Musabah
Mengabdi sebagai Kepala Dusun
Oleh: KHAERUL ANWAR 0 Komentar FacebookTwitter
PENDIDIKAN formalnya hanya sampai lulus sekolah menengah pertama karena dia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya akibat ketiadaan biaya. Meski begitu, Musabah tetap dipercaya warga Dusun Mbung Pas Barat, Desa Sigerongan, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, untuk menjadi kepala dusun.
Musabah terpilih sebagai Kepala Dusun Mbung Pas Barat hingga tiga periode, yakni 1999-2005, 2006-2012, dan 2013- 2019. Warga dusun percaya kepada Musabah karena dia dinilai memiliki kepekaan dan solidaritas sosial terhadap kehidupan masyarakat. Sesuatu yang belakangan ini relatif ”langka” dimiliki para pemimpin.
Walaupun pendidikannya hanya sampai lulus SMP, Musabah (45) tahu bagaimana bersikap dan bertindak sebagai pemimpin.
”Siapa pun yang memegang jabatan publik, selain memerlukan totalitas dalam pengabdiannya, juga harus mau bersikap terbuka dan tanggap terhadap aspirasi warganya. Di situlah nilai keberhasilan seorang pemimpin, bukan karena dia mampu memenuhi target kuantitatif,” tutur Musabah.
Prinsip yang dia yakini tersebut dijalankannya secara konsisten. Misalnya, Musabah tidak segan-segan mendatangi sejumlah instansi pemerintah untuk ”membujuk” mereka agar menggelar program di Dusun Mbung Pas Barat.
Hasilnya, dusun itu dijadikan obyek program sanitas dan lingkungan, seperti pengadaan sumur gali, jamban keluarga, jamban keluarga bergulir, dan perbaikan rumah kumuh. Selama 2004-2007, tercatat 10 persen dari 325 keluarga atau 1.600 jiwa berkategori miskin rumahnya kini sudah memenuhi syarat kesehatan.
Atas keberhasilan itu, instansi lain beramai-ramai turut menggulirkan sejumlah program di Dusun Mbung Pas Barat, seperti usaha ternak sapi.
”Dulu, warga kami dominan bekerja sebagai buruh tani tulen, kini mereka rata-rata punya satu-dua sapi dengan jumlah kandang 43 unit,” ujar Musabah, anak pertama dari empat bersaudara pasangan Amak Rawi dan Inak Sunah.
Usaha peternakan sapi itu turut mendorong dinamika perekonomian warga yang umumnya berpenghasilan dari usaha budidaya ikan air tawar. Ketika harga ikan cenderung stagnan, sedangkan harga pakan ikan atau pelet naik, Musabah pun risau.
”Budidaya ikan itu penghasilan utama warga. Kalau mereka merugi, lalu bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari?” ujarnya.
Musabah kemudian meminta dinas perikanan turun tangan dengan memberikan pendidikan dan pelatihan pembuatan pelet serta bantuan peralatan. Namun, pelet buatan warga itu kurang merangsang ikan untuk memakannya. Mereka tetap membutuhkan pakan ikan produk luar daerah.
Meski tetap harus membeli pelet dari pihak lain, warga masih bisa mendapat keuntungan dari budidaya ikan air tawar ini. Pada hari biasa, mereka bisa mendapat pemasukan sekitar Rp 200.000.
Kritis
Selaku ujung tombak dalam hierarki pemerintahan, Musabah berusaha tetap bersikap kritis ketika menerima program dari instansi terkait untuk dusunnya. Misalnya, saat Kantor Aset Daerah (KAD) melakukan penertiban dan pendataan aset tanah daerah.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Musabah bersurat kepada KAD agar diberi data riil guna melindungi aset dusun dari upaya klaim sementara kalangan dan hak warga mendapat informasi.
Namun, permintaannya itu tidak direspons. Musabah pun mengadukan persoalan tersebut kepada Komisi Informasi. Lewat persidangan, Musabah kalah karena pengaduan awal dilakukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sementara Musabah menindaklanjutinya tanpa surat kuasa dari BPD meski BPD yang menunjuk dia melanjutkan laporan tersebut.
Walaupun kalah dalam persidangan, Musabah justru mendapat penghargaan dari Komisi Informasi. Ini mengingat untuk pertama kali seorang warga yang secara pribadi berjuang demi mendapatkan hak keterbukaan atas informasi publik.
”Biasanya, pihak yang mau repot- repot melapor hal seperti ini adalah lembaga swadaya masyarakat ataupun institusi,” kata Musabah.
Langka
Belakangan ini, ketika banyak kalangan lebih mementingkan diri sendiri ataupun kelompoknya, Musabah boleh dikatakan seperti ”manusia langka”. Dia ikhlas merogoh kocek pribadi, antara lain dari gaji bulanannya sebesar Rp 500.000, untuk ongkos transportasi bagi ibu hamil dan harus melahirkan di puskesmas.
Dia juga turut mengurus persyaratan administrasi agar warga dusunnya mendapat pelayanan kesehatan gratis melalui fasilitas Jaminan Kesehatan.
Tahun 2013, Musabah membantu 219 pasangan mendapatkan akta nikah melalui proses sidang atau isbat nikah. Dia juga mendampingi dua warga dusun yang berurusan dengan polisi karena dituduh menjadi pencuri dan penadah. Mereka kemudian dibebaskan karena tidak ditemukan cukup bukti secara hukum.
Dia juga terlibat dalam penyelesaian persoalan pada tingkat dusun. Sekadar contoh, apabila dua warga (laki-laki ataupun perempuan) berkelahi, orang yang terbukti bersalah, seperti memukul terlebih dahulu, dikenai denda sebesar Rp 250.000.
Model penyelesaian seperti ini acap kali dibuat guyonan oleh kalangan anak muda. ”Ada anak muda yang pura-pura menyodorkan wajahnya agar ditempeleng oleh temannya biar ’korban’ dapat denda Rp 250.000,” tutur Musabah kalem.
Bagaimanapun, faktanya, aturan sederhana ini dapat menimbulkan efek jera bagi warga, misalnya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga, seperti suami memukul istrinya. Jika kondisi tersebut masih membuat ”nyaman” si suami, Musabah pun melaporkannya kepada pihak berwajib.
”Kalau (peristiwa) itu sudah sering terjadi, saya laporkan kepada penegak hukum,” ujarnya.
Perhatian Musabah kepada warga dusun terinspirasi dari pengalaman pribadinya. Sekitar tahun 1993, istrinya sakit dan berobat ke puskesmas. Namun, mereka mendapat perlakuan kurang simpati dari petugas. Pengalaman tersebut memperkuat tekad Musabah mengabdikan diri bagi warga.
Dia banyak belajar guna memperkaya wawasan. Apalagi, mantan ketua rukun tetangga ini sadar bahwa pendidikan formalnya hanya tamat SMP. Jadilah Musabah aktif mengikuti pertemuan, diskusi, dan sejumlah seminar.
”Selulus SMP, saya pengin melanjutkan ke sekolah guru olahraga. Tetapi, karena tak punya biaya, saya menawarkan diri menjadi pembantu di rumah seorang guru. Imbalan upah sebagai pembantu saya gunakan untuk biaya sekolah. Tetapi saya gagal,” cerita Musabah yang semasa kanak- kanak membantu ayahnya mengumpulkan kayu di hutan untuk dijadikan arang.
—————————————————————————
Musabah
♦ Lahir: di Dusun Mbung Pas Barat, Desa Sigerongan, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 1969
♦ Istri: Sumiati
♦ Anak:
- M Syarif Hidayat
- Kurnia Agustini
♦ Pendidikan:
- SD Negeri 1 Sigerongan, Lombok Barat, lulus 1984
- SMP Negeri 4 Mataram, Lombok Barat, lulus 1987
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000004528140
- Log in to post comments
- 170 reads