BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pelayanan Perintis Masih Terbatas

Pelayanan Perintis Masih Terbatas
Penerbangan Jamin Konektivitas

ENDE, KOMPAS — Masyarakat di pulau-pulau terpencil kawasan timur Indonesia masih terkendala keterbatasan infrastruktur dan sarana transportasi. Posisi yang terpencar, bergunung, dan faktor cuaca menghambat kelancaran akses warga sehingga mereka sangat membutuhkan penerbangan perintis.

Permasalahan ini terpantau di sejumlah tempat yang membutuhkan penerbangan perintis di Papua, Maluku, hingga Nusa Tenggara Timur. Kompas bersama dengan Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono menyusuri rute penerbangan ke beberapa pulau kecil di wilayah itu mulai Kamis hingga Minggu (31/8). Saat ini masih banyak pesawat perintis dibutuhkan karena baru sekitar 70 persen penerbangan perintis terpenuhi.

Pelayanan jasa transportasi pesawat perintis bersubsidi bagi masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman di Provinsi Papua masih terbatas. Dari 320 bandar udara, hanya 44 bandara yang melayani penerbangan perintis bersubsidi.

Wisawi Pahabol (39), pengguna jasa pesawat perintis asal Kabupaten Yahukimo, saat ditemui di Kota Jayapura, Papua, mengatakan, terbatasnya layanan penerbangan pesawat perintis bersubsidi menyebabkan dia sering menggunakan pesawat perintis komersial yang harganya sangat mahal.

”Biasanya kami memakai pesawat komersial jenis Cessna milik misionaris serta maskapai Susi Air dan maskapai Trigana Air yang tidak bersubsidi dengan kapasitas 12-16 penumpang. Satu penumpang bisa membayar Rp 2 juta untuk bepergian ke sejumlah distrik di Yahukimo, seperti Anggruk, Ninia, Holat, dan Sela. Harga pun bisa melonjak hingga Rp 5 juta pada hari libur atau kondisi cuaca kurang kondusif,” ujar
Wisawi.

Hal senada dituturkan Moses Nabelau (32), warga Kabupaten Intan Jaya, Papua. Menurut Moses, terbatasnya pesawat perintis bersubsidi menyebabkan warga dari pedalaman nekat menyewa pesawat perintis komersial dengan biaya Rp 40 juta agar bisa bepergian ke Nabire untuk membeli sejumlah barang kebutuhan pokok.

Sementara itu, dalam perjalanan yang diawali dari Ambon singgah di Banda Neira, Tual,
dan Saumlaki di wilayah Provinsi Maluku, dan kemudian singgah di Alor, Larantuka, Maumere, dan Ende di Provinsi Nusa Tenggara Timur, ditemukan kenyataan bahwa banyak warga berharap pada penerbangan perintis.

Penerbangan perintis terutama dibutuhkan untuk daerah kepulauan, seperti Banda Neira, Alor, Tual, dan Saumlaki.

Kepala Desa Tanah Rata di Pulau Banda Neira, Bimbo La Bow, berharap frekuensi penerbangan Aviastar dari Ambon ke Banda Neira yang sekarang tiga kali dalam seminggu dapat ditingkatkan.

”Soalnya, Banda Neira itu banyak memiliki potensi wisata, termasuk menyelam dan snorkeling. Semakin banyak penerbangan akan memperlancar arus wisatawan asing yang sebelumnya berwisata ke Bali dari Ambon ke sini,” kata Bimbo.
Nyaris terisolasi

Tokoh masyarakat Kabupaten Maluku Barat Daya, Kimdevits Markus, mengatakan, dimulainya penerbangan perintis di daerah tersebut sangat membantu masyarakat Maluku Barat Daya yang selama ini sulit melakukan perjalanan ke luar daerah. Daerah yang rentan dilanda gelombang tinggi itu nyaris terisolasi selama enam bulan sejak penerbangan perintis terhenti akhir tahun
lalu.

”Di daerah kami, kapal milik Pelni juga tidak melayani lagi. Penerbangan perintis ini membuka keterisolasian daerah kami,” tuturnya.

Menurut Kepala Bandara Mathilda Batlayeri di Saumlaki, Januaris Seralurin, warga berharap pemerintah dapat membuka rute baru penerbangan dari Saumlaki ke Kupang, Nusa Tenggara Timur, Timor Lorosae, atau ke Papua.

Untuk itu, pembangunan bandara baru sangat membantu warga. Hal ini seperti yang terjadi di Tual. Sejak Bandara KS Tubun di Langgur, Pula Kei, Maluku, beroperasi, jumlah penumpang kapal menyusut hingga 25 persen sehingga jumlah penumpang yang menumpuk dan antre pun berkurang.

Kepala Syahbandar Pelabuhan Tual Izuar Hamzah menjelaskan, meskipun terdapat 8 kapal perintis dan 3 kapal Pelni, itu belum mampu menampung semua penumpang. ”Beroperasinya Bandara KS Tubun sangat membantu warga meskipun pesawat masih untuk kelas menengah ke atas,” kata Izuar.

Bambang Susantono ketika dikonfirmasi mengatakan, setelah melihat beberapa bandara perintis, ia mengakui banyak warga yang masih berharap dan bergantung pada penerbangan perintis. Untuk itu, ia ingin melihat langsung dan memetakan permasalahan infrastruktur perhubungan setempat.

Ia juga ingin melihat potensi pengembangan sarana dan prasarana perhubungan untuk memicu lebih berkembangnya kegiatan ekonomi di kawasan timur Indonesia.

Bambang mendapat banyak masukan dan laporan dari kepala daerah setempat mengenai masalah angkutan laut dan udara. Salah satu yang menonjol adalah soal kebutuhan penerbangan perintis. (CAS/MHF/FLO/FRN)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008626340

Related-Area: