BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Nari - Keliling, Membaca Naskah Lontar Lombok

Nari
Keliling, Membaca Naskah Lontar Lombok

Oleh: KHAERUL ANWAR

ETNIS Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat, memiliki kekayaan seni budaya, di antaranya naskah lontar atau takepan yang masih banyak disimpan masyarakat. Keberadaan naskah ini melahirkan tradisi membaca naskah lontar, yang biasanya digelar pada acara tertentu. Salah satu pembaca takepan yang relatif populer adalah Nari alias Amak Nurmini atau Mini.

Nari yang berusia 70 tahun itu sampai sekarang kerap diundang warga di Lombok untuk meramaikan berbagai acara. Mereka yang punya hajatan biasanya meminta Nari membaca naskah lontar dalam berbagai acara seperti khitanan, ngurisang atau potong rambut pada anak balita, dan pernikahan.

”Sebagian besar desa di Lombok sudah saya datangi. Saya diundang warga untuk membaca naskah,” ucap Nari yang ketika ditemui tengah sesak napas karena penyakit asma yang dideritanya kambuh.

Akan tetapi, saat topik pembicaraan beralih dari kondisi kesehatannya ke masalah naskah lontar, energi Nari seakan langsung muncul. Dia begitu bersemangat bicara tentang naskah lontar.

”Kalau sedang tak enak badan, saya suka membaca naskah lontar yang mana saja. Setelah sekitar dua jam kemudian, saya merasa sudah sehat,” kata Nari bersemangat.

Seakan ingin menunjukkan bahwa apa yang dia kemukakan memang benar adanya, Nari kemudian turun dari berugak (bale-bale). Dia kemudian berjalan ke kamarnya dan kembali duduk di berugak sambil menenteng beberapa koleksi takepan asli dan beberapa kertas fotokopi salinan naskah.

Takepan ini beraksara Jawa Kuno, Jawa, Bali, dan Sasak atau Jejawan yang merupakan adaptasi/turunan aksara Jawa Hanacaraka dan Bali. Bahasa yang digunakan dalam naskah itu di antaranya Jawa Madya. Isi naskah diceritakan dengan cara dilagukan (menembang), lalu diterjemahkan oleh seorang penerjemah ke dalam bahasa Sasak.
Dari lomba

Nari menekuni seni membaca naskah mulai tahun 1990. Ketika itu ada acara Lomba Memaos (membaca) Naskah Lontar yang diselenggarakan Museum Negeri Nusa Tenggara Barat (NTB). Oleh karena tidak bisa membaca aksara Jejawan, apalagi mengerti arti bahasa dalam naskah tersebut, Nari lalu menyalin aksaranya ke dalam huruf Latin dibantu Papuk Nep yang mahir membaca aksara dan mengartikan bahasa Jawa Madya.

Untuk ”mengelabui” tim juri saat lomba, Nari membuka naskah asli meski sebenarnya yang dia baca adalah salinan naskah yang ditulis dalam huruf Latin. Hasilnya, Nari meraih juara kedua serta berhak atas penghargaan berupa sejumlah uang dan piala. Sejak itulah dia bertekad untuk belajar menulis dan memahami aksara Jejawan dan bahasa Jawa Madya.

Apalagi secara moril Nari juga merasa ”malu” kepada khalayak, karena sang ayah, H Ahmad Gani, adalah seniman tradisi. Ayahnya adalah pemain gamelan yang juga menekuni naskah lontar.

Nari lalu berguru kepada beberapa teman sekampung. Dia juga menimba ilmu ke Lombok Tengah. Sebagai imbal jasa kepada sang guru, dia biasanya membawakan buah tangan, seperti sebotol minyak goreng.

Selain rajin berguru, Nari juga mengasah keterampilan membaca naskah lontar secara otodidak. Dia merasa beruntung karena memiliki puluhan naskah asli peninggalan sang ayah.

Beberapa naskah asli yang dia miliki adalah takepan Puspakerma, Rengganis, Doyan Neda, Tapel Adam, Tanjung Muluk, Tanjung Bangse, dan Ante Boga. Di samping itu, Nari juga mempunyai salinan naskah yang ditulis di atas kertas, seperti Langit Gita, Babad Praya, Indarjaya, Bangbari, Hikayat Ukur, dan Medang Sekar.
Meminjamkan

Dengan persiapan yang lebih matang, Nari kembali mengikuti lomba yang sama di Museum Negeri NTB pada 1992. Kali ini dia berhasil menjadi juara pertama. Hal itu membuat dia bertekad menekuni seni membaca naskah dan berharap setiap desa memiliki setidaknya seorang warga yang mengikuti jejaknya.

Untuk itulah Nari bersedia meminjamkan naskah-naskah lama koleksi pribadinya kepada rekan-rekan di kampung lain. Dia mengaku tak kapok meski diakuinya ada naskah yang tidak kembali.

”Seperti naskah lontar Bidak Sekar, tidak kembali lagi. Waktu saya tanya ke peminjamnya, dia bilang sudah dijual,” cerita Nari, anak pasangan H Ahmad Gani dan Icah ini, pasrah.

Adanya naskah lontar yang berpindah tangan kemudian justru mendorong dia untuk menularkan ilmunya kepada anak muda di kampungnya, Dusun Pelulan, Desa Kuripan Utara, Kecamatan Kuripan, Lombok Barat. Tahun 1995 Nari membuka ”kursus” gratis bagi siswa SD, SMP, dan SMA sekampung.

Lewat cara itu ia berharap kandungan naskah lontar yang antara lain berisi ajaran akhlak, cerita, falsafah, upacara adat, keagamaan, dan solidaritas sosial bisa menjadi referensi penting bagi generasi muda.

”Biar isi naskah lontar itu tetap ada, tidak tergerus kemajuan teknologi informasi dan komunikasi,” ujarnya.

Sekali seminggu para murid belajar teknik nembang, menulis aksara Jejawan, dan belajar bahasa Jawa Madya. Agar mereka tertarik mendalami naskah lontar, Nari pun merogoh koceknya.

Seusai belajar naskah lontar, dia suka membagikan kelereng atau menyiapkan penganan bagi anak asuhnya. Alhasil, dari 15 siswa, empat orang telah mahir nembang, menulis aksara, dan menerjemahkan bahasa Jawa Madya. Siswa lainnya pun sudah bisa menulis aksara Jejawan.

Nari yang hanya mengenyam pendidikan hingga kelas IV sekolah rakyat ini juga menjadi ”konsultan” bagi pembaca naskah lain yang menyalin naskah aksara Jejawan ke aksara Latin. Misalnya, kata ’seribupati’ dalam penulisan dipisah menjadi ’seri’-’bupati’ (sang bupati/pemimpin). Sebab, jika ditulis seribupati berarti ada 1.000 orang bupati.
Menghibur

Hari-hari Nari bisa dikatakan untuk mengabdi pada naskah kuno. Usia lanjut membuat dia tidak lagi bekerja di sawah. Namun, desakan ekonomi membuat dia terpaksa merelakan seperangkat gamelan dijual. Untuk kehidupan sehari-hari, dia dibantu ketiga anaknya.

Selain meladeni permintaan membaca naskah kuno di perhelatan, kadang Nari juga berkeliling kampung. Dia ngamen membaca naskah semampu kakinya melangkah.

Naskah yang dia baca disesuaikan permintaan si empunya hajat. Misalnya dalam acara perkawinan, biasanya dia membaca naskah Dewi Rengganis. Kisahnya tentang pedoman muda-mudi dalam memilih jodoh.

Sementara untuk acara ngurisang, dia suka membaca takepan Indarjaya, yang antara lain berisi kisah putri bisu yang kemudian bisa berbicara, lewat sapaan seorang pemuda.

Membaca naskah lontar biasanya dia lakukan mulai pukul 21.00 hingga menjelang azan Subuh. Duduk berjam-jam selaku pemaos atau pembaca mendatangkan kenikmatan tersendiri. Nari mengaku bisa menyimak alur cerita sekaligus menghibur khalayak lewat menembang.

”Saya tidak memasang tarif,” ujar Nari tentang bayaran yang dia dapat. Setiap kali tampil dia biasanya mengantongi Rp 250.000-Rp 500.000. Hasil itu dibaginya dengan seorang teman yang menjadi penerjemah.

 
—————————————————————————
Nari
♦ Nama lain:  Amak Nurmini
♦ Lahir:  Dusun Pelulan, Desa Kuripan Utara, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 70 tahun
♦ Anak:
- Nurmini
- Kertanah
- Saliman

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005793666