1959
♦ Pendidikan: Fakultas Hukum, Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, NTT (sampai semester X)  
♦ Istri: Terfina Yungsih Maakh
♦ Anak:
-  Hendrikus Laba Blikololong (25)
-  Bernadetha Blikololong (23)
- Laurens Labi Blikololong (21) 
♦ Pekerjaan: Ketua Yayasan Pendidikan Peten Ina




Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008083891

Related-Area: