BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pemuda Desa Membangun Kemandirian

PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT
Pemuda Desa Membangun Kemandirian
KHAERUL ANWAR
19 Januari 2017 Ikon komentar 0 komentar

Dunia pariwisata memiliki daya dobrak yang dapat memengaruhi perubahan pola pikir, cara pandang, dan memacu kreativitas masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Sebutlah generasi muda Dusun Pemotoh, Desa Aik Berik, Kecamatan Batukliang Utara, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, yang membuka bisnis susur tebing (river tubing).
Rumah pohon di Dusun Gangga, Desa Genggelang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, menjadi obyek wisata baru yang umumnya menarik pengunjung kalangan pelajar. Dari lokasi ini pengunjung dapat menyaksikan panorama alam sebagai latar belakang untuk berfoto ria dan berswafoto.
Kompas/Khaerul Anwar Rumah pohon di Dusun Gangga, Desa Genggelang, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, menjadi obyek wisata baru yang umumnya menarik pengunjung kalangan pelajar. Dari lokasi ini pengunjung dapat menyaksikan panorama alam sebagai latar belakang untuk berfoto ria dan berswafoto.

Selama zaman entah berantah, kami melihat dan mendengar air kali ini lewat. Saya browsing (menjelajah) ke internet, lihat Instagram, Facebook, air kali justru menjadi atraksi wisata," ujar Saeful (25), Koordinator Lombok River Tubing, pengelola susur sungai di dusun yang berjarak 40 kilometer timur Kota Mataram, ibu kota NTB, tersebut.

Berdasarkan pantauan dari media sosial itu, pada awal Januari 2016 Saeful melontarkan ide memanfaatkan Kali Pemotoh di dekat rumahnya kepada rekan-rekannya. Gagasan itu mendapat dukungan penuh warga, termasuk 150 generasi muda kini bergabung dalam kegiatan susur sungai. Kebetulan di dusun itu terbentuk Komunitas Tastura Rinjani dilengkapi divisi treking, konservasi, dan Masyarakat Perduli Sungai yang salah satu kegiatannya adalah susur sungai.

Untuk merealisasikan ide itu, pemuda dusun itu berburu informasi, referensi, dan seluk-beluk permainan, terutama soal keselamatan dan keamanan karena jenis permainan "di alam bebas" itu memiliki risiko tinggi.

Mereka kemudian iuran secara suka rela Rp 5.000-Rp 10.000 per anggota sehingga terkumpul Rp 5 juta yang digunakan untuk membeli peralatan, seperti ban dalam bekas yang kemudian dimodifikasi sedemikian rupa, helm, pelindung siku, pelindung lutut, dan pelampung.

Dengan dukungan warga, mereka bergotong royong membersihkan sungai dari semak-semak dan patahan-patahan ranting kayu penghalang untuk menyusur kali itu. Saat itu kedalaman sungai rata-rata 1 meter dengan debit air yang nyaris tidak berkurang sepanjang tahun. Air sungai itu bersumber dari tiga mata air di Hutan Pemotoh di kawasan Hutan Rinjani.

Panjang alur sungai untuk bermain "di alam bebas" ini sekitar 1 km yang memerlukan waktu 30 menit untuk ditelusuri. Seorang pemandu di depan dan satu di belakang mengawal peserta bermain. Di tiap titik yang berisiko, seperti jeram-jeram kecil, juga disiagakan seorang pemandu. Satu grup dibatasi delapan orang berikut kelengkapan susur sungai.

Kegiatan susur sungai dipublikasikan lewat media sosial. "Sabtu dan Minggu lalu baru masing-masing 50 tamu kami. Hari ini sudah dua grup yang datang, tiga grup lagi masih OTW (on the way/dalam perjalanan) ke sini," ujar Saeful, Sabtu, 29 Desember 2016.

Perhatian publik itu agaknya sudah diperhitungkan sebab dusun itu berjarak sekitar 4 km dari obyek wisata air terjun Benang Setukel dan Benang Kelambu. Wisatawan yang lokasi air terjun itu bisa singgah bermain susur sungai.

Para pelancong umumnya dari warga lokal Lombok; juga dari luar kota, seperti Jakarta, Bekasi, Bandung, Bangka-Belitung; hingga luar negeri, seperti Finlandia, Perancis, Perth (Australia), Malaysia, dan Arab Saudi. Tarif yang dikenakan Rp 30.000 per orang, dan pemasukan itu disisihkan untuk operasional, pemeliharaan/pembelian peralatan, konservasi sumber mata air, honor pemandu, serta membangun sebuah masjid.

"Teman-teman kami umumnya nganggur (setelah) lulus SMA. Lama-lama nganggur maunya jadi TKI (tenaga kerja Indonesia). Dengan kesibukan ini, mereka punya penghasilan walau sekadar untuk uang jajan dan membantu pemerintah mengurangi pengangguran, he-he-he," ujar Saeful, yang sejak Januari 2017 ini menerapkan asuransi bagi para tamunya.
Abangan (saluran irigasi) di Dusun Repok Pengenjek, Desa Gunung Agung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menjadi arena treking bagi para peseda, sekaligus tempat beristirahat menikmati udara sejuk dusun itu.

Swadaya

Multiganda pariwisata juga ditangkap generasi muda Dusun Gangga, Desa Genggelang, Lombok Utara. Judul usaha mereka adalah Rumah Pohon. Rumah pohon ini adalah pohon kayu yang dibuat seperti bale-bale, disediakan tempat berpijak berbahan kayu/bambu yang dipasang setinggi 1,5-2 meter. Tempat pijakan itu ada yang beratap ada yang tanpa atap, kemudian dilengkapi tangga.

Total ada delapan rumah pohon, tempat pengunjung berfoto dan ber-selfie-ria (swafoto), sekaligus cuci mata. Pasalnya, lokasi obyek wisata itu berada di atas bukit seluas 50 are, berlatar belakang panorama perkampungan penduduk, areal persawahan, kawasan hutan, sungai, dan perairan Selat Lombok.

Tempat ini mulai dikunjungi wisatawan pada Agustus 2016 setelah gambar panorama alam sekitar di dusun itu dipublikasikan melalui media sosial. Bahkan, kata Ketua Kelompok Sadar Wisata Dusun Gangga Puspawadi (29), ada enam orang Malaysia begitu turun pesawat langsung ke dusunnya.

"Dulunya kami manjat pohon-pohon ini supaya dapat sinyal penuh telepon seluler," ujar Puspawadi. Dusun Gangga memang jauh dari ibu kota NTB, berjarak 60 km utara Mataram.

Hari-hari biasa kunjungan wisatawan paling tidak 75 orang, pada hari libur (Sabtu dan Minggu) jumlah wisatawan di atas 1.000 orang. Pengunjung umumnya wisatawan lokal Lombok, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Malaysia.

Pengelola obyek wisata tersebut adalah anak muda, mulai dari siswa SD, SMP, dan SMA yang beberapa di antaranya bertugas sebagai juru parkir. Mereka bergantian menjadi juru parkir. Siswa yang masuk siang bertugas pada pagi hari, demikian pula sebaliknya.

Untuk pengadaan rumah pohon dan penataan lokasi, mereka iuran Rp 5.000-Rp 10.000 per anggota. Mereka juga bergotong royong memangkas pohon-pohon di sekitar lokasi sehingga pengunjung menikmati pemandangan panorama alam dengan leluasa.

Dari hasil parkir sepeda motor dan mobil Rp 5.000 per motor/mobil, mereka setor ke dusun Rp 500.000 sebulan, lalu disisihkan Rp 1 juta untuk pengelolaan obyek wisata, disumbangkan untuk pembangunan masjid Rp 500.000 sebulan, sisanya sekitar Rp 3 juta dibagi untuk anggota kelompok.

Saeful, Puspawadi, dan pemuda lainnya di Dusun Pemotoh dan Gangga adalah contoh warga yang tidak mau menjadi penonton dunia pariwisata NTB, khususnya Lombok yang meraih predikat Destinasi Pariwisata Halal. Mereka memandirikan dan membuka kesempatan kerja bagi rekan seusianya, dan kiprah mereka pun berkontribusi bagi pembangunan di kampung masing-masing..

Sumber: http://print.kompas.com/baca/nusantara/2017/01/19/Pemuda-Desa-Membangun-Kemandirian

Related-Area: