BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Meraih Kesempatan Bersama Sampah

Imas Suhartini
Meraih Kesempatan Bersama Sampah

Oleh: Cornelius Helmy

TIBA di tepi pantai nelayan Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pukul 09.00, Imas Suhartini (40) kalah cepat dengan ibu-ibu setempat. Sejak sekitar satu jam lalu, mereka sudah siap dengan sampah plastik beragam rupa dan ukuran di tangan masing-masing. Pada pertengahan Juli 2014 lalu, Imas untuk pertama kali menyeberang pulau, mempromosikan pemilahan dan pengolahan sampah.

Duduk dikelilingi ibu-ibu setempat di Labuan Bajo, Imas mulai menularkan ilmu yang dibawa dari rumahnya di Kampung Karamat, Desa Margamekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dia pamerkan satu per satu kerajinan berbahan sampah yang dianyam, dilipat, dan dirajut kepada mereka. Banyak pertanyaan lantas diluncurkan para ibu tersebut, membuat dia kewalahan tetapi hatinya senang.

Salah satu yang menarik perhatian para ibu di Labuan Bajo adalah hiasan kupu-kupu dari bungkus kopi. Dengan beberapa teknik lipatan dan guntingan sederhana, kupu-kupu plastik tersebut bisa berubah rupa tidak sampai 3 menit.

Tidak membutuhkan waktu lama pula, para peserta langsung mengikuti gerakan lincah jari-jari tangan Imas saat mengulangi pembuatan kupu-kupu yang bisa digunakan untuk menghiasi tas hingga bando itu.

Ketika tangan-tangan kreatif ibu-ibu kampung nelayan Labuan Bajo itu bekerja, Imas menanyakan alasan mereka begitu antusias. Jawaban mereka mengejutkannya. Rata-rata para ibu itu jengah dengan kondisi pantai yang penuh sampah, yang dihasilkan warga ataupun wisatawan.

”Pantai Labuan Bajo sungguh indah. Namun, sampahnya sungguh mengganggu. Saya beruntung hidup di lingkungan masyarakat yang mengerti bahaya sampah kalau dibuang sembarangan,” ujar Imas.

Hingga sekitar dua tahun lalu, Imas pernah mengalami hal serupa dengan para ibu di Labuan Bajo tersebut. Di sekitar tempat tinggalnya, sampah plastik berserakan. Dia mengakui pernah lalai membuang sampah tidak pada tempatnya.
Pemilahan

Tahun 2012, pola pikir Imas tentang sampah itu kemudian bertemu dengan Dwi Retnastuti, aktivis lingkungan dari Kota Bandung. Salah satu ilmu baru yang dia dapatkan adalah pemilahan sampah sejak dari setiap rumah
warga.

Untuk itu, dia sendiri membutuhkan tiga wadah berbeda untuk menempatkan sampah basah, sampah plastik yang bisa diolah, dan sampah plastik yang tidak bisa diolah.

”Sampah basah dijadikan kompos. Sampah plastik digunakan untuk bahan kerajinan. Hanya sampah yang tidak bisa digunakan yang lantas dibuang. Harapannya, tumpukan sampah bisa dikurangi sejak dari rumah tangga warga,” kata dia.

Imas juga belajar mengolah sampah plastik yang masih bisa digunakan. Awalnya, dia tidak menyangka bungkus sabun, minuman, hingga kantong plastik belanjaan bisa berubah rupa menjadi produk yang indah. Setelah dianyam, dirajut, dan dilipat, sampah bungkus bekas tersebut bisa menghasilkan rupiah.

Selepas pelatihan rampung, Imas tidak berhenti berkarya. Bersama 30 ibu kader Kampung Siaga Karamat, dia terus mempromosikan pemilahan dan pengolahan sampah. Bata terawang hingga keranjang sampah takakura, dan alat pemilah sampah lainnya, juga mereka bagikan untuk memudahkan aktivitas itu.

Semangat warga untuk menghargai sampah juga ”dibakar” lewat kebijakan pembelian sampah plastik. Sampah plastik yang dikumpulkan warga dihargai Rp 5.000 per kilogram untuk semua jenis. Perlahan hal itu bisa mengurangi kebiasaan warga yang membuang sampah sembarangan, sekaligus menjaga pasokan bahan baku kerajinan.

Akan tetapi, promosi tersebut tidak luput dari keraguan beberapa orang. Pernyataan bahwa hal itu hanya kegiatan sementara dan tidak akan banyak berpengaruh besar kerap dia dengar dari sebagian warga. Meskipun terdengar menyakitkan, Imas justru semakin gencar berpromosi.

Hasil kerja dia tidak sia-sia. Beberapa orang yang semula ragu dengan yang dikerjakannya kemudian ikut serta dan rajin memilah sampah dan membuat beragam kerajinan.

”Aktif di berbagai program kesejahteraan masyarakat ikut memudahkan saya dalam menyosialisasikan kegiatan ini,” ujar dia.
Diingatkan

Sebagai kader siaga bencana di Desa Margamekar, Imas kerap menyisipkan pentingnya memilah dan mengurangi debit sampah di tempat sampah atau tempat pemungutan akhir. Alarm bahaya banjir akibat saluran air yang mampat atau longsor sampah di Leuwigajah beberapa tahun lalu, kerap dia ingatkan kepada para warga.

Lama menjadi kader kesehatan, sejak 25 tahun lalu, juga membuat Imas mudah diterima masyarakat setempat. Dalam setiap kunjungan ke rumah warga, dia meminta warga tidak membuang sampah seenaknya.

Penekanan tersebut penting karena taruhannya fatal. Lingkungan yang kotor rentan membuat anak-anak terserang penyakit. Ketimbang mengeluarkan uang untuk mengobati sakit, lebih baik warga diminta memilah sampah untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Kini, ada sekitar 30 ibu yang bergabung dalam kegiatan ini. Dua kali dalam seminggu mereka berkumpul untuk mencari ide-ide kreatif pengelolaan sampah.

”Kami ikut mempromosikannya kepada warga di kampung lain. Kami yakin, ketika pengetahuan diberikan dengan cuma-cuma, manfaatnya akan jauh lebih besar ketimbang disimpan sendirian,” ujar dia.

Sampah yang memberikan tambahan penghasilan itulah yang terus dipromosikan Imas. Kini, mayoritas warga masih bekerja sebagai buruh tani atau buruh bangunan. Penghasilan mereka sekitar Rp 13.500 hingga Rp 17.500 per hari.

”Banyak juga warga di sini yang bekerja di BCA alias bangunan can anggeus (bangunan belum jadi). Kalau bangunannya sudah jadi, berarti mereka tidak bekerja lagi,” canda Imas.

Lewat ketekunan pemilihan dan pengelolaan sampah, dia yakin warga bisa mendapat tambahan penghasilan. Dalam sebulan, terutama ketika ada pameran kerajinan yang berlangsung 2-3 kali per bulan, setiap perajin bisa mendapat pemasukan sekitar Rp 600.000.

Berkah itu mulai terlihat dari terbukanya pasar. Tahun ini, boneka plastiknya dipesan 200 buah untuk pernikahan warga dengan harga Rp 1.500-Rp 2.000 per buah.

Sandal ikat kantong plastik produknya juga sudah diminati salah satu koperasi di Pangalengan hingga 200 pasang, dengan harga Rp 25.000 per pasang. Pemesanan tersebut sempat terhambat karena keterbatasan tenaga kerja.

”Insya Allah, sekarang kami lebih siap. Dengan tenaga kerja yang semakin terlatih, kami serius mengembangkan usaha ini. Semoga ada jalan untuk membuat kami lebih kuat,” kata Imas.
—————————————————————————
Imas Suhartini
♦ Lahir: Bandung, Jawa Barat, 19 Maret 1974
♦ Pendidikan: 
- SDN Sukamanah, Jawa Barat, lulus 1987
- SMPN 1 Pangalengan, Jawa Barat, 1990
♦ Suami: Ujang hidayat (43)
♦ Anak:
-Lisna Herliana (24)
-Sylvia Febrian (16)
-Tripiana Muhamad Ramdhani (12)
♦ Penghargaan: Kader Kesehatan Lestari Lebih dari 10 Tahun dari Kementerian Kesehatan, tahun 2002




Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008272302

Related-Area: