BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Merawat ODHA di Jayapura

Agustinus Adil OFM
Merawat ODHA di Jayapura

Oleh: Fabio Maria Lopes Costa 0 Komentar FacebookTwitter 

KISAH Fransiskus Asisi, biarawan di Italia yang merawat komunitas penderita kusta yang tersisihkan dari keluarganya, menjadi inspirasi bagi Agustinus Adil OFM (49). Pria dari ujung barat Pulau Flores ini membaktikan hidupnya untuk merawat para pengidap HIV/AIDS di Kota Jayapura, Papua, dengan sukarela selama 10 tahun terakhir.

Agus, begitu sapaan dia, tampak serius mengetik laporan di laptop saat ditemui di Rumah Surya Kasih Waena. Tempat yang terletak di Distrik Heram, Jayapura, ini memiliki 12 kamar. Di sinilah Agus tinggal dan memberikan pelayanan secara gratis kepada sekitar 170 pasien HIV/AIDS.

Sebelumnya, Agus bekerja di sebuah rumah kontrakan yang hanya bisa menampung empat pasien. Bantuan dari Juliana, donatur asal Australia, membuat pembangunan Rumah Surya Kasih Waena dapat terwujud.

Agus bercerita, Juliana berniat membantu dia setelah datang dan melihat langsung kondisi rumah kontrakan itu pada 2007. Kepada tamunya itu, Agus mengatakan, sebenarnya masih banyak orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang perlu dirawat. Namun, keterbatasan tempat membuat dia tak bisa melayani mereka.

”Tidak lama setelah Juliana kembali ke negaranya, datang kiriman bantuan dana sekitar Rp 2 miliar. Saya bersyukur. Ini saya rasakan sebagai mukjizat Tuhan,” kata Agus.

Tentang keterlibatan dia dengan ODHA, pria asal Manggarai Barat ini mengatakan, kepeduliannya itu dilatarbelakangi kenyataan betapa minim informasi tentang penyebaran penyakit yang menyerang daya tahan tubuh tersebut.

Akibatnya, Agus menemukan banyak kasus baru HIV/AIDS di tempat kerjanya, Rumah Sakit Dian Harapan, Jayapura. Dalam sebulan rata-rata Agus menemukan 10 pengidap HIV/ AIDS.

Alasan lain yang memotivasi dia merawat ODHA karena mayoritas pengidap HIV/AIDS biasanya mendapat perlakuan diskriminatif. Bahkan, perlakuan itu pun mereka terima dari lingkungan keluarganya sendiri.

”Tahun 2003 saya menemukan banyak penderita HIV/AIDS yang ditinggalkan begitu saja oleh keluarganya di rumah sakit. Saya pernah merawat seorang ibu yang diusir anaknya karena ibu itu menderita AIDS. Padahal, waktu itu kondisi sang ibu sudah mencapai stadium empat,” cerita Agus.

Sejak waktu itulah dia mengikrarkan diri untuk berusaha menghapus perlakuan diskriminasi bagi ODHA. Seusai pulang kerja pada sore hari, Agus memberikan perawatan dan pendampingan pada pasien ODHA.

Selain itu, Agus pun berusaha mendekati keluarga pasien, menjelaskan tentang penyakit yang diderita anggota keluarga tersebut, dan agar mereka tak bersikap paranoid terhadap HIV/AIDS.

”Setiap hari saya menyediakan waktu pendampingan bagi seorang pasien. Sering hati saya miris saat menemukan kamar mereka (pasien) ditempatkan terpisah dari sanak saudaranya,” ujar Agus.

Pada setiap kunjungan, Agus menyiapkan waktu khusus untuk memberikan informasi yang benar tentang penularan HIV kepada keluarga pasien yang dirawatnya.

”Saya memotivasi mereka agar tidak menjauhi dan terus memberikan kasih sayang untuk anggota keluarga yang terkena HIV,” kata dia.
Masa orientasi

Agus bercerita, cinta pertamanya pada profesi keperawatan muncul saat mengikuti kegiatan orientasi. Waktu itu dia hendak masuk ke biara Fransiskan yang terletak di wilayah Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, tahun 1991.

Ketika itu, Agus mengikuti orientasi di wilayah Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Di tempat tersebut ia menemukan banyak permasalahan kesehatan yang tak tertangani dengan baik. Misalnya, penyakit malaria dan gizi buruk yang merenggut nyawa banyak warga di daerah itu.

Tahun 1993 Agus memperdalam ilmu keperawatan dengan belajar di Sekolah Perawat Kesehatan di Rangkasbitung, Banten. Selama empat tahun dia mengenyam pendidikan di tempat itu.

Kembali ke Jayapura, dia mengabdi sebagai perawat di Rumah Sakit Dian Harapan pada 1997. Sejak saat itulah Agus merawat pasien dengan berbagai penyakit. Enam tahun kemudian, dia baru memfokuskan pengabdiannya bagi ODHA.

Banyak kendala yang dia hadapi saat merawat ODHA selama sekitar satu dekade ini. Ini misalnya pasien yang rewel dan menuntut banyak perhatian.

”Sebenarnya itu karena mereka kesepian. Mereka membutuhkan perhatian ekstra. Kami pun berusaha memberikan perawatan yang optimal walaupun hanya saya dan seorang perawat yang bertugas di rumah itu,” kata dia.

Terkadang pasien merasa jenuh dan depresi karena harus menghadapi rutinitas yang sama setiap hari. Agus lalu mengajak mereka untuk bersikap terbuka, menyampaikan isi hati lewat diskusi bersama.

”Diskusi bisa membuat kami saling menguatkan. Diskusi biasanya kami lakukan pada waktu makan bersama,” kata dia.

Terkait biaya hidup pasien, Agus bercerita, pada awal berdirinya Rumah Sumber Kasih tahun 2007, dana yang dikeluarkan sekitar Rp 25 juta per bulan.

Seiring dengan berjalannya waktu, upayanya mendapat perhatian berbagai kalangan. Bantuan dana dan bahan pangan pun datang dari donatur dan Pemerintah Provinsi Papua.

”Kini saya hanya mengeluarkan sekitar Rp 10 juta per bulan untuk kegiatan operasional tempat ini. Dana itu untuk menggaji perawat yang membantu saya,” ujar Agus.
Perubahan

Upaya sosialisasi yang gencar dilakukan Agus dari rumah ke rumah pengidap ODHA mulai mendatangkan perubahan signifikan dalam dua tahun ini.

Banyak warga yang telah menyadari penyebaran virus HIV/AIDS bukan lewat udara dan memakai alat yang digunakan penyandang ODHA, seperti gelas dan sendok makan.

”Banyak warga yang tidak takut lagi merawat anggota keluarganya yang menjadi penyandang ODHA. Mereka mau memberi makan dan memandikan pasien. Dulu, dua upaya itu rasanya mustahil terjadi karena persepsi yang negatif tentang penyakit HIV/AIDS,” ujar Agus.

Atas upayanya selama ini, pada Januari 2014 Agus mendapat penghargaan Tokoh Peduli Bidang Kesehatan, khususnya HIV/AIDS, dari Gubernur Papua Lukas Enembe.

”Saya bangga karena upaya untuk menghilangkan diskriminasi bagi penderita HIV/AIDS tidak dianggap sebelah mata. Saya berharap semua ODHA di Kota Jayapura selalu menjaga kesehatan dan rajin meminum obatnya,” kata putra pasangan Wilhelmus Wahang dan Susana Gajong ini.
—————————————————————————
Agustinus Adil
♦ Lahir: Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), 28 Agustus 1964  
♦ Pendidikan:
- Sekolah Menengah Atas Widya Bakti, Manggarai Barat, NTT
- Sekolah Pendidikan Keperawatan Lebak, Rangkasbitung, Banten
♦ Pelatihan:
- Pelatihan Konselor HIV/AIDS di Jayapura, 2003
- Pelatihan Perawat Paliatif  di Surabaya, 2005

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005636290