BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Nonggup, Kisah Petani Melawan Tengkulak

Koperasi
Nonggup, Kisah Petani Melawan Tengkulak

NONGGUP  bermakna kebersamaan. Arti kata yang berasal dari Kabupaten Boven Digoel, Papua, itu menjiwai petani karet di Kampung Ogenetan untuk mendirikan lembaga koperasi demi lepas dari jeratan utang tengkulak.

Akhir Oktober lalu sekitar pukul 10.00 WIT, di salah satu ruangan di kantor Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Papua, belasan orang yang hadir sebagai undangan tampak serius menatap sebuah layar proyektor.

Mereka sedang menyaksikan pemutaran film dokumenter berjudul Nonggup. Film berdurasi sekitar 20 menit itu diproduksi Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia dan Rumah Ide Makassar.

Pada awalnya, Nonggup menceritakan tentang kehidupan 197 warga di Kampung Ogenetan, kampung terpencil di Kabupaten Boven Digoel, sebelum masuknya gerakan koperasi.

Sebagian besar warga adalah petani karet di lahan seluas 36 hektar. Potensi karet yang begitu besar ternyata tak berimbas positif pada tingkat ekonomi warga setempat. Mereka hidup dalam jeratan utang tengkulak. Anak-anak mereka pun putus sekolah.

Tengkulak hanya menilai 1 kilogram karet dengan harga Rp 8.000. Harga itu jauh dari standar. Warga hanya pasrah menyerahkan hasil sadapan karena membutuhkan biaya untuk membayar utang dan membeli kebutuhan sehari-hari.

Akhirnya, pada 2009, Kepala Distrik Ininyandit Yan Karowa berinisiatif membentuk koperasi. Tujuannya agar koperasi menjadi tempat pemasaran hasil sadapan warga dengan harga yang layak.

Ia mengajak Frans Upessy dan Riswanto, yang merupakan fasilitator dari organisasi Wahana Visi Indonesia, yang bertugas di Ininyandit pada saat itu.

Sebanyak 29 warga resmi menjadi anggota pertama koperasi yang dinamai Nonggup. Seiring perjalanan waktu hingga 2014, tengkulak kehilangan seluruh anggotanya. Petani karet lebih memilih menjual hasil sadapan ke Koperasi Nonggup.
Belum menyentuh

Seusai pemutaran, Yan selaku salah satu pemeran film itu menuturkan, jumlah anggota koperasi Nonggup telah mencapai 400 orang dalam jangka lima tahun. Sisa hasil usaha (SHU) pun mencapai rata-rata Rp 300 juta per tahun.

”Kisah sukses di Ogenetan telah memotivasi warga di empat kampung lain, yang tergabung dalam Distrik Ininyandit, bergabung menjadi anggota Nonggup,” ujarnya.

Martapina Anggai, undangan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Cenderawasih, Jayapura, mengatakan, kisah di Ogenetan membuktikan bahwa kebijakan otonomi khusus yang diterapkan sejak 2001 belum menyentuh daerah pedalaman.

Ia mengharapkan agar kisah sukses koperasi di Ogenetan diteruskan kepada kalangan muda. ”Pemda setempat harus memikirkan pendidikan koperasi bagi pemuda-pemudi. Apabila mereka terlena dengan kesuksesan sesaat, kegiatan koperasi dapat terlupakan,” katanya.

Florens Manufandu, selaku Kepala Subbidang Pengembangan Ekonomi Keluarga Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemprov Papua, mengatakan, pihaknya mulai menaruh perhatian serius dengan menggelar pelatihan keterampilan berwirausaha bagi masyarakat kampung secara kontinu.

Selain itu, kata Florens, pembentukan Badan Usaha Kampung akan direalisasikan dalam waktu dekat ini. ”Dengan lembaga itu, warga diberikan pelatihan dan akses untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Selain itu, hasil produk mereka akan dipasarkan Badan Usaha Kampung,” ujarnya. (Fabio M Lopes Costa)



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009839478

Related-Area: