Poso
Merajut Asa ”Sintuwu Maroso”
MENITI sudut-sudut pusat kota Poso, Sulawesi Tengah, masih dijumpai puing-puing rumah serta tempat ibadah yang pernah menjadi saksi brutalnya teror dan konflik antarwarga. Waktu berlalu, warga Kabupaten Poso kini benar-benar sadar, tak ada pemenang dari sebuah perpecahan.
Dalam satu keniscayaan akan perbedaan, mereka mulai merajut damai di Bumi Sintuwu Maroso. Sintuwu Maroso dalam bahasa setempat berarti ikatan persaudaraan yang kuat. Setidaknya, rasa persaudaraan itu yang didapatkan 50 pesepeda dari berbagai latar belakang sosial dan profesi, peserta Kompas Jelajah Sepeda Manado-Makassar 2014, saat disambut Bupati Poso Piet Inkiriwang, Minggu malam.
Perwakilan pesepeda dikalungi untaian manik-manik dari kerang. Peserta juga dipersilakan meminum air nira dari dalam bambu. Semuanya melambangkan ikatan persaudaraan.
Persaudaraan seolah jadi kerinduan yang mendalam bagi semua warga Poso dari berbagai kalangan. Akibat konflik antaragama yang pecah pada 1999-2001, cukup lama warga merasa tidak aman dan tidak nyaman.
H Buhari Muslim, pemilik hotel di Poso, menuturkan, saat konflik melanda, tingkat kejahatan cukup tinggi. Sepeda motor yang diparkir di samping rumah bisa raib esok paginya. ”Namun, sekarang, sepeda motor diparkir tanpa dikunci pun dijamin tidak akan hilang,” ujarnya.
Warga dari latar belakang agama Islam ataupun Kristen terus diingatkan akan pentingnya menjaga perdamaian antarumat beragama. Muhammad Said (36), warga Kelurahan Moengko Baru, Kecamatan Poso Kota, menuturkan, di tingkat kelurahan sering diadakan pertemuan untuk membicarakan situasi masyarakat. ”Kami diingatkan oleh tokoh agama untuk selalu menjaga dan membina kehidupan damai,” ujarnya.
Menurut Pendeta Rifka Harami, pemimpin umat di Gereja Kristen Sulawesi Tengah Jemaat Peniel Poso, korban konflik yang pernah kehilangan saudara atau rumahnya pernah mengalami luka mendalam. Namun, kini luka itu berangsur pulih.
Tidak ada segregasi antarumat beragama asal Poso. Mereka saling mengunjungi saat Idul Fitri ataupun Natal.
”Bahkan pada malam takbiran tahun ini, konvoi sudah diperbolehkan melintasi permukiman warga Kristen. Padahal, tahun-tahun sebelumnya belum. Ini jadi tanda bahwa sebenarnya warga asli Poso punya jiwa persaudaraan kuat,” kata Rifka.
Piet Inkiriwang mengatakan, yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah jaminan keamanan dari aparat. ”Yang tersisa saat ini di Poso adalah konflik antara polisi dan kelompok sipil bersenjata atau teroris. Kalau masyarakat Poso sendiri sudah tidak ada masalah,” ujarnya.
Tanjakan panjang
Seperti halnya jalan terjal yang dihadapi warga Poso menyemai damai di tanah mereka, begitu pula dirasakan peserta pada etape kedelapan Kompas Jelajah Sepeda, Senin (25/8). Menempuh rute dari Poso hingga Pendolo sejauh 136 km, mereka dihadang rute terberat.
Pesepeda melintasi jalur yang didominasi tanjakan panjang berkelok-kelok. Jalur itu membelah perbukitan rimba raya Sulteng mulai dari Poso-Tentena-Pendolo. ”Ini jalur terberat di Sulawesi. Tanjakannya tidak menukik, tetapi sangat panjang,” kata road captain Agung Hartanto.
Pesepeda sempat beristirahat di tepian Danau Poso yang indah di Tentena untuk makan siang. Selepas Tentena, lintasan jalur semakin meninggi dengan sudut elevasi maksimal hingga 1.300 meter di atas permukaan laut. Mereka akhirnya sampai di Pendolo pada pukul 20.13.
Etape kesembilan, tim akan menempuh rute Pendolo-Tomoni dengan jarak tempuh 84 km.
(Gregorius M Finesso/ Dahlia Irawati/Videlis Jemali)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008518002
- Log in to post comments
- 187 reads